Meragukan Keberhasilan Klaim Reklamasi Lubang Tambang
Penulis : Aryo Bhawono
Hari Tambang dan Energi
Jumat, 30 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyajikan data keberhasilan pemenuhan target reklamasi tambang. Namun keberhasilan ini mendapat kritik karena masih adanya korban di lubang tambang.
Data keberhasilan reklamasi oleh Kementerian ESDM disajikan melalui situs Minerba One Data (MODI). Data ini menyebutkan angka reklamasi tambang dari tahun 2013 hingga 2021 telah memenuhi target. Kecuali pada 2013, dari rencana 6.559 Ha yang ditargetkan baru tercapai 6.400 Ha (96,98 persen).
Selebihnya, dari 2014 hingga 2021 capaian reklamasi berada di atas 100 persen. Persentase paling tinggi terjadi pada 2020, yakni dari target 7.000 ha tercapai 9.694 ha (138 persen).
Namun keberhasilan ini diragukan oleh aktivis lingkungan. Laporan tahun 2018 yang dimiliki oleh koalisi Bersihkan Indonesia mencatat lima provinsi terbanyak yang memiliki lubang tambang, yakni Kalimantan Timur dengan 1.735 lubang tambang, Kalimantan Selatan dengan 814 lubang tambang, Kalimantan Tengah dengan 163 lubang tambang, Sumatra Selatan dengan 163 lubang tambang, dan Jambi dengan 59 lubang tambang.
Mereka mencatat selama ini kewajiban reklamasi dan pasca tambang tidak diarahkan menjadi bagian dari aktivitas usaha. Definisi kegiatan reklamasi dalam perundangan kala itu (UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) tidak diarahkan justru memberikan ruang bagi pengusaha sehingga dapat menghindari kewajiban reklamasi dan pasca tambang.
Kecelakaan yang mengakibatkan kematian pun tak lepas dari teledornya pengawasan soal lubang tambang ini. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat di Kalimantan Timur, dari 2011 hingga 2021, terdapat 40 jiwa meninggal akibat keberadaan lubang tambang.
Parahnya perundangan minerba terbaru, UU No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Minerba, justru melonggarkan aturan soal reklamasi dan pasca tambang. Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jambore Christianto, mengungkapkan pada UU sebelumnya mewajibkan perusahaan untuk memenuhi dua aktivitas, yakni reklamasi dan pasca tambang, terhadap lubang bekas aktivitas mereka.
Namun dalam UU terbaru tersebut dua aktivitas itu hanya menjadi pilihan saja. Pasal 96 huruf b, menyebutkan ‘Pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan, termasuk kegiatan Reklamasi dan/atau Pascatambang’.
Frasa ‘reklamasi dan/atau pasca tambang’ menunjukkan bahwa pengusaha bisa memilih salah satunya saja..
Padahal dalam perundangan sebelumnya, yakni UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba, disebutkan frasa ‘reklamasi dan pasca tambang’.
“Disini UU No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Minerba justru melonggarkan aturan,” kata dia.
Makanya perubahan kebijakan melalui UU ini, ditambah dengan fakta lapangan mengenai keberadaan lubang tambang dan korban meninggal menjadi salah satu basis keraguan atas data keberhasilan reklamasi.
Menurutnya dua aktivitas, yakni reklamasi dan pasca tambang merupakan dua aktivitas berbeda karena pasca tambang itu merupakan pemulihan lingkungan, seperti pengembalian vegetasi, pencegahan bencana, dan lainnya.
“Jadi bukan sekedar diisi air kemudian jadi tempat wisata masalah jadi selesai. Harusnya pencegahan bencana, pengembalian vegetasi, hingga menetralisir zat kimia yang tersisa harus dilakukan,” ucap dia.