Korporasi Pelanggar Sawit Ilegal Perlu Dihukum, Bukan Diampuni
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Jumat, 02 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Koalisi Eyes on the Forest (EoF) mengatakan penyelesaian kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan melalui Undang-Undang Cipta Kerja harus mengusung asas berkeadilan dan transparan. Hal itu untuk menghindari klaim pengampunan bagi korporasi sawit. Dengan kata lain, korporasi tetap harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan.
Koordinator Jikalahari Made Ali, bagian dari koalisi, mengatakan perusahaan perkebunan yang melanggar tidak harus dikenakan hukuman pidana. Sebaliknya, korporasi dapat mengganti kerugian negara dalam bentuk denda. Hitungannya berdasarkan durasi pembukaan lahan, luas, dan tarif denda tutupan hutan saat kebun sawit ilegal digunakan korporasi.
“Tidak selamanya hukuman pidana dianggap solusi, terutama jika kekayaan negara dan ekosistem hutan tidak bisa dikembalikan dari praktik bisnis ilegal yang sebagian besar sudah berjalan belasan hingga puluhan tahun,” kata Made melalui keterangan tertulis, Kamis, 1 September 2022.
Jumlah kebun sawit ilegal oleh perusahaan di Indonesia cukup masif. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), perkebunan sawit haram tersebut mencapai 3,3 juta hektare. Provinsi sentra sawit seperti Riau, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Jambi, dan Sumatra Selatan memiliki luas kebun ilegal paling besar.
Laporan investigasi spasial dan verifikasi lapangan yang dipublikasikan EoF pada 2021 menguak adanya 43 kebun sawit di dalam kawasan hutan di Riau. Jumlah ini ditengarai sebagai sampel dari indikasi jumlah lebih besar. Menurut EoF, selama beroperasi, korporasi menikmati keuntungan tanpa membayar pajak belasan tahun lamanya atau lebih.
Lebih jauh, temuan Pansus Monitoring Perizinan Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan DPRD Riau pada 2016 menemukan 378 perusahaan sawit beroperasi di dalam kawasan hutan, seluas 1,8 juta hektare. Potensi pajak yang tidak dibayarkan mencapai Rp 19,6 triliun per tahun. Di antaranya pajak perkebunan Rp 9,4 triliun dan pabrik kelapa sawit mencapai lebih dari Rp 10,2 triliun.
Selain itu, investigasi lapangan EoF pada 2019 menemukan lebih dari 5% kebun sawit ilegal di Riau tanpa izin Hak Guna Usaha di kawasan hutan dan area penggunaan lain (APL) seluas 129.948 hektare. Area ini dikelola oleh satu koperasi unit desa, tiga perseorangan (cukong), dan 39 perusahaan.
“Dalam pemantauan EoF, mayoritas perkebunan sawit ilegal melakukan konversi hutan alam untuk sawit sejak 10 hingga 25 tahun silam. Ini menunjukkan kronisnya masalah ini dengan kerugian negara yang masif. Sebab pelanggaran ini tak tertangani selama belasan tahun,” ujar Koordinator EoF Nursamsu.
EoF menilai banyak perkebunan sawit ilegal yang tidak layak mendapat “kartu bebas dari penjara”. Perusahaan pelanggar justru harus dipersulit dan diwajibkan membayar biaya mahal atas pelanggaran yang mereka lakukan di masa silam.
“Pengampunan bagi kebun sawit ilegal ibarat fatamorgana dan cenderung menyesatkan,” ujar Made.
“Koalisi EoF sudah memperingatkan tahun silam, berdasarkan kajian implikasi hukum dari UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah secara detail. Para pebisnis sawit tidak seharusnya berharap UU Cipta Kerja akan secara otomatis melegalkan semua kebun sawit yang bermasalah,” tambahnya.
Agustus lalu, KLHK kembali dikritik usai memberi ampunan pada 73 perusahaan sawit dan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan. Dalam pandangan Walhi, pengampunan tersebut tidak sah lantaran menggunakan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam kajian terkait sawit ilegal dalam kawasan hutan, EoF menyimpulkan tidak semua kebun sawit ilegal yang eksisting sebelum berlakunya UU Cipta Kerja akan dilegalkan oleh UU Cipta Kerja. Selain itu, hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi harus dikembalikan kepada negara melalui sanksi administratif.
Menurut Nursamsu, pihaknya mendukung KLHK mengembalikan kawasan hutan lindung dan konservasi yang dijadikan kebun sawit untuk direstorasi ke ekosistem semula.
Nursamsu mengatakan, penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan harus mempertimbangkan petani sawit swadaya dengan maksimal luas kelola 5 hektare dan berusia lima tahun. Menurutnya, petani dalam kategori ini harus dikecualikan dari sanksi administratif karena rentan gejolak sosial.
Pemerintah juga harus melindungi kepentingan masyarakat agar tidak dimanfaatkan oleh korporasi. Nursamsu mengatakan hal ini terjadi di berbagai provinsi sentra sawit.
“Betapapun, para pemain besar sawit termasuk cukong, jangan sampai memanfaatkan peluang ini dengan berkedok sebagai koperasi ataupun berlindung atas nama masyarakat lokal,” terang Nursamsu.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi IV DPR-RI Juni lalu, anggota koalisi menampilkan analisis dan rekomendasi terkait laporan sawit ilegal di 43 kebun di Riau.
“Adanya perusahaan bermodal yang berkamuflase sebagai koperasi tani untuk mengelak dari proses hukum, tentu menggelikan dan perlu tindakan tegas dari penegak hukum,” ujar Nursamsu.
Koalisi mendukung KLHK untuk tidak terpengaruh dengan manuver pemain sawit yang menginginkan pengampunan dalam penyelesaian sawit ilegal dalam kawasan hutan. Pemerintah diharapkan dapat melibatkan masyarakat sipil dalam membantu pendataan dan pemantauan proses penyelesaian sawit dalam kawasan, termasuk pengembalian hutan lindung dan area konservasi.
“Yang penting partisipasi bermakna benar-benar dimaknai oleh pemerintah bahwa pendapat publik didengarkan, dipertimbangkan, dan pemerintah memberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan,” pungkas Made.