Investasi Nikel: Lika liku Mimpi Produksi Hingga Baterai Otomotif
Penulis : Aryo Bhawono
Hari Tambang dan Energi
Selasa, 27 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Jabat tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Republik Rakyat Cina, Xi Jinping, di tengah acara Indonesia-China Business Luncheon di Hotel Shangri-La, Jakarta pada Oktober 2013 lalu boleh boleh dibilang menjadi awal investasi besar-besaran atas nikel di Indonesia. Keduanya sepakat membangun proyek smelter nikel berkapasitas 300.000 ton feronikel per tahun di Morowali, Sulawesi Tengah, senilai 1,1 miliar Dolar AS. Kesepakatan inilah yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembangunan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Pembangunan ini seiring dengan tren dunia untuk meraih nikel demi memenuhi bahan baku pembuatan baterai otomotif (electronic vehicle/EV). Indonesia sendiri punya modal besar sumber daya alam besar waktu itu.
Badan Geologi Direktorat Jenderal Mineral Batubara (Ditjen Minerba) mencatat pada 2013, sumberdaya nikel laterit di Indonesia mencapai 3.565 juta ton bijih (lebih dari 3,5 miliar ton) atau setara dengan 52,2 juta ton logam Ni. Sedangkan jumlah cadangan laterit mencapai 1.168 juta ton bijih (lebih dari 1,1 miliar ton) atau setara dengan 22 juta ton logam Ni.
Lokasi sumberdaya laterit berada di Kawasan Timur Indonesia terutama di Sulawesi Tenggara, Halmahera Maluku Utara, dan pulau Gag kepulauan Waigeo, Papua.
Sebaran lokasi sumber daya laterit di Indonesia berada di Kawasan Timur Indonesia 2014.
Kesepakatan dengan Cina ini mengubah besaran dan wujud investasi nikel di Indonesia. Pembangunan smelter nikel digencarkan di Indonesia. Eksploitasi nikel pun digenjot untuk memenuhi kebutuhan bahan baku.
Investasi nikel di Indonesia bermula dari Kontrak Karya tambang nikel laterit dengan PT International Nickel Indonesia (PT INCO) pada 1968. Mereka meresmikan fasilitas penambangan dan pengolahan nikel di Sorowako pada 1997.
Perpanjangan kontrak dilakukan pada tahun 1996 hingga 2025. Pada 2006 PT Vale Brasil mengakuisisi INCO Ltd, pemilik 60 persen saham PT INCO. Enam tahun kemudian, PT.INCO resmi menjadi PT Vale Indonesia, Tbk ( PT Vale).
Laporan tahunan PT Vale Indonesia menyebutkan pada tahun 2019, VCL menguasai 58,73 persen saham Vale Indonesia. Publik, Sumitomo Metal Mining Co. Ltd, Vale Japan Limited, dan Sumitomo Corporation menguasai masing-masing 20,49 persen, 20,09 persen, 0,54 persen, dan 0,14 persen sisa saham.
Vale Indonesia pun duduk sebagai produsen utama nikel di Indonesia. perusahaan ini menghasilkan nikel matte, produk setengah jadi dari bijih laterit. Proses Pertambangan di PT. Vale Indonesia merupakan kegiatan yang bermula dari awal yaitu eksplorasi hingga ke tahap akhir yaitu pengolahan. Kegiatan proses penambangan bijih nikel (Ni) di Sorowako salah satunya menggunakan metode drilling.
Pada tahun 2019, perusahaan ini mempekerjakan 3.044 orang mereka memproduksi 71.025 ton nikel matte dan meraup pendapatan USD 782 juta dengan laba (EBITDA) 232,4 juta Dolar AS.
Dikutip dari website PT Vale Indonesia, perusahaan itu dan Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan renegosiasi KK dan mengubah sebagian ketentuan pada Oktober 2014. Salah satunya adalah pelepasan areal KK menjadi seluas hampir 118.435 hektar.
Luasan ini berarti PT Vale mengalami pengurangan areal KK hingga hanya 1,8 persen dari luasan awal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia pada saat penandatanganan KK tahun 1968 seluas 6,6 juta hektar di bagian timur dan tenggara Sulawesi akibat serangkaian pelepasan areal KK.
