Muasal Warga Pari Gugat Holcim Group

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Rabu, 21 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Empat warga Pulau Pari mengajukan gugatan terhadap Holcim Group ke pengadilan Swiss pada Juli 2022 lalu. Mereka menggugat perusahaan bahan bangunan itu karena produksi beton memiliki implikasi signifikan terhadap iklim.

Hingga hari ini, produksi beton di seluruh dunia telah meningkat tiga kali lipat sejak 1995. Produksi semen untuk bahan produksi beton ini, setidaknya telah melepaskan karbon dioksida dalam kuantitas yang cukup besar. Industri ini bertanggung jawab atas sekitar 8 persen emisi global tahunan yang digambarkan sebagai ‘bahan paling destruktif di bumi’.

Produksi beton sejajar dengan perusahaan industri batu bara, minyak bumi, dan gas sebagai kontributor emisi utama di dunia. Mereka dijuluki sebagai ‘Carbon Major’. Industri beton pun memikul tanggung jawab besar atas pemanasan global dan konsekuensinya.

Grup Holcim Swiss termasuk dalam daftar ‘Carbon Major’ tersebut, dengan penjualan hampir 27 miliar franc pada 2021 dan merupakan tercatat sebagai produsen bahan bangunan terbesar di dunia. Saat ini Holcim mengoperasikan 266 pabrik semen dan stasiun penggilingan di seluruh dunia, dan merupakan pemimpin pasar global untuk industri semen. 

Ilustrasi kenaikan permukaan air laut yang membanjiri kota pesisir. Foto: Dave/Creative Commons

Penelitian yang dilakukan oleh HEKS/EPER, menunjukan bahwa antara tahun 1950 hingga 2020, Holcim telah memproduksi lebih dari 7 (tujuh) miliar ton semen. Pada 2021, perusahaan ini memproduksi 200 juta ton semen.

Sayangnya, alih-alih menjadi beban bagi negara-negara kaya asalnya di Utara, beban justru dirasakan oleh warga yang sangat jauh, yakni di Pulau Pari. Perubahan iklim telah menuntun tingginya permukaan air laut, badai, gelombang tinggi atau gelombang pasang, serta menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim yang mengakibatkan banjir. Semakin tinggi suhu global, semakin sering dan ekstrim banjir yang terjadi. Ini mengancam eksistensial bagi pulau-pulau kecil dan daerah-daerah dengan pesisir dataran rendah.

Sudah 11 persen permukaan pulau telah menghilang ke laut. Bahkan sebagian besar pulau dapat terendam pada awal tahun 2050. Hal ini menimbulkan ancaman berat bagi hak asasi manusia bagi warga Pulau Pari, mata pencahariannya akan hancur – pantai-pantai yang indah akan hilang, begitupun pariwisata lokalnya.

Selain pariwisata, perikanan juga akan mengalami dampak yang sama. Bagaimanapun, keanekaragaman hayati adalah korban lain dari perubahan iklim. Tidak hanya itu, air sumur warga juga telah terkontaminasi air asin akibat kenaikan permukaan air laut.

Mustaghfirin (50 tahun) Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) yang juga berprofesi sebagai nelayan mengeluhkan kondisi cuaca yang sangat sulit ditebak. Kondisi laut berbeda dengan 6 sampai 7 tahun lalu karena kini cuaca tak bisa diprediksi cuaca. 

“Padahal, sebelum melaut, nelayan seperti kami harus membaca cuaca. Kondisi seperti sudah sangat merugikan kami, tidak jarang cuaca yang tadinya baik tiba-tiba di tengah perjalanan menjadi buruk sehingga memaksa kami untuk kembali ke pulau dan tidak melaut. Saya bahkan pernah hampir tenggelam karena gelombang yang tiba-tiba tinggi dan membuat perahu saya oleng.” keluhnya.

Senada dengan Bobby, Edi Mulyono (37 tahun), menuturkan Pulau Pari yang sudah terancam tenggelam “Air laut terus naik, banjir rob terjadi semakin sering dan semakin besar. Banjir rob pada 2019 dan 2020 bahkan menjadi rob paling besar yang pernah terjadi selama pulau ini ditinggali

“Akibat dari krisis iklim ini warga harus selalu waspada, beberapa sumur bahkan sudah tidak bisa digunakan karena tercemar air laut. Warga di bagian barat dan di RT 1 juga harus meninggikan rumahnya setiap tahun.” Tegas Edi yang berprofesi nelayan juga mengelola sebuah guesthouse untuk wisatawan.

Gugatan ini sesungguhnya mempertanyakan sejauh mana tanggung jawab dari Holcim sebagai pemimpin pasar industri semen di dunia yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim. Panel Perubahan Iklim Antar pemerintah (IPPC) merekomendasikan pengurangan emisi keseluruhan sebanyak 43 persen pada tahun 2030. 

Namun Holcim justru menetapkan target pengurangan relatif dalam “net zero” 2021 dengan memangkas emisi per tonase semen yang diproduksi. Hal ini menjadi tidak masuk akal, jika Holcim meningkatkan produksi semennya, maka emisi secara keseluruhan kemungkinan besar akan turut meningkat. 

Atas beban dan dampak yang dihadapi oleh warga Pulau Pari, empat perwakilan warga ini menuntut Holcim untuk bertanggung jawab atas ancaman keselamatan warga Pulau Pari dan mengganti kerugian sebagai kompensasi atas kerusakan material. Selanjutnya, dalam gugatannya warga juga menuntut Holcim untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 43 persen pada tahun 2030 dan 69 persen pada tahun 2040. 

Holcim juga dituntut wajib menanggung biaya tindakan mitigasi perubahan iklim yang diperlukan di Pulau Pari. Ini termasuk penanaman bakau dan/atau pertahanan banjir.