Wajah Industri Nikel Kini

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hari Tambang dan Energi

Kamis, 29 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Ambisi Pemerintah Indonesia untuk menaikkan nilai tambah komoditi nikel tampak terlihat dari kebijakan hilirisasi nikel yang diterapkan, namun terkesan setengah hati. Pada Januari 2020, Pemerintah Indonesia mulai menerapkan sepenuhnya larangan ekspor bijih nikel, dalam upaya mendorong pengembangan smelter dan industri hilir nikel dalam negeri.

Terhitung ada sekitar 58 smelter nikel yang diproyeksikan dibangun di Indonesia, 29 di antaranya berstatus operasional. Selain itu ada 8 kawasan industrial terpadu yang dibangun di Sulawesi dan Maluku.

Hilirisasi nikel ini diharapkan akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan ekspor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor produk nikel olahan meningkat menjadi US$10,6 miliar pada 2020 dari US$8,3 miliar pada 2019, di mana sekitar US$1,1 miliar disumbang dari ekspor bijih nikel yang belum diolah.

Asal mula kebijakan larangan ekspor bijih itu sebenarnya sudah ada sejak berlakunya UU Minerba 2009. Namun, pemerintah melonggarkan kebijakan larangan ekspor nikel yang diamanatkan pada 2017 (mengizinkan beberapa izin ekspor untuk perusahaan yang berkomitmen untuk mengembangkan smelter dalam negeri), dengan maksud agar larangan penuh diterapkan kembali pada Januari 2020.

Tampak dari ketinggian kawasan industri terpadu PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Auriga Nusantara.

Namun, setelah pengumuman pada Agustus 2019, pemerintah memberlakukan kembali larangan total per 1 Januari 2020. Per Agustus 2021, terdapat 13 smelter nikel yang sudah beroperasi dan pemerintah menargetkan tambahan 3 smelter nikel dapat beroperasi secara komersial pada akhir 2021. Pada 2024, pemerintah memproyeksikan total operasi smelter nikel mencapai 30.

Indonesia juga telah memasuki sejarah baru dalam pengolahan bijih nikel setelah beroperasinya pabrik hidrometalurgi, yang dikembangkan oleh PT Halmahera Persada Lygend, pada Juni 2021, yang menggunakan nikel limonit untuk menghasilkan MHP (campuran hidroksida endapan).

MHP adalah bahan utama baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik. Dalam beberapa dekade terakhir, negara hanya mampu mengolah nikel saprolit melalui pembangkit pirometalurgi yang intensif energi untuk menghasilkan feronikel, nikel matte dan NPI.

Melihat sumber daya nikelnya, Indonesia telah mengumumkan ambisinya untuk menjadi pemain penting dalam rantai pasokan kendaraan listrik global, dengan mengembangkan industri manufaktur kendaraan listrik domestik dengan target ekspor 200.000 mobil listrik pada 2025, dan pabrik baterai kendaraan listrik dengan target kapasitas sebesar 140 gigawatt-jam pada 2030.

Target ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi secara cepat setelah 2030 dan menjajaki peluang untuk mempercepat kemajuan menuju emisi net-zero pada 2060.

Elit Politik dan Pemerintah di Pusaran Mobil Listrik

Bicara mobil listrik, sejumlah elit politik dan pemerintah terindikasi ikut bermain sebagai pelakunya, langsung maupun tidak langsung. Itu berdasarkan temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Yang mana, Luhut Binsar Pandjaitan (Kemenko Marves) dan Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan) melalui TBS Energi Utama Tbk (Toba) dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) diketahui mendirikan perusahaan patungan bernama Electrum. Electrum sendiri sudah menjalin kerja sama dengan Pertamina dan Gogoro Inc., perusahaan energi dan produsen kendaraan listrik asal Taiwan.

Demikian juga dengan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Mantan Panglima TNI ini sudah memulai bisnis kendaraan listriknya, setahun sebelum diangkat menjadi Kepala KSP pada Januari 2018. Di bawah bendera PT Mobil Anak Bangsa (MAB) miliknya, Moeldoko memproduksi beragam kendaraan berbasis listrik, seperti bus, mini van, hingga sepeda motor.

Selain itu, ada juga nama Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang tercatat rutin mempromosikan motor listrik bernama BS Electric saat agenda resmi negara maupun partai. Motor yang diproduksi oleh PT Bhakti Satia Elektrik itu sampai masuk di laman resmi MPR RI.

