Co-firing Biomassa Berpotensi Menambah Emisi GRK dan Deforestasi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Selasa, 30 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Program co-firing biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang dimaksudkan untuk transisi batu bara ke energi terbarukan di Indonesia, berpotensi menghasilkan enegi yang "kotor". Trend Asia menemukan ada risiko besar yang harus ditanggung warga, lingkungan dan iklim dari program co-firing biomassa di 52 lokasi PLTU di Indonesia.
Energi kotor dimaksud lantaran transisi energi ini akan membutuhkan lahan seluas 2,33 juta hektare atau 35 kali luas daratan DKI Jakarta, untuk pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE). Sedangkan rantai pasok biomassa ini akan menambah emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun.
Hal tersebut terurai dalam laporan terbaru Trend Asia. Laporan ini sekaligus membantah klaim pemerintah dan PT PLN soal penggunaan bahan baku campuran biomassa dalam program co-firing di PLTU rendah emisi dan mengurangi ketergantungan terhadap batu bara. Riset ini menelaah secara kritis pilihan PLN menerapkan praktik co-firing biomassa di Indonesia, dengan memetakan berbagai dokumen resmi pemerintah dan badan usaha.
Sebagai gambaran, co-firing biomassa adalah metode pencampuran batu bara dengan biomassa yang berasal dari berbagai bahan baku, seperti pelet kayu (wood pellet), pelet sampah, serbuk kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji, dan sekam padi. Skenario yang diuji dalam riset untuk co-firing ini yakni skala 5 persen biomassa (95 persen batu bara) hingga 10 persen biomassa (90 persen batu bara).
“Temuan riset kami mengungkap, praktik co-firing biomassa pelet kayu yang di-supply dengan skema HTE ini sangat berisiko dalam proses rantai pasok, potensi deforestasi yang terkait erat dalam peningkatan emisi gas rumah kaca, dan juga akan memperpanjang umur PLTU tua yang seharusnya sudah pensiun seperti PLTU Suralaya dan PLTU Paiton,” kata Meike Inda Erlina, Juru Kampanye Trend Asia.
Diuraikan, hingga Mei 2022, sebanyak 32 PLTU telah menerapkan co-firing biomassa, dan targetnya terus bertambah hingga 35 PLTU hingga akhir 20022. Tidak hanya itu, PLN juga menargetkan implementasi co-firing biomassa di 52 lokasi atau 107 unit PLTU di seluruh Indonesia hingga 2025.
PLN mengklaim, co-firing biomassa rendah emisi, bahan baku mudah didapatkan, dan tidak perlu membangun pembangkit baru karena bisa menggunakan PLTU-PLTU yang masih beroperasi, yang dikelola oleh 2 anak usaha PLN yakni PT Indonesia Power (IP) dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).
Tim peneliti Trend Asia, Mumu Muhadjir mengemukakan, dengan asumsi praktik co-firing biomassa pelet kayu sebesar 10 persen, maka kebutuhan biomassa untuk 107 PLTU yang berkapasitas total 18,8 GW akan mencapai 10,23 juta ton per tahun.
“Dari perhitungan kami, estimasi kebutuhan lahan HTE itu paling sedikit 2,33 juta hektare atau 35 kali luas daratan DKI Jakarta. Membangun HTE yang ekstensif berpotensi menimbulkan deforestasi,” ungkap Mumu.
Tudingan Mumu ini cukup berasalan. Sebab, menurut Mumu, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia selama ini cenderung mengakibatkan deforestasi. Merujuk data MapBiomass Indonesia, 38 persen lahan dari total tutupan HTI pada 2019 berasal dari pembukaan hutan alam.
Mumu menguraikan, dari permodelan matematika, co-firing biomassa di 107 unit PLTU berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton, setara karbon dioksida (CO2e) per tahun. Emisi ini, lanjut Mumu, muncul sejak deforestasi, pengelolaan HTE hingga produksi kayu.
Alih-alih berkurang, pencampuran biomassa-batu bara ini akan menambah emisi dari PLTU, yang menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 diproyeksikan terus naik menjadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030.
Temuan lain, co-firing biomassa ternyata tidak mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan batu bara PLTU. Data Statistik PLN (2021) menunjukkan, penggunaan biomassa mencapai 282.628 ton. Angka itu naik signifikan dari 9.731 ton pada 2020. Pada saat yang sama, penggunaan batu bara juga naik, dari 66,68 juta ton menjadi 68,47 ton pada 2020.
"Bahan bakar subtitusi justru menjadi komplementer. Jangan juga Biomassa tengah digunakan, tapi batu bara tetap dieksploitasi.."
Mumu bilang, apabila dikelola dengan baik, biomassa bisa menjadi energi terbarukan yang "bersih". Sayangnya, sejauh ini tata kelola biomassa di Indonesia belum terlihat. Apabila program biomassa ini hanya akan mengakibatkan kehancuran dan kerusakan lingkungan, maka biomassa tidak ada bedanya dengan batu bara.
Meike menambahkan, narasi yang berkembang soal porsi pencampuran biomassa dengan batu bara mengabaikan fakta masih tingginya kebutuhan batu bara dalam program co-firing. Ada kesan, hanya karena mengurangi porsi penggunaan batu bara di PLTU, maka co-firing menjadi program yang lebih bersih dan rendah emisi.
"Padahal, porsi biomassa yang bercampun hanya berjumlah kecil, 1 sampai 10 persen. Sementara 90-an persennya tetap bersumber dari batu bara. Sementara para ilmuwan iklim dunia sudah mengingatkan negara-negara untuk tetap membiarkan batu bara dalam tanah, dan segera berhenti menggunakan PLTU batu bara, agar tidak memperparah kondisi krisis iklim," katanya.