Kertas Kerja KPK dan Yayasan Auriga Nusantara bertajuk ‘Tata Kelola Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah: Pengalaman Industri Berbasis Nikel di Morowali’ menyebutkan Selain PT Vale Indonesia, perusahaan BUMN yang memiliki lokasi cebakan nikel yang luas adalah PT. Aneka Tambang (ANTAM). BUMN ini memiliki konsesi tambang berada di Pulau Sulawesi dan Halmahera. Mereka tak hanya menghasilkan bijih nikel melainkan juga melakukan pengolahan yang menghasilkan ferronikel, yaitu suatu paduan logam antara nikel dan besi.
Pada 1997 PT. Aneka Tambang masuk ke pasar modal, dan di 2008 menjual ingot (batangan) feronikel ke negara Jerman, Inggris, Belgia, dan Jepang, dengan feronikel sekitar 10.000 ton nikel dan sekitar 3 juta wmt ( wet metric ton) bijih nikel.Sejak 2013 perusahaan China, Rusia, Jepang, Korea, Perancis, Kanada, Brazil, termasuk Indonesia mulai membangun industri hidrometalurgi yang mengelola nikel menjadi baterai untuk kebutuhan industri mobil listrik di masa datang.
Pada tahun 2019, Antam menambang bijih nikel sebanyak 8,70 juta ton untuk menjual di dalam dan di luar negeri, selain memproduksi feronikel 25.713 ton. Perusahaan menjual feronikel senilai Rp 4,8 triliun, bijih nikel senilai Rp 3,7 triliun, lantas meraup laba dari sayap bisnis nikel Rp 2,10 triliun (Antam, 2020).
Setelah terbit UU Minerba, pemerintah mengizinkan penambangan nikel melalui IUP. Pemerintah menerbitkan ratusan IUP nikel di seluruh Indonesia. Ini memicu produksi dan ekspor bijih nikel, terutama ke Tiongkok.
Sementara itu, kontrak karya pertambangan nikel telah diterbitkan pula oleh pemerintah untuk PT Gag Nickel di Pulau Gag dan PT Weda Bay Nickel di Pulau Halmahera. Setelah memasuki era otonomi daerah yang mengatur perizinan kegiatan pertambangan menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten, maka banyak sekali diterbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel, baik izin untuk tahapan eksplorasi maupun izin operasi produksi. Hampir di seluruh Indonesia yang memiliki potensi endapan nikel laterit, berada dalam wilayah IUP tersebut.
Sejak tahun 2010, Indonesia merupakan sumber utama impor nikel Tiongkok untuk pembuatan NPI. Sekitar 50 persen dari total nilai impor bijih nikel Tiongkok datang dari Indonesia pada tahun 2013
Hingga saat ini telah ada setidaknya 54 perusahaan penambang nikel di Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Pada 12 Januari 2014, untuk mendorong industri peleburan dalam negeri, pemerintah melarang ekspor mineral mentah. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 memaksa semua perusahaan pemegang KK dan IUP untuk mengolah mineral dalam negeri. Larangan membuat mayoritas pemegang IUP produksi berhenti beroperasi, sehingga sekitar 30.000 pekerja tambang kehilangan pekerjaan.
Mereka tidak mampu membangun smelter dalam negeri. Larangan mengakibatkan ekspor bijih nikel merosot tajam. Pada tahun 2014, volume ekspor bijih nikel hanya 4,1 juta ton dengan nilai 8,9 juta Dolar AS, dibanding 64,8 juta ton dengan nilai 1,6 miliar Dolar AS pada tahun 2013.
Data IUP dan Smelter di Indonesia 2020. Sumber: Booklet Potensi Investasi Nikel di Indonesia (ESDM)
Perkembangan Investasi Setelah Hilirisasi
Pembangunan IMIP pada 2013 mengubah pola investasi. Hilirisasi industri nikel dilaksanakan untuk menghasilkan berbagai jenis produk seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), stainless steel, dan kedepannya nikel komponen baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik.