Pada pertengahan 2021, Bamsoet ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo)--sebuah asosiasi yang baru dibentuk dua bulan sebelumnya. Pendiri dan ketuanya adalah Moeldoko.

Tak hanya oleh korporasi swasta, BUMN juga tidak mau ketinggalan bermain di industri nikel dan baterai kendaraan listrik. Jokowi membentuk PT Industri Baterai Indonesia (Indonesia Battery Corporation, IBC), yang merupakan gabungan empat perusahaan pelat merah dari berbagai sektor yakni PT Mining Industry Indonesia (MIND ID), PT Pertamina, PT PLN, dan PT Aneka Tambang (Antam). Perusahaan konsorsium ini mendapat mandat khusus dari Jokowi untuk kelola industri baterai kendaraan bermotor listrik dari hulu hingga hilir.

Drama Gugatan Larangan Ekspor Nikel

Namun belakangan larangan ekspor nikel mentah oleh Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara ini membuat Uni Eropa marah.

Pada November 2019 lalu kebijakan larangan ekspor nikel itu kemudian digugat Uni Eropa di Word Trade Organization (WTO). Uni Eropa menuduh pembatasan ekspor nikel itu dirancang Indonesia untuk menguntungkan industri peleburan dan baja tahan karatnya sendiri.

Uni Eropa merasa tidak adil bila akses produsen mereka terhadap komoditas tersebut menjadi dibatasi. Sedangkan China disebut telah menimbun bijih nikel jelang larangan ekspor nikel berlaku.

Baru-baru ini Presiden Jokowi menyebut kemungkinan Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa tersebut. Namun begitu, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinas Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia berseloroh tak gentar bila nantinya Indonesia kalah dalam gugatan itu.

Bahlil menyebut, bilapun Uni Eropa menang, Pemerintah Indonesia akan membuat aturan baru lagi untuk melakukan hilirisasi yang maksimal di Indonesia dan membuat negara-negara Eropa berpikir sekian kali untuk mengimpor bijih nikel Indonesia. Aturan dimaksud misalnya dengan menaikkan pajak ekspor untuk komoditas bijih nikel.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Pemerintah Indonesia bakal menghadapi masalah yang cukup gawat bila dinyatakan kalah dalam gugatan itu. Bila kalah, Pemerintah Indonesia kemungkinan harus membayar kompensasi kepada Uni Eropa dengan nilai yang tak kecil. Selain itu Indonesia sepertinya juga harus mencabut larangan ekspor bijih nikel.

Pakar Ekonomi Faisal Basri menganggap, pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel maupun penerapan penaikan pajak ekspor nikel, tidak banyak mengubah kondisi industri nikel di Indonesia. Karena arah kebijakan yang dituju Pemerintah Indonesia adalah hilirisasi, bukan industrialisasi.

Menurutnya, dengan hilirisasi, keuntungan yang diperoleh Indonesia dari mineral logam ini tidak maksimal. Sebab produk turunan nikel dalam negeri yang dihasilkan smelter-smelter tetap saja mengalir ke luar negeri. Beda halnya bila yang dituju adalah industrialisasi, yang memungkinkan Indonesia lebih paripurna memanfaatkan nikelnya sendiri.

"Kemudian, meskipun pajak ekspor dinaikkan, yang diuntungkan tetap China. Lihat saja, dari 23 smelter nikel, 21 di antaranya milik China. Jadi tetap saja, mau larangan ekspor atau penaikan pajak ekspor yang diuntungkan tetap China," kata Faizal Basri, 12 September 2022 lalu.

Sumber Daya dan Cadangan Nikel

Nikel terjadi di alam terutama sebagai sulfida dan laterit (oksida dan silikat). Bijih nikel laterit, yang menyumbang sekitar 80 persen dari cadangan nikel dunia, kini menjadi semakin penting bagi pasokan nikel dunia seiring dengan meningkatnya permintaan nikel dalam beberapa dekade terakhir.

Secara keseluruhan, Indonesia dan Filipina akan tetap menjadi sumber nikel terbesar secara global. Bersama dengan Rusia, Kaledonia Baru, dan Australia, kelima negara ini menyumbang hampir tiga perempat dari total global.

