Erik Meijaard: Ilmuwan Dirugikan oleh Pengawasan Pemerintah
Penulis : Kennial Laia dan Aryo Bhawono
HAM
Jumat, 23 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Erick Meijaard merasai pemblokiran terhadap diri dan rekan-rekannya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turut mengancam ilmuwan lain, baik asing maupun Indonesia. Kemerdekaan ilmu pengetahuan turut terintimidasi.
Nama Meijaard dan empat rekannya termuat dalam surat pemblokiran pelayanan penelitian yang dikeluarkan KLHK, yakni surat Pengawasan Penelitian Satwa No. S.1447/ MENLHK-KSDAE/ KKHGG/ KSA.2/ 9/2022. Rekan Meijaard adalah Julie Sherman, Marc Acrenaz, Hjalmar Kruhl, dan Serge Wich.
“....saya ingin tegaskan bahwa yang menjadi perhatian sebenarnya bukanlah saya atau kelompok yang lain, tetapi untuk ilmu pengetahuan dan ilmuwan Indonesia yang ingin melindungi kemerdekaan ilmu pengetahuan,” ucapnya ketika melakukan kontak dengan redaksi Betahita.
Meijaard sendiri sebelumnya sudah lama malang melintang di dunia konservasi orangutan di Indonesia. Ia dan salah seorang rekannya yang kena blokir, Serge Wich, juga berkontribusi dalam penyusunan ‘Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007-2017’ yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam KLHK (waktu itu masih bernama Departemen Kehutanan Republik Indonesia).
SRAK Orangutan sendiri merupakan arahan teknis di lapangan untuk kegiatan konservasi 10 tahun ke depan untuk mencapai peningkatan populasi. SRAK mengarahkan kegiatan konservasi spesies spesifik, termasuk orangutan, di masing-masing bentang alam sehingga tidak dilakukan secara parsial. Misalnya saja di suatu bentang alam, konservasi orangutan, tidak hanya melakukan kegiatan penanganan konflik satwa dengan manusia.
Redaksi Betahita melakukan wawancara dengan keduanya, Meijaard dan Wich, secara terpisah untuk menanggapi surat ini sekaligus nasib orangutan. Berikut cuplikan wawancaranya:
Betahita: Apa tanggapan Anda terhadap surat yang dikeluarkan KLHK yang memutus semua akses dalam melakukan penelitian konservasi di Indonesia?
Erik Meijaard (Meijaard): Surat itu mengejutkan kami. Surat itu terunggah di media sosial sehingga tidak ada pemberitahuan sebelumnya dari pemerintah atau komunikasi lainnya kepada kami. Lima orang yang disebutkan dalam surat itu adalah orang yang sama yang muncul di artikel Jakarta Post, tetapi artikel itu diterbitkan pada 15 September dan surat itu bertanggal 14 September, jadi kami tidak tahu apakah surat KLHK itu terkait dengan artikel di Jakarta Post. Selain itu ada perbedaan besar antara lima peneliti yang disebutkan dalam surat itu. Hjalmar Kuhl misalnya, adalah peneliti asal Jerman yang sebagian besar bekerja di Afrika. Saya bahkan tidak tahu apakah dia pernah ke Indonesia. Serge Wich dan saya telah bekerja di konservasi Indonesia sejak awal 1990-an. Marc Ancrenaz berbasis di Malaysia dan telah beberapa kali ke Indonesia tetapi belum pernah melakukan penelitian di Indonesia. Dan Julie (Julie Sherman) adalah seorang mahasiswa PhD. Mengapa kita semua diperlakukan dengan cara yang sama, selain sebagai penulis di artikel Jakarta Post itu?
Serge Wich (Wich): Saya pikir sangat memprihatinkan KLHK bereaksi seperti ini pada tulisan yang dimaksudkan untuk merangsang perdebatan tentang data untuk konservasi orangutan. Ilmu pengetahuan hanya dapat beroperasi jika ada perdebatan terbuka dan jujur. Tampaknya KLHK tidak mau berdebat dan berbagi data. Hal seperti ini menjadi perhatian bagi dunia sains di Indonesia dan ilmuwan internasional yang berkolaborasi dengan ilmuwan Indonesia.
Betahita: Lantas apa tindak lanjut yang dilakukan menanggapi surat pemblokiran oleh KLHK?
Meijaard: Saya tidak tahu. Kami sudah mengirimkan surat kepada Menteri Siti Nurbaya untuk meminta klarifikasi karena saya tidak tahu dimana kesalahan kami. Seharusnya ada dasar hukum untuk pelarangan itu, jadi kami menunggu klarifikasi hukum dari pemerintah. Kemudian kami bisa mengevaluasi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Namun saya ingin tegaskan bahwa yang menjadi perhatian sebenarnya bukanlah saya atau kelompok kita yang lain, tetapi untuk ilmu pengetahuan dan ilmuwan Indonesia yang ingin melindungi kemerdekaan ilmu pengetahuan. Mereka lebih dirugikan oleh peningkatan pengawasan penelitian oleh pemerintah daripada kita.
