Orangutan Masih Berkeliaran Cari Masa Depan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

World Orangutan Day

Selasa, 23 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sembilan tahun lalu para konservasionis orangutan (Pongo) menetapkan 19 Agustus sebagai Hari Orangutan Sedunia. Tiap tahunnya, harapan besar bagi masa depan orangutan tersematkan, meski beragam ancaman masih mengintai eksistensinya di alam.

Sebab hingga kini, sebagian besar Pongo masih harus berkeliaran mencari "rumah" yang aman untuk membangun masa depan, lantaran habitatnya terus berkurang akibat konversi lahan. Sebagian kecil lainnya terbunuh, atau terpaksa dievakuasi dari habitatnya akibat konflik dengan manusia dan menghabiskan banyak waktu di pusat rehabilitasi.

Sama seperti satwa dilindungi lainnya, konservasi orangutan kini juga terbilang berjalan tak tentu arah. Dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan 2019-2029 yang sempat disahkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.308/MENLHK/KSDAE/KSA.2/4/2019 pada 26 April 2019, dan menjadi pegangan bagi seluruh pihak dalam melakukan upaya konservasi orangutan di Indonesia, disebut tidak berlaku lagi.

Dokumen berisi berbagai target pencapaian konservasi orangutan itu disebut dicabut oleh pihak otoritas pengelola. Konon, pengesahan dokumen itu dicabut hanya gara-gara ada kata "deforestasi" dan tidak setuju dengan pernyataan bahwa 80 persen habitat orangutan di luar kawasan konservasi.

Orangutan Muria bersama dengan anaknya, Bumi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya./Foto: Muffidz Ma’sum/IAR Indonesia.

"Katanya sih SRAK orangutan itu dicabut lagi, sehari setelah diluncurkan. Karena di dalam SRAK itu ada kata-kata deforestasi dan 80 persen habitat orangutan di luar kawasan konservasi. Hanya gara-gara kata-kata itu saja sebetulnya. Tapi data-data yang ada di dalam SRAK itu seharusnya tetap bisa digunakan," kata sumber yang tidak ingin disebutkan namanya dalam tulisan.

Dokumen SRAK orangutan dimaksud memaparkan berbagai kondisi orangutan. Disebutkan, berdasarkan hasil Population Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan Tahun 2016 jumlah populasi orangutan di Indonesia sekitar 60.060 individu. Sebarannya berada di Sumatera dan Kalimantan, di habitat seluas 15.640.754 hektare. Hasil PHVA 2016 juga menunjukkan bahwa populasi orangutan di Indonesia tersebar di 39 metapopulasi.

Sedangkan jumlah individu orangutan yang berada di lembaga konservasi umum--kebun binatang misalnya, tercatat sebanyak 201 individu, terdiri dari 104 betina dan 97 jantan. Keseluruhan orangutan tersebut tersebar di 29 lembaga konservasi umum.

Orangutan yang tersebar di berbagai negara luar juga tak sedikit. Laporan dari International Studbook of Orangutan tahun 2016 mencatat 603 orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), 309 orangutan sumatera (Pongo abelii), 127 orangutan hibrid, dan 60 orangutan yang tidak diketahui atau tidak jelas asal-usulnya dipelihara di 226 lembaga/instansi/kebun binatang seluruh dunia.

Berbekal hasil analisis keberlanjutan hidup populasi orangutan, para peneliti memperkirakan, apabila laju konversi hutan atau deforestasi pada habitat orangutan tidak berkurang atau dihentikan, diprediksi pada 2029 akan terjadi kehilangan individu orangutan dalam jumlah besar, sekitar 3.566-5.892 individu orangutan.

Rinciannya terdiri dari 644 individu Pongo abelii, 11 individu Pongo tapanuliensis, 90 individu Pongo pygmaeus pygmaeus, 2.598 individu Pongo pygmaeus wurmbii, dan 223 individu Pongo pygmaeus morio.

Dengan anggapan optimis 80 persen dari individu tersebut dapat diselamatkan melalui translokasi dan rehabilitasi, maka sekitar 2.853 individu memerlukan habitat yang baru. Namun demikian, jika laju deforestasi bisa diturunkan maka upaya penyelamatan orangutan yang terusir dari habitatnya tidak semasif tersebut di atas.

Paulinus Kristianto dari Conservation Action Network (CAN) mengatakan, konversi hutan akibat ekspansi kegiatan usaha berbasis lahan di Indonesia masih sulit terbendung, dan hal tersebut tentu akan merenggut banyak habitat alami orangutan.

