Pengakuan dan Perlindungan MHA Masih Minim
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Rabu, 10 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Indonesia yang terdiri dari 17.504 pulau, memiliki 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa. Dengan keberagaman yang dimiliki, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kekayaan akan adat dan budayanya.
Namun sayang masyarakat adat yang bahkan sudah ada sejak sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini ada, justru masih sulit mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Termasuk melindungi wilayah adatnya.
Masyarakat adat dapat dipahami sebagai kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Keberadaannya tersebar di seluruh daerah di Indonesia, berjumlah sekitar 70 juta jiwa.
Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat sebagai komunitas adat.
Pada 2013 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan pengujian terhadap Undang-Undang (UU) Kehutanan, yang diajukan oleh 3 aliansi MHA, dengan Nomor Perkara Nomor 35/PUU-X/2012. Dalam putusannya, Majelis Hakim MK menyatakan, hutan adat bukan lagi hutan negara.
Gugatan pengujian ini mempersoalkan UU Kehutanan yang selama 10 tahun berlaku telah digunakan sebagai payung hukum tindakan sewenang-wenang pemerintah untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat (MHA) atas wilayah hutan adatnya, untuk kemudian dijadikan hutan negara dan selanjutnya justru atas nama negara diberikan dan atau diserahkan pada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan MHA di wilayah tersebut.
Penetapan hutan adat oleh pemerintah, melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21 tertanggal 29 April 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, juga cenderung berjalan lambat. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan adat yang telah ditetapkan, hingga 13 Desember 2021, baru mencakup area seluas 69.147 hektare. Padahal total luas indikatif hutan adat di Indonesia mencapai 1.090.755 hektare.
Salah satu hutan adat yang sudah diakui Negara adalah hutan adat milik Masyarakat Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik yang diakui melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tercantum dalam SK Nomor: 3238/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/5/2020 pada 20 Mei 2020. Isinya, penetapan Hutan Adat Menua Sungai Utik kepada MHA Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 hektare.
Meski sudah mendapatkan pengakuan dan penetapan, perlindungan serta hak-hak masyarakat adat masih belum secara maksimal diterima oleh Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Hutan Adat Menua Sungai Utik masih saja terusik oleh pihak yang berwenang.
Pada 25 Mei 2022, beberapa petugas dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kapuas Hulu Utara memasuki areal hutan adat tanpa seizin warga dan mempertanyakan aktivitas warga yang saat itu sedang mengumpulkan kayu untuk pembangunan revitalisasi Rumah Panjang.
Padahal, selayaknya orang yang beradat, para petugas yang mengaku sedang berpatroli itu, mestinya masuk ke hutan adat dengan lebih dulu meminta izin kepada masyarakat adat yang menjadi “tuan rumah”.
“Kami adalah satu kesatuan dengan hutan adat, kami memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan itu sangat bermakna, di sanalah penghidupan kami. Maka dari itu kejadian seperti ini sangatlah mengecewakan bagi kami, pemerintah seakan-akan tidak menghormati tata aturan adat yang telah dibangun di wilayah adat dan hutan adat Menua Sungai Utik,” kata Raymundus Remang, Ketua Perkumpulan Gerempong Menua Judan Sungai Utik, yang juga adalah Dewan AMAN Daerah Kapuas Hulu, dan Kepala Desa Batu Lintang Sungai Utik dalam siaran pers yang disiarkan pada Selasa (9/8/2022).
Kejadian ini menjadi refleksi, walaupun sudah memegang SK Hutan Adat secara sah, tidak menjadi jaminan masyarakat adat terbebas dari konflik agraria, dan dapat berujung ke kriminalisasi kelompok adat. Pengakuan saja tidaklah cukup, masyarakat adat yang bernaung di NKRI memerlukan undang-undang yang mengatur tentang masyarakat adat dan hak ulayatnya secara utuh, perlindungan terhadap masyarakat adat dan penghidupannya harus disediakan oleh negara.
UU Masyarakat Hukum Adat jadi sebuah kebutuhan
Rancangan UU (RUU) MHA yang dibahas sejak zaman Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itupun mengendap belasan tahun belum disahkan. Padahal urgensi RUU ini adalah memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan masyarakat adat di Indonesia dimana dapat menghentikan kriminalisasi masyarakat adat juga perampasan hak-hak masyarakat adat termasuk kerusakan hutan adat di Indonesia.
Sedikit merefleksikan penantian Negara hadir di tengah masyarakat adat, pada Maret 2017 saat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) membahas RUU MHA, Presiden Jokowi sudah menjanjikan dukungan pengesahan RUU MHA. Dalam Nawacita periode pertama Jokowi, sejumlah komitmen tertuang untuk menghadirkan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat, pembentukan komisi independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden, penyelesaian konflik agraria, serta penetapan Desa Adat.
RUU MHA sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022, namun hingga saat ini belum ada perkembangan yang signifikan. Sayangnya, harapan atas hadirnya negara di tengah masyarakat adat tidak kunjung direalisasikan selama satu dekade Presiden Jokowi terbukti perkembangan perjalanan RUU MHA yang jalan ditempat, munculnya konflik agraria, dan diskriminasi yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia.
Masyarakat adat berpotensi kehilangan hak ulayat yang menjadi sumber penghidupan. Ketiadaan payung hukum yang melindungi masyarakat adat membuat mereka rentan terhadap berbagai ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi, ditambah adanya perubahan iklim yang mengancam ruang kehidupan komunitas adat.
Di tengah ketidakpastian hukum dan berbagai tantangan, masyarakat adat masih terus melestarikan hutan dan alam dengan kearifan lokal, yaitu, dengan memelihara tradisi dan ritual adat untuk merawat kebudayaan.
