Konversi Kendaraan Listrik Pemerintah Dianggap Tak Efektif
Penulis : Aryo Bhawono
Energi
Rabu, 21 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Presiden Joko Widodo memberi tugas Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mempercepat konversi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagai kendaraan dinas operasional dan kendaraan perorangan instansi pemerintah. Para aktivis menganggap kebijakan ini tidak akan menekan emisi gas rumah kaca secara substansial. Selain itu konflik kepentingan atas konversi ini sangat kental mengingat perusahaan Luhut memiliki perusahaan yang kini tengah mengerjakan kendaraan listrik.
Penugasan presiden kepada Luhut ini termuat dalam Instruksi Presiden No 7 Tahun 2022 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/ atau kendaraan perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah yang ditandatangani pada 13 September 2022. Inpres tersebut memberikan tiga tugas pokok kepada Luhut.
Pertama, melakukan koordinasi, sinkronisasi, monitoring, evaluasi, dan pengendalian atas pelaksanaan Instruksi presiden ini. Kedua, melakukan penyelesaian permasalahan yang menghambat implementasi percepatan program penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagai kendaraan dinas operasional dan kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat serta pemerintahan daerah.
Dan ketiga, melaporkan pelaksanaan Inpres ini kepada presiden secara berkala setiap enam bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Menteri dan pejabat lain juga mendapat penugasan, yakni Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dan sejumlah menteri lainnya.
Penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagai kendaraan dinas instansi pemerintah pusat dan daerah dapat dilakukan lewat skema pembelian, sewa, maupun konversi kendaraan bermotor bakar.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Fanny Tri Jambore, menganggap konversi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di instansi pemerintah ini tidak akan memberikan dampak signifikan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Karena pemenuhan kebutuhan listrik masih menggantungkan pada pembangkit tenaga fosil, baik PLTU batu bara, gas, ataupun minyak.
Selain itu pemerintah justru tak memberikan perhatian atas hilangnya hutan untuk pertambangan nikel, salah satu bahan baku baterai otomotif. Menurut catatannya, saat ini luas tambang nikel mencapai 900 ribu hektar. Sekitar dua pertiga konsesi tambang itu berada dalam kawasan hutan.
“Jadi program ini hanya gimmick saja. Kalaupun ada pengadaan, ini hanya proyek pemerintah untuk pengadaan kendaraan saja,” ucap dia.
Senada dengan Walhi, Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, mengungkapkan kebijakan untuk mengurangi emisi harus dilihat secara utuh. Permasalahannya tidak hanya soal kendaraan, namun meliputi komponen yang digunakan dalam kendaraan tersebut.
Selain deforestasi akibat tambang nikel, baterai yang digunakan dalam kendaraan listrik masih bersumber dari energi kotor yaitu PLTU batu bara untuk smelter nikel. Seharusnya ransisi energi tidak serta merta hanya mengganti kendaraan bahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik.
“Transisi energi harus diikuti dengan penghentian kegiatan pertambangan batu bara. Bukan malah membangun PLTU-PLTU lain,” ungkap dia.
Rawan Konflik Kepentingan
Pada 2019 lalu Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Berbasis Listrik Untuk Transportasi Jalan. pada peraturan itu Luhut juga ditunjuk sebagai ketua tim koordinasi percepatan program kendaraan bermotor berbasis baterai.
Menurut Hilman, hal ini memunculkan conflict of interest, karena Luhut sendiri terhubung dengan PT PT Toba Bara Sejahtera Energi Utama Tbk. Dikutip dari CNN Indonesia, pada November 2021 lalu, perusahaan ini menggandeng Gojek membangun usaha patungan (joint venture) bernama Electrum untuk membangun ekosistem motor listrik dalam negeri.
Kedua pihak akan mengucurkan dana sebesar US$1 miliar atau sekitar Rp16 triliun- 17 triliun dalam 5 tahun ke depan. Namun, untuk tahap awal dana yang dikucurkan sebesar 10 juta Dolar AS.
“Kondisi ini hanya akan membuat adanya potensi konflik kepentingan dan diduga berpotensi hanya akan menguntungkan pihak tertentu. Orientasinya tidak pada kepentingan lingkungan dan publik. Skor 0 lingkungan - 100 Pengusaha,” ucap Hilman.
Lebih lanjut ia menyebutkan Inpres No.7 tahun 2022 seharusnya tidak berisi mengenai penggantian mobil dinas pejabat publik. Langkah prioritas yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah adalah mengganti transportasi umum dengan electric vehicle, integrasi transportasi publik, dan membatasi produksi kendaraan yang berbahan bakar fosil.