Menurutnya, yang bisa dilakukan saat ini adalah membangun komitmen bersama seluruh pihak, terutama pihak perusahaan besar swasta, untuk menciptakan lanskap atau bentang alam yang ideal, yang dapat menghubungkan hutan-hutan yang telah terfragmentasi akibat kegiatan usaha skala besar, agar orangutan bisa tetap mendapatkan ruang hidup.

"Membangun bentang alam. Sehingga satwa mempunyai kawasan terhubung. Konflik antara orangutan dan manusia bisa dihindari. Karena itu yang bisa dilakukan. Membangun komitmen perusahaan agar mengikuti aturan yang sudah ada. Dibutuhkan model ekosistem yang baik yang memungkinkan kawasan hutan tetap ada," kata Paulinus.

Peneliti Pusat Riset Primata Universitas Nasional, Sri Suci Utami Atmoko juga berpikir demikian. Suci mengatakan, pendekatan yang kini sedang diupayakan adalah pendekatan bentang alam. Dengan harapan dapat terbangun koridor-koridor hutan, agar semua pihak, terutama para pengusaha, bisa sama-sama bertanggung jawab.

"Supaya bisa meminimalisasi fragmentasi (habitat) yang ada di sana. Contohnya HGU-HGU yang memiliki kawasan lindung, kenapa tidak bisa dihubungkan satu-sama lain. Nanti juga bisa dihubungkan dengan hutan lindung atau taman nasional," kata Suci, dalam diskusi virtual bertajuk Konservasi dan Penegakan Hukum, yang digelar Yayasan Auriga Nusantara, 13 Desember 2021 lalu.

Suci mengungkapkan, berdasarkan perhitungan, di Kalimantan habitat orangutan yang berada di dalam kawasan konservasi hanya sekitar 12 persen saja, selebihnya berada di luar kawasan konservasi. Demikian pula dengan di Sumatera, sekitar 64 persen habitat orangutan justru berada di luar kawasan konservasi.

Environmental Investigation Agency (EIA) dalam laporannya Oktober 2021 lalu menyebut sekitar 148.500 orangutan telah hilang di hutan-hutan yang ada di Kalimantan dalam rentang waktu 1999 hingga 2015. Pada 2050, diperkirakan 45.300 individu lainnya akan hilang akibat pesatnya laju perusakan habitat saat ini.

Orangutan sumatera juga menghadapi kemungkinan yang sama buruknya. Para ilmuwan memprediksi, total populasi orangutan sumatera dapat menurun sebesar hampir sepertiganya pada 2030. Orangutan tapanuli, spesies berbeda yang baru diidentifikasi pada 2017, berjumlah kurang dari 800 individu dan menghadapi risiko kepunahan paling cepat di antara 3 spesies orangutan tersebut.

Perusakan hutan hujan Kalimantan dan Sumatera merupakan ancaman terbesar yang menggiring orangutan menuju kepunahan. Dari 2016 hingga 2019, habitat orangutan seluas 797.054 hektare di Indonesia dan Malaysia mengalami deforestasi, berdasarkan analisis data kehilangan hutan Pemerintah Indonesia oleh EIA dan MapHubs. Sebagian besarnya (739.249 hektare) terjadi di Indonesia, yang terhitung dengan seperlima dari semua deforestasi yang terjadi di seluruh penjuru negeri pada rentang waktu ini.

Orangutan yang dibius menjalani pemeriksaan fisik oleh tim medis./Foto: BBKSDA Sumatera Utara

Pembunuhan dan Peredaran Orangutan

EIA juga menyebut, pembunuhan orangutan merupakan faktor pendorong utama kematian orangutan kalimantan. Para peneliti memperkirakan ada 630 hingga 3.882 individu orangutan yang dibunuh setiap tahunnya (0,86 hingga 8,1 persen dari total populasi).

Bahkan tingkat pembunuhan pada kisaran terendah sangat merusak populasi orangutan, mengingat lambatnya siklus reproduksi dan perkembangan spesies ini. Individu jantan biasanya berkembang biak pertama kali antara umur 10 dan 12 tahun. Individu betina biasanya tidak berkembang biak hingga umur 10 hingga 15 tahun dan melahirkan sekali setiap sekitar delapan tahun.

