PT Freeport Indonesia Dituding Bohongi Publik soal Tailing

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 07 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (FI), Tony Wenas dituding melakukan disinformasi dan pembohongan publik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR RI, yang digelar Selasa (27 September 2022) lalu. Tudingan itu merujuk pada klaim Tony Wenas yang menyebut pengelolaan tailing PT FI selama ini sesuai dengan peraturan dan tidak menimbulkan permasalahan bagi lingkungan hidup maupun masyarakat.

Tudingan miring terhadap pernyataan pihak PT FI ini bukannya tanpa dasar. Masyarakat sipil menemukan adanya ketidaksesuaian pernyataan PT FI dengan kondisi faktual di lapangan.

Perlu diketahui, PT FI hingga saat ini menggunakan kriteria wilayah konsesi untuk memetakan dampak terhadap warga dan memberikan kompensasi. Sehingga dalam hal ini PT FI hanya mengakui lima daskam (dasar kampung) Suku Kamoro dan tiga desa Suku Amungme yang terdampak operasinya.

Kelima daskam tersebut yakni Daskam Nayaro, Tipuka, Ayuka, Nawaripi dan Koperapoka, serta tiga desa Suku Amungme yakni Kampung Singa, Arwanop dan Waa. Di luar kelima daskam Suku Kamoro dan tiga desa Suku Amungme ini, PT FI enggan bertanggung jawab atas kerugian yang diterima warga akibat operasi pertambangannya.

Tampak dari ketinggian kondisi sungai di sekitar PT Freeport Indonesia./Foto: PT FI

Dengan lain perkataan, PT FI menjadikan kompensasi atas segelintir kelompok di lima daskam dan tiga desa tersebut sebagai pembenaran pertanggungjawaban kepada warga terdampak operasi pertambangannya.

Bagaimana mungkin tambang emas raksasa yang sudah beroperasi puluhan tahun dan membuang setidaknya 230 ribu ton limbah tailing setiap harinya, hanya mencemari wilayah lima daskam dan tiga desa saja?

Nyatanya, jauh di luar konsesi PT FI, terdapat 23 kampung yang tersebar di Distrik Jita, Distrik Agimuga dan Distrik Mimika Timur Jauh, yang selama ini tidak pernah diakui oleh PT FI sebagai warga terdampak operasinya.

Warga di sejumlah distrik itu menderita akibat cemaran tailing PT FI. Di aliran sungai pembuangan tailing, sering kali ditemui kejadian ikan-ikan mati busuk, dalam jumlah mengerikan banyaknya.

“Kejadian ini tak pernah terjadi sebelum Freeport membuang tailing ke sana,” ungkap Doliey, dari organisasi lingkungan Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah (Lepemawi) Mimika Timur Jauh, yang fokus isu kerusakan lingkungan hidup di Timika, dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (6/10/2022).

Menurut pantauan masyarakat sipil, pembuangan tailing atau limbah pertambangan ini bahkan telah menimbulkan akibat yang lebih parah, dan itu tidak diantisipasi PT FI, yakni pengendapan material di dasar sungai yang telah mengakibatkan pendangkalan sungai. Padahal sebelum mengalami pendangkalan, sungai ini adalah sarana transportasi warga, kini sungai dimaksud tak dapat digunakan lagi.

Suku Amungme di Agimuga serta Suku Sempan di Jita dan Mimika Timur Jauh, adalah masyarakat asli yang secara turun temurun telah mendiami wilayah-wilayah tersebut. Tapi, sejak PT FI menggelontorkan miliaran ton tailing ke Sungai Aghawagon, Otomana hingga Ajkwa, masyarakat asli yang tinggal di tiga distrik itu kemudian kehilangan sarana transportasi sungainya. Hingga kini, setidaknya 230 ribu ton per hari tailing Freeport dibuang ke sungai-sungai tersebut.

Lebih dari enam ribu jiwa tiga distrik ini adalah penerima akibat langsung kerusakan lingkungan sejak Freeport beroperasi. Selain sarana transportasi, sungai adalah salah identitas yang melekat pada masyarakat asli Papua, termasuk di Mimika. Sebagaimana istilah “tiga S” yang melekat pada masyarakat asli Papua yakni sagu, sungai, dan sampan.

Tanpa izin warga, sungai-sungai ini telah dirampas dan dijadikan sebagai “kanal” limbah tailing Freeport. Selain Sungai Aghawagon dan Otomana yang dijadikan sebagai aliran pembuangan tailing hingga ke tanggul, setidaknya terdapat enam sungai lainnya yang hancur, bahkan hilang akibat tailing Freeport.

Keenam sungai itu adalah Ajkwa atau Wanogong, Minajerwi, Yamaima, Nipa, Kopi dan Sempan. Sungai-sungai ini mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dari limbah Freeport, mengalami penyempitan pada muara sungai, hingga menjadi daratan.