Deputi II Sekretaris Jenderal AMAN untuk Urusan Politik, Erasmus Cahyadi mengatakan, RUU Masyarakat Adat dibutuhkan untuk menerjemahkan pengakuan dan perlindungan konstitusional melalui prosedur dan cara yang mestinya tidak saja sederhana tetapi juga harus komprehensif untuk menjawab prosedur pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat selama ini yang berbelit-belit dan sektoral.
"Yang kita perlukan saat ini tidak saja mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU MHA, tetapi juga harus memastikan bahwa RUU MHA itu sungguh-sungguh menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat adat selama ini” ujar Erasmus.
Kondisi Indonesia yang masih belum memiliki payung hukum perlindungan terhadap masyarakat adat mengakibatkan situasi yang sangat mengkhawatirkan, dan menyebabkan masyarakat adat berada di posisi marjinal. Kurangnya edukasi dan sosialisasi mengenai hak-hak masyarakat adat di negeri ini juga mengancam ruang hidup mereka. Urgensi untuk menghadirkan harmonisasi kebijakan-kebijakan yang melindungi dan merangkul masyarakat adat harus terus didorong agar segera disahkan.
Peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia menjadi momen penting untuk kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah bahwa masyarakat adat adalah bukti dan teladan dalam hal cara menyeimbangkan kembali hubungan kita dengan alam, termasuk kemampuan untuk beradaptasi di tengah perubahan-perubahan atas lingkungan, krisis iklim dan modernisasi.
Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari, dan juga titipan bagi generasi yang akan datang. Hutan menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya. Bagi mereka yang bernaung di dalam NKRI, sudah sewajarnya masyarakat adat mendapatkan keadilan dan perlindungan melalui pengesahan RUU MHA.
Walhi Riau: pemerintah jangan sekedar bermain gimmick
Terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Riau Even Sembiring menyebut, Riau di usianya yang ke-65 yang jatuh pada 9 Agustus 2022, masih menaruh urgensi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat pada posisi minor. Menurutnya, pemerintah provinsi hanya merumuskannya dalam teks kebijakan tapi tidak melakukan tindakan konkret guna mengakselerasi urgensi tersebut.
Apabila merujuk aturan yang ada di level provinsi, dari proses pembentukan dipastikan ada partisipasi dan peran gubernur dan perangkatnya. Lambatnya proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Riau sama artinya Gubernur lupa pada norma yang dibentuknya dan DPRD Provinsi Riau abai pada kewenangan pengawasan yang melekat padanya.
Lahirnya Pergub 9 Tahun 2021 tentang Riau Hijau seharusnya menjadi penguat dan pengingat Gubernur untuk memenuhi kewajiban dan komitmennya terhadap masyarakat adat di Riau. Dalam Target Rencana Aksi Riau Hijau 2021-2024 terdapat komitmen perlindungan dan pengakuan masyarakat adat.
Uraian kegiatannya berupa identifikasi dan penelitian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, pembentukan Gugus Tugas Masyarakat Adat, Penguatan Kelembagaan Adat, Pemetaan Wilayah Hutan Adat dan Penetapan Peraturan (SK/Perda) Pengakuan Masyarakat Hukum Adat/ Hutan Adat.
“Renaksi terkait masyarakat adat merupakan salah satu komitmen yang seharusnya memperkuat pelaksanaan perintah peraturan yang diundangkan oleh Pemerintah Riau dalam upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Renaksi ini seharusnya menjadi landasan untuk memenuhi kewajiban dua Perda yang secara spesifik memberi perintah kepada perangkat Pemerintah Provinsi untuk melakukan tindakan dan menerbitkan peraturan pelaksana perlindungan masyarakat adat,” tambah Even Sembiring.
Belajar dari pengalaman lahirnya produk kebijakan terkait masyarakat adat yang apik secara penamaan namun minim dalam implementasi, Walhi Riau meminta agar pemerintah provinsi tidak sekedar bermain gimmick.
Jasmi, Ketua Dewan Daerah Walhi Riau menyebut penguatan kebijakan perlindungan masyarakat adat di Riau harus dijadikan kado HUT Riau ke-65. Dukungan Pemerintah untuk masyarakat adat harus dilaksanakan secara maksimal.
Di satu sisi, misalnya Gubernur memberikan dukungan kepada nelayan lokal dan Suku Asli Akit di Rupat dengan mengirim surat rekomendasi pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT Logomas Utama kepada Menteri ESDM. Tapi di sisi lain, pelaksanaan pembentukan kelembagaan dan kebijakan sesuai amanat Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya dan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum dilaksanakan.
Jasmi menilai proses pengambilan kebijakan dan tindakan seperti di Rupat memang harus dilakukan Gubernur Riau untuk memenuhi pemenuhan hak masyarakat adat. Namun, Jasmi juga mendorong agar pemenuhan komitmen Riau Hijau, dan pelaksanaan amanat dua Perda masyarakat adat segera dilaksanakan. Sebab tanpa adanya aturan tersebut maka keberadaan masyarakat adat di Riau akan selalu rentan dalam menghadapi perebutan akses atas wilayah adat mereka.
“Preseden positif perlindungan masyarakat adat seperti di Rupat harus dilangsungkan Gubernur. Apabila kendalanya terkait lemahnya kelembagaan di level perangkat daerah, tidak menutup kemungkinan Gubernur dapat secara lebih tegas menempatkan orang yang lebih tepat untuk mengakomodasi dan mengakselerasi lahirnya kebijakan dan kelembagaan yang menunjang akselerasi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Riau,” kata Jasmi.