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), pada 2020, total cadangan nikel global berjumlah sekitar 94 juta metrik ton dengan Indonesia, Australia, Brasil dan Rusia, masing-masing memegang 22,3 persen, 21,3 persen, 17,0 persen dan 7,3 persen dari cadangan nikel global. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, dengan 21 juta ton, menurut USGS.

Bijih nikel laterit Indonesia yang terdiri dari limonit kadar rendah dan saprolit kadar tinggi tersebar di beberapa daerah seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Halmahera, dan Papua.

Menurut laporan yang diterbitkan, sejarah penambangan nikel di Indonesia dimulai pada tahun 1901, ketika Kruyt, seorang berkebangsaan Belanda, meneliti bijih besi di Pegunungan Verbeek, Sulawesi, tempat Soroako berada. Kemudian pada tahun 1909, E.C. Abendanon, juga seorang ahli geologi Belanda, menemukan bijih nikel di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Per Desember 2020, Indonesia memiliki sumber daya nikel sekitar 141,4 juta ton dan cadangan sekitar 49,3 juta ton, menurut laporan Badan Geologi Indonesia yang dirilis pada Januari 2021.

Para Elit Politik dan Pemerintah di Tambang dan Industri Nikel

Besarnya sumber daya dan cadangan nikel Indonesia ini menarik perhatian banyak pengusaha, dalam negeri maupun luar negeri untuk berinvestasi. Sejumlah perusahaan raksasa memegang izin pertambangan maupun memiliki smelter di Indonesia, di antaranya bahkan merupakan elit politik dan pemerintah.

Jatam menemukan, Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), lewat perusahaan utamanya, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), telah menambahkan kepemilikan sahamnya di PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) sebesar 1,46 persen hingga akhirnya menjadi 18,34 persen.

MDKA dan Tsingshan Group Limited--perusahaan stainless-steel raksasa asal China--telah mendirikan perusahaan baru bernama PT Merdeka Tsingshan Indonesia (MTI) untuk proyek AIM (Acid, Iron, Metal) yang mengolah sisa bijih mineral dari tambang tembaga wetar, untuk diolah menjadi asam sulfat, pelet bijih besi, uap panas, tembaga spons, dan pirit sebagai bahan baku baterai.

“Saham MTI ini dimiliki MDKA sebanyak 80 persen dan Tsingshan sebanyak 20 persen,” kata Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam.

Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem Ahmad Ali, juga tercatat terafiliasi dengan PT Graha Mining Utama, PT Graha Agro Utama, PT Graha Istika Utama, dan PT Tadulako Dirgantara Travel. Selain itu, Ali juga tercatat sebagai Direktur PT Oti Eya Jaya Abadi, sebuah perusahaan tambang nikel Desa Lele, Dampala dan Siumbatu.

"Perusahaan ini diduga sebagai salah satu pemasok ore nikel ke PT IMIP di Bahodopi, Morowali," imbuh Melky.

Menurut koleksi data Yayasan Auriga Nusantara, di empat wilayah provinsi kaya nikel di Indonesia, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, terdapat 270 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel, seluas sekitar 828.667,5 hektare, yang masih aktif, baik izin operasi produksi maupun izin eksplorasi. Data tambang tersebut berdasarkan pembaruan data IUP Kementerian ESDM per Juli 2022.

Rinciannya, Maluku Utara 48 izin seluas 213.921,25 hektare, 8 izin di Sulawesi Selatan seluas 107.334,51 hektare, 94 izin di Sulawesi Tengah seluas 310.054,66 hektare dan 120 izin di Sulawesi Tenggara seluas 197.357,08 hektare.

Perkembangan Industri Nikel

"Biji nikel telah bisa diolah menjadi feronikel, stainless steel slab, lembaran baja, dan dikembangkan menjadi bahan utama untuk baterai litium. Hal ini akan memperbaiki defisit transaksi berjalan kita, meningkatkan peluang kerja, dan mulai mengurangi dominasi energi fosil. Hal ini akan membuat posisi Indonesia menjadi sangat strategis dalam pengembangan baterai litium, mobil listrik dunia, dan produsen teknologi di masa depan," kata Presiden Jokowi dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-75 Proklamasi Kemerdekaan RI, 14 Agustus 2020 lalu.

Ya, sejak berlakunya UU Pertambangan Minerba 2009, yang mewajibkan penambang untuk mengolah bijihnya di dalam negeri sebelum dikirim ke luar negeri, banyak produsen baja dan pedagang bijih nikel, terutama China, berbondong-bondong mengembangkan smelter di Indonesia.