Hilirisasi ini mengolah potensi dan cadangan nikel. Data Badan Geologi 2019 mencatat sumberdaya nikel mencapai 11,7 miliar ton dan cadangan sebanyak 4,5 miliar ton. Angka ini mendudukkan Indonesia sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia. Cadangan Nikel sebesar 90 persen berada di empat provinsi, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
(Flourish Nikel Di Dunia)
Laporan Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) berjudul ‘Rangkaian Pasok Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekologi’ menyebutkan industri nikel juga berkembang di Pulau Obi dan Weda di Provinsi, Maluku Utara. Harita Group mengantongi izin pertambangan seluas 5.524 ha melalui dua perusahaan, PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa di Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Harita sedang membangun pabrik komponen baterai berbasis nikel bekerja sama dengan perusahaan asal Tiongkok, yakni Zhejiang Lygend Investment Co. Sejak tahun 2018, Harita telah mengoperasikan smelter feronikel bersama perusahaan Tiongkok lainnya, Xinxing Ductile Iron Pipes Co.
Selain itu,konstruksi kawasan industri serupa IMIP yaitu Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang berlokasi di Weda, Halmahera Tengah, masih berjalan. Proyek ini direncanakan menjadi kawasan industri yang akan mengerjakan proses smelting mineral dan memproduksi komponen baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik secara terintegrasi.
IWIP adalah salah satu dari delapan kawasan industri prioritas nasional dalam Rancangan RPJMN 2020-2024. Proyek ini memulai proses konstruksi pada tahun 2018.
Siapa Diuntungkan Dengan Investasi Nikel Terkini?
Pemerintah berkali-kali mengumbar keberhasilan menarik investor asing, terutama Cina, untuk membangun pengolahan nikel. Dikutip dari CNBC Indonesia, Presiden Joko Widodo, bahkan sampai punya mimpi untuk menjadi negara terbesar produsen utama penghasil produk-produk barang yang berbasis nikel, terutama baterai.
"Sekali lagi Indonesia akan menjadi produsen utama produk-produk barang yang berbasis nikel seperti lithium, baterai listrik. Ini kesempatan emas untuk membangun ekonomi hijau ke depan," ucap Jokowi dalam Seremoni Implementasi Rencana Tahap Kedua Industri Baterai Listrik Terintegrasi di Batang, Juli lalu.
Namun ekonom Faisal Basri mengungkapkan melalui blognya berjudul ‘Presiden Dibohongi Mentah-mentah’, bahwa mimpi itu jauh panggang dari api. Smelter investor asing yang masuk ke dalam negeri memang berhasil mengolah bijih nikel menjadi feronikel, stainless steel slab, dan lembaran baja. Namun, beberapa produk itu sudah cukup lama telah dihasilkan di dalam negeri, antara lain oleh PT Antam (Persero) di Pomalaa, PT Valle di Sorowako, dan PT Indoferro di Cilegon.
“Sampai sekarang tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida nikel (kadar nikel (Ni) 35 persen sampai 60 persen) dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama menghasilkan baterai,” tulisnya.
Ia pun menyebutkan justru investor asinglah yang mendapat untung besar atas model investasi nikel yang dibuka pemerintah. Mereka menikmati fasilitas mulai dari tax holiday, nihil pajak ekspor, tak bayar pajak pertambahan nilai, boleh membawa pekerja kasar sekalipun tanpa pungutan 100 dollar AS per bulan bagi pekerja asing.
Sejurus dengan Faisal, Ekonom Universitas Tadulako, Ahlis Djirimu, mengungkapkan aktivitas IMIP sendiri tak menumbuhkan ekonomi eksklusif bagi Provinsi Sulawesi Tenggara. “Sedangkan pada daerah yang melimpah area pertambangannya, bukannya kemakmuran tetapi yang terjadi kesuraman yang mereka dapatkan,” ucap dia.
Dalam rangka memperingati "Hari Jadi Pertambangan dan Energi" yang jatuh pada 28 September setiap tahunnya, redaksi Betahita menyajikan serangkaian reportase guna terus mengkritisi kondisi negeri. Sepekan ke depan betahita berupaya menyajikan tulisan yang mengambil sudut pandang lain dari berkembangnya industri pertambangan dan energi di Indonesia.