Masyarakat Adat dalam Ancaman Konflik Agraria

Penulis : Aryo Bhawono

Masyarakat Adat

Kamis, 11 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sebanyak 70 persen dari kawasan adat hasil pemetaan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sudah dibebani hak lain oleh kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Masyarakat adat pun masih dalam ancaman konflik tenurial. 

Hingga Agustus 2022, BRWA telah meregistrasi sebanyak 1.119 peta adat dengan luas 20,7 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota. 

Sebanyak 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta ha telah memperoleh pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota. Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta ha. Dengan demikian baru 15 persen wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah.

Proses registrasi wilayah adat mengalami peningkatan pada bulan Maret lalu, yakni seluas 3,1 juta ha. Kenaikan terbesar berasal dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara seluas 2,1 juta ha  dan Kabupaten Jayapura, Papua sekitar 0,9 juta ha. Selebihnya berasal dari daerah lain.

Masyarakat Adat Malind di Kampung Buepe, Distrik Kaptel, Kab. Merauke, melakukan aksi pemalangan terhadap aktivitas perusahaan hutan tanaman industri (HTI), PT Plasma Nutfah Marind Papua (PNMP) sejak Jumat (10/6/2022).

Namun proses registrasi ini masih memendam masalah munculnya konflik agraria. Kepala BRWA, Kasmita Widodo, menyebutkan sekitar 70 persen wilayah hasil registrasi pemetaan kawasan adat tersebut tumpang tindih dengan hutan negara. 

“Artinya itu sebuah situasi mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat. Dalam 70 persen itu tidak hanya fungsi lindung tetapi juga hutan produksi, HPH dan HTI,” ucapnya dalam jumpa pers pada Rabu lalu (9/10/2022).

Ia menyebutkan gencarnya pemberian izin usaha, termasuk pariwisata, mengancam wilayah adat. Makanya pengakuan wilayah adat merupakan hal penting karena berbagai izin terkait kehutanan sudah mulai menggerus hutan adat dan wilayah adat. 

“Masyarakat adat berada dalam situasi tenurial yang berbahaya,” jelasnya.

Sejauh ini capaian pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat belum menggembirakan. KLHK belum menerbitkan surat keputusan hutan adat lagi sejak terakhir diserahkan oleh Presiden di Danau Toba pada bulan Februari lalu. 

Daerah sendiri juga mengalami berbagai hambatan, misalnya saja di Kalimantan Barat, KLHK belum lama ini melakukan verifikasi terhadap hutan adat di sana namun pihaknya belum mendapat informasi lebih lanjut terkait peluasan hutan adat yang ditetapakan KLHK.

“Jadi, capaian hutan adat masih berjumlah 89 hutan adat dengan luas mencapai 75.783 hz. Informasi dari tim BRWA Kalimantan Barat, baru-baru ini KLHK telah melakukan verifikasi teknis terhadap hutan adat di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat. Namun, sampai pers rilis ini disebarkan, kami belum memperoleh informasi terbaru jumlah dan luasan hutan adat yang ditetapkan oleh KLHK,” tambah Kasmita.

Selain itu pengakuan tanah ulayat melalui mekanisme penatausahaan tanah ulayat masyarakat hukum adat masih belum dimulai oleh Instansi ATR/BPN. Lembaga itu belum beranjak untuk menjalankan tugasnya melakukan pendaftaran tanah ulayat. Padahal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) seharusnya juga meliputi pendaftaran tanah ulayat. 

Ego sektoral antara KLHK, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta peraturan-undangan membuat urusan pendaftaran tanah ulayat ini tidak ada kemajuan sama sekali. 

“Tidak mungkin masyarakat adat mendaftarkan tanah ulayat atau wilayah adat ke ATR/BPN hanya untuk yang berada di luar kawasan hutan. Jadi, masyarakat adat perlu menghadapi setidaknya tiga kementerian tersebut untuk pengakuan wilayah adatnya,” imbuhnya..