Bayi orangutan akan tetap bersama induknya selama delapan tahun pertama untuk mengembangkan kemampuannya bertahan hidup, seperti mengidentifikasi buah yang dapat dimakan di hutan tempat tinggalnya serta belajar membuat sarang dan menghindari predator potensial seperti harimau, macan tutul, dan manusia. Akibatnya, kematian dari satu persen saja orangutan betina pada populasi yang bersangkutan dapat memicu penurunan jumlah populasi.

Selain habitat yang semakin berkurang dan pembunuhan. Peredaran orangutan secara ilegal juga jadi salah satu persoalan serius. Suci menyebut, dalam beberapa kasus, orangutan yang ditangkap dan dijadikan hewan peliharaan atau buruan oleh masyarakat, disebabkan karena kurangnya kesadaran serta rendahnya pemahaman tentang konsekuensi hukum.

"Yang hukum kepemilikan ini yang menurut saya masih kurang jelas ini, bagaimana hukumnya. Karena bagaimanapun harusnya mereka juga ada lah (hukuman), tidak sekedar mengembalikan saja. Karena kalau tidak, bagaimana kapan ada titik jera?" ujar Suci.

Akhir Mei 2022 lalu, orangutan jantan muda berusia sekitar 3 tahun bernama Kaka dipulangkan ke habitatnya di Aceh, dari Bogor, Jawa Barat. Kaka sebelumnya sempat menjadi satwa peliharaan warga yang "diserahkan" kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat.

Berdasarkan hasil pemeriksanaan sample darah di Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Kaka diketahui merupakan orangutan yang berasal dari Aceh bagian utara. Keberadaan Kaka yang berada jauh dari habitat aslinya dan menjadi peliharaan warga di Bogor ini membuktikan peredaran ilegal orangutan secara ilegal di Indonesia masih terjadi.

Sayangnya kasus orangutan Kaka ini selesai begitu saja. Tak ada tindakan hukum kepada pelaku, atau upaya serius membongkar jaringan peredaran orangutan ilegal.

Padahal Kaka dan orangutan lainnya berstatus dilindungi. Perlindungannya diamanatkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Perlindungan orangutan jua ditegaskan kembali melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. P.160 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.

Di dunia internasional, orangutan telah masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena populasinya di alam semakin berkurang, sebagai akibat dari perburuan, perdagangan, deforestasi dan konflik dengan manusia. Selain itu Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) memasukkan orangutan dalam Appendix I, yaitu dilarang untuk diperjualbelikan dalam bentuk apapun.

Namun nyatanya status dilindungi ini belum cukup membuat orangutan aman. Seperti satwa lainnya, orangutan juga menjadi salah satu satwa yang diperdagangkan secara ilegal di Indonesia. Berdasarkan catatan Yayasan Auriga Nusantara, setidaknya ada 9 perkara kejahatan perdagangan orangutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Kasus perdagangan orangutan ini terjadi pada 2013 (1 perkara), 2017 (2 perkara), 2018 (4 perkara) dan 2022 (2 perkara).

Masih berdasarkan laporan EIA, orangutan pernah dijual secara terang-terangan di pasar satwa liar di Indonesia, setidaknya itu terjadi hingga 2000-an. Negara-negara Eropa dan Asia seperti Belanda, Jerman, Thailand, Jepang, Singapura, dan Taiwan telah diidentifikasi sebagai negara tujuan yang penting di masa lampau, dan baru-baru ini Rusia dan negara-negara Timur Tengah terlibat dalam perdagangan ilegal bayi orangutan.

Meskipun sebagian besar orangutan di perdagangan internasional saat ini dijadikan sebagai peliharaan, sejumlah orangutan liar juga dipasok ke kebun binatang dan fasilitas hiburan di sejumlah negara, misalnya Thailand dan Kamboja. Sebuah kasus besar terungkap pada 2004, yang mana sebanyak 115 orangutan di taman hiburan Bangkok diketahui diperoleh dari alam.

Perdagangan aktual orangutan saat ini belum dipelajari secara menyeluruh. Namun pada 2005, TRAFFIC menyimpulkan sekurangnya ada 200-500 orangutan kalimantan yang diperdagangkan setiap tahunnya di Indonesia.

Mengingat induk orangutan dibunuh untuk mendapatkan bayinya, diketahui dari temuan ini bahwa sekurangnya 400-1000 orangutan diambil dari alam liar untuk memasok perdagangannya. Beberapa studi terbaru menunjukkan, tingkat perdagangan orangutan kalimantan masih tinggi.