Wich: Kami telah mengirimkan surat tanggapan ke KLHK dan berharap mereka akan menanggapi. Sangat mengejutkan mengetahui surat mereka hanya melalui media sosial dan bukan dari KLHK secara langsung. Kami berharap dapat berdiskusi dengan mereka sehingga masalah ini diharapkan dapat diselesaikan. Pemerintah dan ilmuwan menurut saya harus bisa berkolaborasi dan melakukan sains sebaik mungkin.
Betahita: Apakah anda memiliki selisih pendapat mengenai populasi orangutan di Indonesia dengan KLHK atau Menteri Siti Nurbaya?
Meijaard: Kami memutuskan untuk menanggapi artikel Foresthints yang mengklaim bahwa populasi orangutan terus bertambah. Hal ini sama sekali tidak didukung oleh ilmu pengetahuan. Saat ini ada data ilmiah hasil penelitian selama 30 tahun yang dikumpulkan oleh 100-an ilmuwan. Di masa yang sangat menantang ini, penting bagi lingkungan global dan keanekaragaman hayati untuk mendapatkan fakta yang benar. Jika populasi orangutan bertambah maka kita tidak perlu mengubah apapun. Jika ada yang menurun dan terus menurun, mereka akan punah dan kita harus segera melakukan perubahan. Ini cukup penting untuk kami tulis di Jakarta Post. Selama bertahun-tahun saya telah menulis sekitar 110 artikel di Jakarta Post dan Jakarta Globe, jadi ini bukan hal baru bagi saya. Namun, reaksi pemerintah semacam ini masih baru.
Betahita: Artinya menurut anda spesies orangutan saat ini dalam kondisi terancam?
Meijaard: Ketiga spesies orangutan tersebut berstatus kritis berdasarkan data penurunan populasi di masa lalu dan prediksi penurunan. Ini berarti mereka akan punah kecuali kita menghilangkan ancaman saat ini.
Catatan: Tiga spesies orangutan yakni orangutan borneo (Pongo pygmaeus) di Kalimantan dan Malaysia (Sabah dan Sarawak), orangutan sumatra (Pongo abelii) di Sumatra, dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang baru ditemukan pada 2017 di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Betahita: Apakah anda pernah menyebutkan soal pengaruh deforestasi terhadap orangutan?
Meijaard: Ya, studi terbaru kami menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia telah sangat menurun sejak tahun 2015. Ini adalah kabar baik bagi orangutan, tetapi ancaman kedua (pembunuhan) tampaknya lebih besar dari sebelumnya, dan tingkat pembunuhan tampaknya tetap pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Ini adalah salah satu penjelasan dari populasi yang terus menurun.
Betahita: Sejak kapan anda sendiri terlibat penelitian di Indonesia
Meijaard: Saya mulai menjadi mahasiswa di Indonesia pada tahun 1992 dan mulai menggarap orangutan pada tahun 1994. Saya menerbitkan buku konservasi besar pertama tentang konservasi orangutan pada tahun 1999 ‘Di Ambang Kepunahan!: Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21’. Saya telah bekerja di konservasi orangutan sejak itu dan tinggal di Indonesia selama 25 tahun.
Wich: Saya memulai penelitian di Indonesia pada tahun 1993 dan telah melakukan penelitian bekerja sama dengan sejumlah besar ilmuwan Indonesia dari mereka dan juga terlibat dalam memberikan dukungan MSc dan PhD kepada mahasiswa Indonesia. Kami semua mendapat manfaat dari kolaborasi satu sama lain sebagai ilmuwan dan pemerintah pada akhirnya diuntungkan dengan memiliki komunitas ilmiah yang kuat dan terbuka, bukan komunitas yang tidak kritis terhadap pemerintah. Saya pikir itu adalah perkembangan yang sangat mengkhawatirkan bagi para ilmuwan asing dan Indonesia.
Betahita: Apakah ada rencana penelitian di Indonesia dalam waktu dekat?
Meijaard: Tidak, saya tidak memiliki rencana untuk melakukan penelitian di Indonesia dalam waktu dekat.
Wich: Saya sudah lama tidak melakukan penelitian aktual di Indonesia tetapi telah bekerja dengan rekan-rekan Indonesia dan internasional yang melakukan penelitian di Indonesia. Kolaborasi semacam itu sepertinya mendapat tekanan dari KLHK dan ini sangat disayangkan bagi semua ilmuwan yang terlibat dan juga untuk konservasi.