Tsingshan Group adalah salah satu dari sedikit perusahaan pertama yang bertindak dan sejak itu menjadi pemain dominan di industri NPI Indonesia dan pemimpin global dalam teknologi pemrosesan NPI. Perusahaan tersebut sekarang merupakan produsen baja tahan karat terbesar di dunia.

Pada 2020, PT Hydrotech Metal Indonesia (HMI) memperkenalkan Teknologi Step Temperature Acid Leach (STAL) dalam pengolahan Hidrometalurgi berbasis nikel dan kobalt untuk menghasilkan Mixed Hydrozide Precipitate (HMP). Menurut HMI, Teknologi STAL memungkinkan operasi penambangan dan peleburan nikel untuk memulai dari yang kecil dan berkembang dengan mudah.

Karena desain modularnya dan sangat cocok untuk penambang skala kecil dan bijih laterit berkadar rendah di Indonesia. HMI bersama Yokohama Mining Industries Corp berniat membangun 4 line STAL dengan kapasitas 7.200 tpa pada tahun 2023.

Pada Maret 2021, Tsingshan Group mengumumkan rencana untuk memasok 100.000 ton nikel matte yang berasal dari NPI ke produsen bahan baku baterai China mulai Oktober 2021. Pengumuman tersebut telah menimbulkan sensasi di pasar dan memicu diskusi intensif di pasar tentang proses konversi, efisiensi biaya atas potensi kelebihan pasokan.

Tsingshan menyarankan uji coba produksi nikel matte bermutu tinggi ini (>75 persen) telah diperdagangkan di fasilitas RKEF di IMIP pada Juli 2020, yang berhasil diselesaikan pada akhir 2020, menurut Nickel Mines Ltd. Konversi NPI-to-matte dapat memperkuat ikatan antara pasar nikel Kelas 1 dan Kelas 2, sehingga nikel kadar rendah yang awalnya dibuat untuk industri stainless dapat digunakan di sektor baterai.

Smelter dan Kawasan Industri Terpadu Nikel

Demi merealisasikan ambisinya untuk meningkatkan nilai tambah dari nikel, pemerintah mengobral izin pembangunan smelter atau fasilitas pemurnian nikel di berbagai daerah. Terhitung ada 58 proyek smelter yang dibangun di Indonesia.

Proyek-proyek smelter itu paling banyak berada di Sulteng sejumlah 25 proyek, 6 proyek di Sulsel, 10 proyek d Sultra, 10 proyek di Maluku Utara, 6 proyek di Banten dan 1 di Jawa Barat.

Dari 58 smelter itu 29 unit di antaranya sudah beroperasi, 24 proyek lainnya masih dalam tahap konstruksi dan sisanya 5 proyek masih dalam tahap perencanaan.

Selain smelter, di empat provinsi itu juga tersebar sejumlah kawasan industrial terpadu yang sudah beroperasi.

Sejauh ini ada 8 kawasan industri terpadu yang beroperasi di Sulteng (3), Sultra (1), Sulsel (1) dan Maluku Utara (3), yakni:

  1. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu
    KEK Palu diresmikan oleh pemerintah pada 2014. KEK Palu merupakan kawasan pertama yang dirancang sebagai pusat logistik terpadu dan industri pengolahan pertambangan di koridor ekonomi Sulawesi dan termasuk dalam PSN (Proyek Strategis Nasional).
    Dari segi geostrategis dan geoekonomi, KEK Palu sangat unggul dari yang lain karena terletak di dekat Alur Laut Kepulauan Indonesia 2 (ALKI) 2) yang dilintasi lebih dari 6.400 kapal per tahun. Saat ini, enam penyewa menempati 400 hektare dari total 1.500 hektare lahan yang tersedia.
    Mereka bergerak di bidang industri aspal, keramik, mebel, pertanian dan pengolahan. Rencana pengembangan KEK Palu mencapai Rp8,7 triliun, dengan rencana investasi masuk sebesar Rp92,4 triliun.
    PT Hydrotech Metal Indonesia berencana membangun 10 jalur smelter STAL untuk memproduksi total 18.000 ton nikel (Ni) per tahun di atas lahan seluas 200 hektare di KEK Palu.