Manager Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin Iwang mengungkapkan, klaim rendah emisi pada campuran biomassa di PLTU tidak akan bisa memulihkan kerusakan lahan pertanian dan kesehatan warga yang telah terjadi. Pencemaran udara merupakan faktor risiko yang memperburuk kesehatan kelompok usia rentan.
Menurut riset Walhi Jabar terkait operasional PLTU Indramayu 1 3x330 MW di Desa Tegal Taman yang dilakukan sejak 2017, sebagian besar anak usia 2-7 tahun terpapar infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Laporan keluhan itu meningkat, jika dihitung sejak PLTU itu dibangun, 2011 hingga saat ini.
"Pencampuran bahan baku batu bara dengan biomassa serbuk kayu yang telah dilakukan di PLTU Indramayu 1 hanya akan memperparah polusi udara dan kini asap yang keluar dari cerobong justru terlihat semakin pekat. Tak terbayangkan oleh kami, bagaimana semakin tercampurnya paru-paru anak-anak sekitar pembangkit itu," kata Wahudin.
Dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru, pemerintah menargetkan Indonesia bebas emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat, dengan menghentikan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.
Pada Juni 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dalam siaran persnya menyebut co-firing biomassa merupakan salah satu dari 4 strategi pemerintah dalam mereduksi emisi karbon. Alih-alih memensiunkan pembangkit tua, PLN justru menjadikan co-firing biomassa sebagai langkah untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka memperpanjang usia operasional PLTU.
Meike menganggap, dekarbonisasi bukan sekedar transisi dari energi fosil ke sumber terbarukan, tetapi juga bagaimana menjamin keselamatan makhluk hidup. Tidak ada celah keselamatan iklim dan manusia dalam skema transisi energi dengan co-firing biomassa ini.
Apabila kebijakan co-firing biomassa dengan batu bara ini merupakan aksi mitigasi untuk mengatasi perubahan iklim, maka alih-alih mengurangi emisi karbon di sektor energi, justru menambah emisi karbon di sektor lain (kehutanan), sementara co-firing hanya dijadikan alasan untuk memperpanjang beroperasinya PLTU yang seharusnya sudah pensiun.
"Kesungguhan transisi energi harus jelas ditunjukkan dengan mengutamakan sumber-sumber energi yang bersih dan berkeadilan,” tutup Meike.
Zainur Rohman, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) berpendapat, pemerintah perlu menghitung kembali biaya dan keuntungan pengusaha terkait pemenuhan bahan baku co-firing biomassa. Karena, meskipun bahan baku di dalam negeri terbilang cukup, namun belum tentu pengusaha bersedia menjualnya kepada PLN, terutama bila harga beli PLN rendah.
"Kalau harga pelet diekspor di atas Rp1.500 misalnya, PLN hanya Rp1.000, pengusaha enggak akan mau jual ke PLN. Karena HPH dan HTI itu sudah punya pasarnya sendiri," ujar Zainuri.
Zainuri mengungkapkan, saat ini sulit untuk memastikan sumber bahan baku untuk co-firing biomassa berasal dari sumber yang jelas dan diperoleh secara legal. Sebab kayu yang sudah menjadi serbuk, sulit terlacak asalnya. Bahkan dalam beberap kesempatan JPIK kerap mendapati barcode yang ditempelkan pada kayu, tidak memiliki fungsi sebagai mana mestinya--untuk mengetahui asal kayu dan pemiliknya.
"Apalagi berbeda dengan di KLHK, di ESDM ini tidak ada mekanisme komplain."
Manajer Kampanye dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) Amalya Reza Oktaviani menilai, pengelolaan hutan yang baik hanya bisa terwujud bila ada transparansi. Pihaknya mendorong agar terbentuk kerja yang kolektif seluruh pihak dalam hal tata kelola co-firing biomassa.
Amalya mengatakan, program co-firing biomassa PTLU ini, bila tidak terkelola dengan baik, berpotensi akan mengakibatkan deforestasi dalam jumlah besar. Berdasarkan data, saat ini jumlah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada hutan alam atau HPH yang eksisting di Indonesia jumlahnya 266 seluas 18,3 juta hektare, dan 294 PBPH pada hutan tanaman atau HTI seluas 10,3 juta hektare.
Kemudian dari 18,3 juta hektare PBPH hutan alam itu, terdapat hutan alam seluas sekitar 16,7 hektare, dan dari 10,3 juta hektare PBPH hutan tanaman sekitar 3,2 juta hektare merupakan hutan alam.
Selain itu izin Perhutanan Sosial di Indonesia jumlahnya mencapai 7659 izin dengan luas sekitar 5 juta hektare dan 91 persen di antaranya masih berupa hutan alam. Dilihat dari watak Undang-Undang Cipta Kerja, seluruh hutan alam di konsesi PBPH hutan alam dan hutan tanaman, termasuk Perhutanan Sosial itu berpotensi akan terdeforestasi.
Bila ditambah dengan potensi deforestasi akibat penerbitan izin baru pada Kawasan Hutan yang dapat Dikonversi (HPK)--yang di dalamnya terdapat sekitar 5,4 hektare hutan alam, maka diperkirakan seluas sekitar 25,9 juta hektare hutan alam menunggu waktu untuk terdeforestasi. Bila dihitung, potensi emisi karbon yang dihasilkan sekitar 6,89 ton per hektare.