Nelayan Rupat Desak Pencabutan Izin Tambang PT LMU

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Selasa, 20 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Dua nelayan Rupat adukan perusahaan tambang pasir laut, PT Logomas Utama (LMU) Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, dan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM (Kemenko Polhukam). Aktivitas tambang perusahaan itu selain mengancam nelayan juga merusak ekosistem mangrove. 

Dua Nelayan Pulau Rupat didampingi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan aduannya. Mereka mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memenuhi rekomendasi Gubernur Riau dan KKP untuk mencabut IUP PT LMU.

“Selain melakukan pengaduan terkait izin dan aktivitas tambang pasir laut PT LMU, nelayan Rupat bersama dengan jaringan yang bersolidaritas juga melakukan demonstrasi ke Kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba), Kementerian ESDM. Mereka mendesak kementerian ini mematuhi rekomendasi Gubernur Riau dan KKP untuk segera mencabut IUP PT LMU,” ujar Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin. 

Penolakan keberadaan aktivitas tambang PT LMU di laut bagian utara Pulau Rupat sudah dilakukan sejak Desember 2021 oleh nelayan tradisional yang sebagian besar adalah masyarakat adat Suku Akit. Gubernur Riau sendiri pada 12 Januari 2022 mengirim surat rekomendasi kepada Menteri ESDM untuk mencabut IUP perusahaan tersebut. Rekomendasi yang sama juga diberikan oleh KKP pada Februari 2022. Dasar penghentian aktivitas tambang tersebut karena 

Nelayan Rupat, Bengkulu, melakukan demonstrasi di Kementerian ESDM mendesak pencabutan izin perusahaan tambang pasir laut PT Logomas Utama (LMU) pada Jumat (16/9/2022). Sumber: Walhi

PT LMU tidak memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di perairan Pulau Rupat, Provinsi Riau. Penghentian aktivitas tambang ini ditindaklanjuti KKP dengan mengirim surat kepada Menteri ESDM pada 4 April 2022 untuk melakukan evaluasi penambangan pasir laut di perairan Pulau Rupat.

Perpres No.78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan PP No .62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar mengamanatkan tiga prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk pertahanan dan keamanan; kesejahteraan masyarakat; dan/atau pelestarian lingkungan hidup. 

“Tiga prinsip bermakna menjaga keutuhan NKRI,  pemanfaatan  sumber daya alam secara adil lestari serta memberdayakan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya,” tegas Parid.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Even Sembiring, menyebut nelayan Rupat sudah menyampaikan surat kepada Presiden Joko Widodo atas penolakan ini. Namun dinginnya respon Kementerian ESDM memaksa mereka menggelar demonstrasi. Tak hanya itu, keinginan dialog pun tak ditanggapi oleh kementerian itu. 

“Aktivitas tambang tersebut jelas telah mengakibatkan kerusakan ekosistem laut, mempercepat abrasi di wilayah pesisir dan menurunkan hasil tangkap nelayan tradisional,” jelas Even Sembiring.

Analisis spasial dan observasi lapangan WALHI Riau memperlihatkan kerusakan Pulau Rupat tidak hanya disebabkan aktivitas tambang pasir. Sebesar 61,7 persen daratan Pulau Rupat dibebani berbagai izin. Angka ini akan menjadi lebih besar jika ditambah luas pembudidayaan tambak udang dan ikan ilegal yang berkontribusi mengakumulasi kerusakan ekosistem mangrove. 

“Pulau Rupat merupakan pulau kecil yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Aktivitas tambang telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan hidup di Pulau Rupat, karena itu menteri ESDM harus segera mencabut izin PT LMU. Apabila tidak, Rupat terancam tenggelam,” tutup Even Sembiring.