Peneliti memastikan, antara 2007 dan 2017, pusat penyelamatan di Kalimantan memperoleh sekitar 994 individu orangutan. Dari jumlah ini, 632 individu (64 persen) di antaranya telah disita atau diserahkan dari kepemilikan pribadi yang tidak sah.

Sementara, data yang dipublikasikan tentang pemilikan dan perdagangan orangutan sumatera jauh lebih sedikit. Walaupun, tampak jelas bahwa orangutan sumatra secara rutin diambil dari hutan. Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), lembaga yang mengelola pusat penyelamatan orangutan sumatera yang berlokasi di dekat Medan, menerima lebih dari 400 orangutan dari 2002 hingga Januari 2020.

Data peredaran orangutan hasil analisis Yayasan Auriga Nusantara menunjukkan, sejak 1975 hingga 2019 terdapat sekitar 1.287 individu orangutan yang beredar di lebih dari 60 negara dalam keadaan hidup. Data menunjukkan, Jerman merupakan negara pengekspor terbesar orangutan dan Cina menjadi pengimpor terbesar.

Data juga menyebutkan, ada 140 individu orangutan yang dipulangkan ke Indonesia dari sekitar 10 negara lain. Pemulangan 140 individu orangutan ini sebagian besar dalam rangka penegakan hukum dan reintroduksi.

Peredaran orangutan di berbagai penjuru dunia ini dilakukan dengan berbagai tujuan. Seperti untuk kebun binatang, pertunjukan sirkus, perkembangbiakan di penangkaran atau perbanyakan buatan, komersial, pendidikan, penelitian dan lain-lain.

Dari jumlah tersebut, orangutan yang beredar untuk tujuan pertunjukan sirkus sebanyak 210 individu. Sedangkan yang untuk tujuan komersial sebanyak 82 individu.

Bayi orang utan sumatra diamankan dalam perjalanannya dari Aceh Selatan ke Medan pada Juli 2016. Pengamanan dan penyelamatan orangutan dari perdagangan satwa liar ini merupakan hasil kolaborasi antara Pusat Perlindungan Orang Utan (Centre for Orangutan Protection), Jaringan Bantuan Satwa Jakarta (Jakarta Animal Aid Netwok), dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)./Foto: Ivan Damanik/ZUMA Wire/Alamy Live News

1.114 Orangutan di Pusat Rehabilitasi Menunggu Dilepasliarkan

Dilematika dunia orangutan tak sampai di situ saja. Cukup banyak orangutan yang berada di pusat rehabilitasi yang tengah menunggu antrean untuk dilepasliarkan. Persoalannya, areal yang layak dan aman untuk pelepasliaran orangutan juga terbatas.

Sementara ditargetkan hingga akhir 2022 semua orangutan yang berada di pusat rehabilitasi harus sudah dilepasliarkan. Target tersebut tertuang dalam dokumen SRAK Orangutan 2019-2029. Yang mana disebutkan, semua orangutan di pusat rehabilitasi yang berumur 3 tahun atau lebih pada 2019 dan mampu untuk dilepasliarkan, sudah dilepasliarkan ke habitat alamnya pada 2022.

Hingga 2018, terdapat sekitar 1.060 orangutan kalimantan yang masih menghuni tujuh pusat rehabilitasi orangutan di Kalimantan. Sementara di Sumatera, terdapat sekitar 54 orangutan sumatera di pusat karantina Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara. Bila ditotal, seluruhnya ada 1.114 individu orangutan rehabilitasi.

Untuk memenuhi target tersebut, dari 2019-2022 harus dilepaskan minimal 215 individu orangutan per tahun. Target minimal 215 orangutan per tahun diharapkan dapat terealisasi, didasarkan pada pusat rehabilitasi yang dapat melepasliarkan sekitar 100 orangutan per tahun, serta adanya asumsi pusat rehabilitasi baru yang sudah bisa melepasliarkan orangutannya.

CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Jamartin Sihite menyebut, target pelepasliaran orangutan rehabilitasi ke alam ini terutama ditujukan bagi orangutan yang dianggap bisa dilepasliarkan. Karena tidak semua orangutan yang berada di pusat rehabilitasi dapat dilepasliarkan.

"Ada banyak orangutan yang tidak bisa kembali ke alam dan akan ada di kandang atau di suaka. Ada yang cacat buta, tidak ada tangan, sakit yang tertular dari manusia dan tidak ditemukan di alam seperti TBC, maka mereka tidak bisa kita lepas di alam," kata Jamartin Sihite, Sabtu, (20/8/2022).