  2. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)
    Pada Oktober 2013, Shanghai Decent Investment (Group) Co., Ltd., perusahaan grup Tsingshan, dan Bintang Delapan Group menandatangani perjanjian untuk mengembangkan kawasan industri baru di Morowali, sekarang dikenal sebagai IMIP, yang dirancang untuk memasok produk berbasis nikel ke China.
    IMIP mulai beroperasi pada Januari 2015 setelah selesainya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pertama PT Sulawesi Mining Investment. Menempati lahan seluas 3.000 hektare, IMIP menampung tiga klaster industri, yakni komponen stainless steel, carbon steel, dan baterai electrical vehicle (EV) yang saat ini hampir rampung.
    Selain itu, IMIP juga mengembangkan fasilitas daur ulang baterai lithium melalui PT Indonesia Puqing Recycling Technology. Pada tahap awal, fasilitas ini mampu memproses sekitar 20 ktpy baterai lithium bekas (1GWh menghabiskan baterai lithium beratnya sekitar 5.500 ton).

  3. Stardust Estate Invesment (SEI)
    Stardust Estate Invesment mengembangkan kawasan industri yang terletak di Desa Bunta, Bungintimbe dan Tanaufe, Kecamatan Petasia dan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara.
    SEI telah menyelesaikan pembangunan Kawasan Industri Pematangan Lahan (tahap 1), yaitu jaringan jalan dan sistem drainase serta fasilitas pendukung lainnya seperti kantor, mess, klinik, kantor polisi, pos militer, rumah pemadam kebakaran, pusat pelatihan, gedung HSE , menara BTS, tempat penampungan sementara limbah berbahaya (B3), laboratorium, dan stockpile, gudang.
    Kawasan industri tersebut memiliki penyewa yang akan menempati kawasan tersebut, yaitu PT Gunbester Nickel Industri (1,8 Mtpa FeNi), PT Nadesico Nickel Industry (1,8 Mtpa FeNi), dan PT Ideon Nickel Industry Ore (150 ktpa FeNi).

  4. Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP)
    VDNIP merupakan kawasan industri feronikel dan baja tahan karat pertama di luar negeri dari Jiangsu Deong Nickel Industry Co., Ltd. dan China First Heavy Industries (CFHI). Luas kawasan yang direncanakan adalah 2.200 hektare.
    Pada tahap pertama, proyek peleburan feronikel dengan kapasitas produksi tahunan 600.000 ton (VDNI). Ada tiga proyek besar, yakni smleting plant, power plant, dan dermaga dengan total investasi USD1 miliar.
    Konstruksi dimulai pada 2015 dan jalur produksi pertama dioperasikan pada 2017. Pada tahun yang sama, Jiangsu Delong dan Xiamen Xiangyu Group menginvestasikan USD2 miliar untuk membangun proyek peleburan terintegrasi dengan produksi tahunan 3 juta ton baja tahan karat feronikel, dan mulai pembangunan fase kedua VDNIP. Pada April 2020, Proyek Peleburan Terintegrasi Stainless steel (OSS) tahap kedua yang dibangun bersama di China dan Indonesia, secara resmi mulai diproduksi.

  5. Kawasan Industri Bantaeng
    Kawasan Industri Bantaeng atau Bantaeng Industrial Park (BIP) merupakan salah satu kawasan industri yang rencana pengembangannya telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 oleh pemerintah pusat untuk memfasilitasi pengembangan smelter nikel untuk menghasilkan feronikel, nikel pig besi dan nikel matte.
    BIP termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). BIP didukung oleh infrastruktur jalan dan kelistrikan yang mapan serta lokasi yang strategis, menjadikannya salah satu tujuan investasi paling menarik di Sulawesi Selatan.
    Pada 2015, terdapat 21 investor yang telah setuju untuk membangun smleter, pabrik, pembangkit listrik atau penyimpanan bahan bakar di BIP, atau memindahkan usahanya ke kawasan industri ini. Pada Juli 2018, PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia menyelesaikan pembangunan 2 jalur RKEF dengan kapasitas produksi tahunan 60.000 ton feronikel. Sementara itu, Titan Mineral Utama masih menyelesaikan pabrik pengolahan feronikelnya.