Kerugiannya bagi tiga distrik ini maha besar. Ekosistem perairan yang sebelumnya menjadi ruang hidup serta sumber pangan dan penghidupan warga, kini rusak dan ikan-ikan mati dan menghilang. Ikan-ikan ditemukan mati busuk dalam jumlah sangat besar, setidaknya dalam tiga kali kejadian.

Kejadiannya, tercatat pada April 2016, jutaan ikan mengambang busuk di tanggul barat Freeport hingga pelabuhan Amamapare. Kejadian berulang, pada Febuari 2020, ribuan ikan mati membusuk di pelabuhan Amamapare lagi. Sebulan kemudian, ribuan ikan mati ngambang di tanggul timur Freeport.

Warga memegang kertas bertulisan keluhan dan tudingan pembohongan publik yang dilakukan oleh pihak PT Freeport Indonesia./Foto: Istimewa

Menurut penuturan salah satu warga di Kampung Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, para pembeli ikan di Pasar Mimika, umumnya enggan membeli ikan jika tahu ikan tersebut diambil dari Sungai Ajkwa dan sekitarnya.

Belum lagi untuk urusan transportasi. Tak jarang warga harus menunggu pasang surut air laut hingga 5-6 hari agar perahu mereka bisa melintas sungai dan muara yang dipenuhi sedimen tailing. Itu pun masih harus berhadapan dengan ombak tinggi di lautan karena mereka harus memutar menjauhi pesisir untuk menghindari sedimentasi.

Sering kali warga harus membuang komoditas hasil bumi, ternak dan dagangan mereka di tengah laut agar mengurangi beban perahu untuk selamat sampai ke tepian. Bahkan ketika terjebak sedimen tailing di sungai atau muara, warga harus mendorong perahu mereka hingga 30 Km selama berjam-jam.

Pilihan warga untuk memutar jauh ke laut lepas demi menghindari sedimen ini, telah meningkatkan jumlah kecelakaan kapal di Mimika sepanjang 2011-2022.

Terparah pada 4 Desember 2019, yang mana satu long boat yang mengangkut sembilan warga menuju Distrik Agimuga, terbalik akibat dihantam ombak di muara Sungai Sampan di sekitar Pulau Puriri. Peristiwa ini menyebabkan satu orang dinyatakan hilang dan delapan lainnya selamat setelah delapan jam terombang-ambing di lautan bertahan dengan mengandalakan jerigen kosong sebagai pelampung.

Freeport enggan bertanggung jawab atas peristiwa ini dan peristiwa serupa lainnya, karena tidak menganggap kerugian warga ini sebagai akibat dari operasinya. Lagi-lagi perusahaan tersebut hanya berdalih dengan kriteria wilayah terdampak yang selama ini mereka gunakan, yakni lima daskam dan tiga desa saja.

Padahal dengan semakin parahnya sedimen di sungai dan muara, warga juga turut kehilangan akses atas pelayanan publik seperti pendidikan dan Kesehatan. Warga terisolir akibat sedimentasi dari tailing Freeport ini.

Bahkan, terdapat satu kampung yang penduduknya harus mengungsi karena kampungnya dikepung oleh endapan limbah tailing. Pada 2017, masyarakat Suku Kamoro yang telah mendiami Kampung Pasir Hitam secara turun-temurun dipaksa kehilangan tanah leluhurnya karena digusur oleh tailing Freeport.

Warga kehilangan tempat tinggal, rumah, kenangan, bahkan cita-cita leluhur mereka. Warga Kampung Pasir Hitam terpaksa harus mengungsi ke kota ikut sanak saudara. Ada juga masyarakat yang mendirikan kamp-kamp di pinggir Sungai Yamaima.

Tidak ada lagi kehidupan di kampung mereka yang telah dikepung limbah. Limbah tailing PT FI yang dibuang serampangan ini mempengaruhi kesehatan warga, terutama di wilayah pembuangan limbah.

Amatus, salah seorang warga masyarakat adat yang terdampak mengungkapkan, anak-anak perempuan di Kampung Pasir Hitam mempunyai penyakit akut, berupa sakit kepala yang datang tiba tiba, penyakit kulit, sesak nafas, kaki dan tangan kram, hilangnya nafsu makan. Akibatnya, banyak korban meninggal setiap hari dan bulannya.

“Hal ini berdampak dari setiap harinya kami berdiri dan berpijak dengan menghirup udara limbah tailing Freeport, mandi tailing, cuci pakai air tailing,” tuturnya.

Tidak hanya manusianya, habitat buaya di kawasan sungai dan muara pun hancur akibat tailing Freeport. Walhasil kondisi itu memaksa buaya-buaya untuk keluar dan memasuki pemukiman warga.