Jamartin menguraikan, orangutan yang dirawat atau dikarantina di pusat rehabilitasi memiliki latar belakang yang berbeda-beda, salah satunya pernah menjadi satwa peliharaan manusia. Menurutnya orangutan yang terlalu lama dipelihara manusia, akan membutuhkan proses rehabilitasi yang lama dan tidak semua bisa kembali ke alam.

"Yang (hasil repatriasi) dari Thailand ada yang sudah kembali ke alam. Jadi sebaiknya ya sedini mungkin masuk rehablah, supaya segera kembali ke alam. Orangutan itu di alam, bukan di kandang belakang rumah manusia. Di alam dia diciptakan Tuhan. Cinta itu membebaskan dan kalau cinta orangutan ya biarkanlah mereka bebas di rumahnya di hutan."

Jamartin mengungkapkan, saat ini masih ada sekitar 400-an individu orangutan yang berada di pusat rehabilitasi yang dikelola BOSF di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, dan itu termasuk yang tidak bisa dilepasliarkan. Namun begitu Ia mengaku tidak dapat menargetkan berapa banyak orangutan di pusat rehabilitasi BOSF dapat dilepasliarkan secepatnya. Sebab target tersebut bergantung pada ketersediaan areal pelepasliaran dan dana.

Soal ketersediaan areal pelepasliaran, Jamartin menerangkan, tidak semua areal konservasi bisa digunakan. Ada kriteria kecocokan lokasi yang harus dipertimbangkan. Kriteria dimaksud seperti areal yang layak dengan ketinggian di bawah 700 mdpl, populasi orangutan liar kurang dari 5 persen, relatif jauh dari pembangunan saat ini, dan terpenting ada ketersediaan pakan alami.

Jamartin bilang, saat ini BOSF bersama dengan pemerintah tengah bergerak membangun pulau-pulau suaka, sehingga orangutan yang tidak bisa dilepasliarkan kembali ke alam akan ditempatkan di suaka dan bebas kandang.

Sama seperti di BOSF, sejumlah orangutan juga masih menghuni pusat rehabilitasi Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) di Kalimantan Barat (Kalbar). Manager Media dan Komunikasi YIARI, Dewi Ria Utari menyebut, saat ini masih terdapat 76 individu orangutan yang mereka rawat, terdiri dari 28 individu betina dan 48 individu jantan.

"Sejak 2010 bersama KLHK, kami telah melepasliarkan 161 individu orangutan dan tentunya ini cukup bisa menjadi data positif bagi pekerjaan kita semua ya, baik itu pemerintah dan masyarakat," kata Ria, Sabtu (22/8/2022).

Ria menyebut, dari 76 individu orangutan yang YIARI rawat tersebut sebagian di antaranya ada yang sudah dianggap dapat dilepasliarkan. Namun pelepasliarannya akan mengikuti prosedur medis dan membutuhkan kesiapan lainnya.

"Orangutan yang kami rehabilitasi berasal dari berbagai kasus. Namun yang bisa kita apresiasi di sini adalah sebagian besar kedatangan mereka adalah hasil dari informasi masyarakat yang memperlihatkan bahwa pemerintah dan mitra telah berhasil memberikan edukasi dan penyadartahuan akan peran penting orangutan di habitatnya."

Rehabilitasi orangutan belakangan sudah menjadi keharusan. Terutama bagi orangutan hasil penyelamatan dari daerah konflik, atau hasil penyitaan/penyerahan. Sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya, atau reintroduksi, orangutan dalam kasus-kasus tersebut harus direhabilitasi.

Perlu atau tidaknya rehabilitasi pada orangutan hasil penyelamatan konflik ditentukan atas dasar rekomendasi dokter hewan yang berpengalaman. Rehabilitasi diperlukan untuk memulihkan kondisi kesehatan, fisik, dan perilakunya agar mampu bertahan di habitat
baru.

Selain itu, rehabilitasi juga menjadi sangat penting mengingat banyak orangutan hasil sitaan dan penyelamatan menderita berbagai penyakit menular, seperti hepatitis B manusia dan tuberkulosis (TBC), yang dapat menular pada populasi liar di alam.

Meskipun demikian, program rehabilitasi memerlukan biaya yang besar dan bukan menjadi pilihan yang berkelanjutan untuk strategi konservasi orangutan jangka panjang. Oleh karenanya, program penyadartahuan dan penegakan hukum tetap merupakan upaya preventif penting dalam konservasi orangutan.