  6. Industrial Weda Bay Industrial Park (IWIP)
    Pada Juni 2017, Tsingshan membentuk usaha patungan dengan Eramet untuk mengembangkan deposit nikel Teluk Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Deposit ini terletak di Pulau Halmahera yang jarang penduduknya. Konsesi pertambangan terletak di Teluk Weda dan merupakan pelabuhan laut dalam yang potensial.
    Pada Agustus 2018, setelah pendirian usaha patungan, pembangunan kawasan industri baru dimulai dan serupa dengan pembangunan di IMIP di Sulawesi. Pada April 2019, Tungku Listrik No. 1 di kawasan industri itu mulai berproduksi.
    IWIP sedang meningkat, dan saat ini memiliki 24 jalur RKEF yang beroperasi. Huayou Cobalt, mitra usaha patungan lain di IWIP, akan memproduksi nikel matte di lokasi tersebut. Pada 2023 diharapkan menjadi produsen nikel olahan terbesar ketiga secara global, di belakang IMIP dan Virtue Dragon. Kawasan industri ini memiliki captive power station dengan kapasitas 750 MW.

  7. Kawasan Industri Buli
    Proyek Kawasan Industri Buli awalnya terdaftar sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden No. 3/2016, namun berdasarkan Peraturan Presiden No. 109/2020, proyek tersebut dihapus dari daftar.
    Proyek ini berlokasi di Buli, Kabupaten Halmahera Timur di atas lahan seluas 300 hektar milik PT Antam Tbk. Antam melalui anak usahanya PT Feni Haltim mengembangkan proyek tersebut bersama dengan proyek smelter nikelnya.
    Upacara pemancangan pertama dilaksanakan pada 25 April 2017. Sejauh ini, beberapa fasilitas kawasan industri seperti kantor manajemen, pabrik oksigen, dan jetty solid port 35.000 DWT telah dibangun. Sementara itu, pembangunan proyek smelter sudah berjalan dengan penyelesaian proyek fisik sebesar 98,17 persen hingga Maret 2021 dan masih terkendala pasokan listrik.

  8. Kawasan Industri Pulau Obi
    Untuk mendorong pertumbuhan baru khususnya Indonesia bagian timur, pemerintah telah menetapkan Kawasan Industri Pulau Obi yang merupakan salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020.
    Pembentukan kawasan industri tersebut bertujuan untuk menggerakkan industri hilir mineral dan mendukung industri kendaraan listrik nasional. Kawasan ini diharapkan dapat menjadi pusat pembangunan dan pusat pertumbuhan wilayah di Pulau Obi khususnya, Halmahera, serta Maluku Utara pada umumnya.
    Kawasan industri tersebut dikelola oleh Harita Group, yang telah beroperasi di pulau itu sejak 2010. Saat ini, 2 smelter beroperasi di kawasan tersebut, yaitu PT Megah Surya Pertiwi (MSP) dan PT Halmahera Persada Lygend (HSL), sedangkan PT Halmahera Jaya Feronikel masih dalam pengembangan.

Hilirisasi Setengah Hati

Faisal Basri mengungkapkan, perusahaan smelter dari China ramai datang ke Indonesia karena menikmati fasilitas luar biasa dari pemerintah, mulai dari tax holiday, nihil pajak ekspor, tak bayar pajak pertambahan nilai, boleh membawa pekerja kasar sekalipun tanpa pungutan 100 dollar AS per bulan bagi pekerja asing.

"Mereka bebas mengimpor apa saja yang dibutuhkan. Tak pula harus membayar royalti tambang. Mereka bebas menentukan surveyor dan trader yang bertindak sebagai oligopsoni menghadapi pemasok bijih nikel. Semua fasilitas itu tidak mereka nikmati di negara asalnya," ungkap Faisal dalam blog pribadinya.

Menurut Faisal, Indonesia tentu saja sangat diuntungkan bila terjadi peningkatan proses nlai tambah di dalam negeri. Industri berbasis bijih nikel bisa berkembang pesat hingga menghasilkan produk akhir atau semi-akhir berupa baterai, plating, dan logam campuran berbasis nikel (nickel based alloy), pipa las tahan karat, dan batang baja tahan kerat. Produk-produk itu digunakan oleh banyak sektor usaha, antara lain konstruksi kapal, otomotif, pertahanan, rel kereta api, peralatan rumah tangga, alat kesehatan, migas, bangunan, dan banyak lagi.

"Pidato Presiden benar adanya bahwa kita telah berhasil mengolah bijih nikel menjadi feronikel, stainless steel slab, dan lembaran baja. Namun, beberapa produk itu sudah cukup lama telah dihasilkan di dalam negeri, antara lain oleh PT Antam (Persero) di Pomalaa, PT Vale di Sorowako, dan PT Indoferro di Cilegon."

