Sungai Malinau Kembali Tercemar Limbah, Diduga dari PT KPUC
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Selasa, 16 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sungai Malinau di Kalimantan Utara (Kaltara) dilaporkan tercemar limbah beracun. Limbah ini diduga berasal dari penampungan yang jebol milik perusahaan tambang batu bara PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC). Kejadian pencemaran Sungai Malinau oleh limbah tambang ini bukan kejadian yang pertama.
Peristiwa yang terjadi pada Minggu pagi (14/08/2022) itu, sekitar pukul 05.00 WITA, menyebabkan air Sungai Malinau menjadi keruh berwarna kecoklatan, berlumpur serta meluap, hingga menggenangi kebun-kebun warga, bahkan memutus akses jalan penghubung Desa Langap dan Desa Loreh.
Jebolnya tanggul limbah PT KPUC ini juga berdampak pada pasokan air bersih warga di sebagian Kabupaten Malinau Terganggu. Terutama di Desa Malinau Hulu, Desa Tanjung Keranjang, Desa Malinau Hilir dan Desa Pelita Kanaan di Kecamatan Malinau Barat.
Hal ini dikarenakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Malinau berhenti mengoperasionalkan instalasi pengolahan air. Sebab baku mutu air Sungai Malinau yang telah tercemar limbah batu bara tersebut tidak memungkinkan untuk diolah menjadi air konsumsi warga.
"Kejadian jebolnya tanggul limbah tambang batu bara hingga mencemari Sungai Malinau ini bukanlah yang pertama," ungkap Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltara, dalam pernyataan tertulisnya, Senin (15/8/2022).
Menurut catatan Jatam, pencemaran Sungai Malinau oleh aktivitas tambang di kawasan hulu dan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau sudah berkali-kali terjadi, yakni pada 2010, 2011, 2012, 2017, 2021 dan terakhir pada Minggu, 14 Agustus 2022 kemarin.
Pada 4 Juli 2017 misalnya, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama.
Saat itu PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai tersebut mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU yang mengacu pada Kepmen Kesehatan NO 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Pada saat itu, PDAM setempat juga mematikan pelayanan air bersih selama 3 hari, sejak 7 hingga 9 Juli 2017.
Kemudian pada 7 Februari 2021, tanggul penampung limbah tambang kolam tuyak milik PT KPUC juga diduga jebol dan mencemari Sungai Malinau. Akibat pencemaran itu, air sungai menjadi keruh kecoklatan, ratusan ikan ditemukan mati mengambang, dan ekosistem sungai menjadi rusak.
Selain itu, akses terhadap air bersih terganggu. Setidaknya hal itu dialami warga yang tinggal di 14 desa sekitar DAS Malinau (Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban), DAS Mentarang (Lidung keminci dan Pulau Sapi), DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota).
"Bahkan, PDAM Malinau terpaksa menghentikan pengelolaan dan pasokan air bersih pada 8 Februari 2021 lalu akibat sumber air baku PDAM dari Sungai Malinau yang tercemar parah. Guna memenuhi kebutuhan air bersih, warga pun terpaksa menadah air hujan."
Berdasarkan hasil uji lab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang disampaikan kepada Jatam Kaltara terkait peritiwa di atas melalui Surat Hasil Uji Sampel Sungai Malinau Nomor: S.447/HUMAS/PPIP/HMS.3/10/2021 menyatakan, terdapat parameter yang melebihi Baku Mutu Air (BMA) kelas 1 PP 82 Tahun 2001, yaitu BOD, COD, PO4, NO3, NO2, flouride, minyak, lemak, MBAS, CACO3 dan phenol.
Andry memperkirakan, kejadian serupa berpotensi besar akan terus terjadi. Sebab saat ini, terdapat lima perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang konsesinya berada pada hulu dan badan sungai Malinau.
Kelima perusahaan itu adalah PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika Mudasukses (BM), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).
Kejadian yang berulang terjadi serta tetap berpotensi akan terus terulang ke depan, tentu saja akan semakin mengorbankan ekosistem sungai dan keselamatan warga, demi keberlanjutan bisnis energi kotor ini. Tidak adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang terlibat dalam pencemaran Sungai Malinau ini, semakin menegaskan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak berdaya di hadapan perusahaan-perusahaan tambang batu bara ini.
"Jatam Kaltara menuntut agar segera ada upaya tegas oleh pihak KLHK. Karena jelas telah terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat peristiwa ini," kata Andry.
Tak hanya itu, karena kasus ini adalah kejadian yang terus berulang terkait investasi pertambangan dan telah mengancam keselamatan rakyat, maka pihak Kementerian Investasi serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga pihak Kepolisian RI wajib melakukan investigasi menyeluruh dan memberikan sanksi penegakan hukum. Baik dari aspek pidana, pidana lingkungan hidup maupun admnistrasi, yakni berupa sanksi pencabutan izin lingkungan maupun izin operasi pertambangan PT KPUC.
"Selain itu, pemerintah juga harus memastikan upaya pemulihan Sungai Malinau yang merupakan ruang hidup warga dan juga mahluk hidup yang bukan manusia."