Akan tetapi, sampai sekarang tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida nikel (kadar nikel (Ni) 35 persen sampai 60 persen) dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama menghasilkan beterai.

Perusahaan-perusahaan smelter yang menjamur baru mencapai sekitar 25 persen menuju produk akhir. Jadi tidak bisa dikatakan telah menjalankan industrialisasi atau menjadi ujung tombak industrialisasi di Indonesia. Kalau menggunakan istilah hilirisasi, perjalanan menuju hilir masih amat panjang.

Perusahaan-perusahaan smelter itu pada umumnya mengekspor produk seperempat jadi ke negara asalnya. Di sana diolah lebih lanjut, kemudian diekspor ke Indonesia, misalnya untuk kebutuhan sektor migas dan otomotif.

"Jadi sebenarnya yang terjadi adalah praktik pemburuan rente besar-besaran."

Menurut Faisal, belum ada sama sekali pijakan untuk mengembangkan bijih nikel menjadi bahan utama untuk baterai lithium. Belum ada rute menuju ke sana. Indonesia sejauh ini hanya dimanfaatkan sebagai penopang industrialisasi di China dengan ongkos sangat murah dibangdingkan apabila kegiatan serupa dilakukan di China.

"Nilai tambah yang kita nikmati tak sampai 10 persen dari keseluruhan nilai tambah yang tercipta dari model hilirisasi sekarang ini. Itu pun kebanyakan dinikmati oleh para pemburu rente di dalam negeri."

Industri Nikel Hanya Ciptakan Pertumbuhan Ekonomi yang Eksklusif

Menurut Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Muh. Ahlis Djirimu, industri nikel bisa menimbulkan fenomena "penyakit belanda". Maksudnya, pertumbuhan ekonominya tinggi tapi eksklusif dan minim penciptaan lapangan kerja.

"Tidak menciptakan lapangan kerja, apalagi masyarakatnya tidak siap sebagai pekerja. Dari sisi ketenagakerjaan tidak siap," kata Ahlis.

Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) ini mencontohkan fenomena itu bercermin pada kondisi di Morowali, kabupaten di mana IMIP berada. Dikatakannya, jumlah buruh yang dipekerjakan di IMIP diperkirakan sekitar 40 ribu. Namun tenaga kerja lokal Morowali persentasenya sangat sedikit.

"Dari Morowali boleh dikatakan sangat sedikit. Perkiraan tidak sampai 10 persen. Justru dari luar, utamanya dari Sulsel."

Pekerja asing, lanjut Ahlis, terhitung cukup banyak di IMIP, terutama dari Tiongkok. Jumlahnya sekitar 3000 orang, namun masa kerjanya tergantung pada kontrak, 3 bulan misalnya. Yang jadi masalah adalah para pekerja Tiongkok ini bahkan melakukan pekerjaan kasar, sebut saja seperti mengaduk semen, yang seharusnya bisa dikerjakan dan menjadi peluang kerja bagi pekerja lokal.

Ia menerangkan, pertumbuhan ekonomi di Morowali memang tinggi tapi membenamkan. Karena daerah yang melimpah pertambangannya bukannya kemakmuran yang didapatkan justru kesuraman.

"Seperti Morowali, core-nya Morowali itu justru di perikanan dan tanaman pangan dan hortikultura."

Ahlis menyebut di Sulteng, angka pengangguran justru tinggi dan itu adalah fenomena yang ironis. Fenomena lainnya, di tahap awal beroperasinya tambang nikel yang terjadi adalah pindahnya petani dan nelayan menjadi buruh kasar.

"Lebih dari 10 ribu orang pindah kerja, setelah tidak diperlukan lagi kembali ke daerahnya tapi sudah terganggu pekerjaannya. Pola pikir berubah. Kalau masih jadi pekerja kasar mereka setiap sore menerima upahnya. Sedangkan bila sebagai petani dan nelayan tergantung musim," ujar Ahlis.

Dalam rangka memperingati "Hari Jadi Pertambangan dan Energi" yang jatuh pada 28 September setiap tahunnya, redaksi Betahita menyajikan serangkaian reportase guna terus mengkritisi kondisi negeri. Sepekan ke depan betahita berupaya menyajikan tulisan yang mengambil sudut pandang lain dari berkembangnya industri pertambangan dan energi di Indonesia.