Di tahun ini, setidaknya sudah tercatat tiga peristiwa buaya masuk ke pemukiman warga. Pertama pada 21 Januari 2022, buaya sepanjang tujuh meter menerkam warga di Ayuka, Distrik Mimika Timur Jauh. Kedua, pada 17 Februari 2022 sekeor buaya muncul ke pemukiman warga di sekitar Jembatan 2 Pomako di Distrik Mimika Timur. Ketiga, pada 16 Maret 2022 seekor buaya muncul di kawasan Bandara Mozes Kilangin.

Kompensasi transportasi yang juga disinggung Tony Wenas dalam rapat dengan Komisi IV tersebut juga isapan jempol belaka. Padahal kompensasi bus gratis yang diberikan oleh PT FI hanya ada di Kampung Nayaro saja. Sedangkan kampung-kampung lainnya, apalagi kampung di luar lima daskam dan tiga desa dalam kriteria wilayah terdampak PT FI, sama sekali tidak ada.

"Termasuk juga klaim bantuan penyedian motor tempel, yang kami tidak pernah temui ada di lapangan. Kalaupun memang ada, seharusnya Tony Wenas harus menjelaskan itu dengan detail. Sedangkan kami, warga yang sehari-hari ada di kampung tidak pernah merasakannya," kata Doliey.

Tailing hasil tambang PT FI dimuat ke dalam tongkang./Foto: PT FI

Pembaruan Amdal Freeport adalah Penipuan Publik

Di kesempatan sama, Kepala Kampanye Jatam Bagus Hadi Kusuma mengungkapkan, PT FI tak hanya berbohong dan menyembunyikan fakta terkait permasalahan tailing dan pemenuhan kompensasi saja, Tony Wenas dalam RDPU Komisi IV DPR-RI itu juga menyebutkan soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Freeport Tahun 1997 yang mengakomodir pembuangan tailing ke Sungai Aghawagon-Otomona dan diendapkan di Sungai Ajkwa.

"NamunTony Wenas tidak menyebutkan bahwa selama Freeport beroperasi, bahkan hingga penyusunan Amdal 1997 yang dia banggakan itu, masyarakat asli yakni Suku Kamoro, Amungme dan Sempan sama sekali tidak pernah dilibatkan. Artinya Freeport masuk ke Papua tanpa izin dari penduduk asli," kata Bagus.

Dalam upaya pembaruan Amdal-nya pada 2020 lalu pun, PT FI juga telah melakukan manipulasi dan memecah belah warga suku asli. Freeport diduga telah melakukan penipuan dan cara kotor dengan menyembunyikan informasi terhadap warga lingkar tambang di Kabupaten Mimika, Papua dalam proses penyusunan dokumen Amdal yang baru.

Freeport tengah melakukan pengembangan dan optimalisasi tambang bawah tanah dan tambang terbuka di Kabupaten Mimika, hingga kapasitas maksimum 300 ribu ton ore per hari. Atas rencana tersebut, Freeport harus melakukan penyesuaian dan pembaruan Amdal atau addendum.

"Proses penyusunan Amdal baru di tengah situasi pandemi COVID-19 inilah yang penuh kejanggalan, dilakukan dalam proses yang singkat, tidak transparan, menyembunyikan dokumen draf rencana Amdal baru hingga terindikasi diduga untuk memanipulasi persetujuan warga," terang Bagus.

Sebelumnya, pada 23 Juli 2020, Freeport mengundang perwakilan warga Kampung Ayuka, Tipuka, Nawaripi, Koperapoka, Nayaro, Arwanop, Waa/Banti, dan Tsinga untuk hadir dalam kegiatan pelatihan Amdal yang dilaksanakan pada 27-28 Juli 2020. Dalam surat dinyatakan bahwa dasar kegiatannya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisa Dampak Lingkungan dan Izin Lingkungan.

Namun tidak lama berselang, hanya dua pekan, pada 5 Agustus 2020, datang kembali surat dari Freeport yang berisi undangan tentang konsultasi publik yang akan dilaksanakan pada Jumat, 7 Agustus 2020. Setelah itu, datang kembali surat dari Freeport tertanggal 11 Agustus 2020 yang berisi perihal yang sama, undangan konsultasi publik dalam rangka penyusunan dokumen Amdal yang akan dilaksanakan pada 13 Agustus 2020.

"Begitu cepat dan singkatnya proses pelatihan Amdal hingga proses konsultasi publik ini merupakan kejanggalan yang mengindikasikan upaya Freeport mengelabui warga dengan memanfaatkan percepatan pembahasan dan penyusunan Amdal menunggangi masa pandemi Covid-19 saat itu."

Sebelumnya dalam momen RDPU dengan Komisi IV DPR RI itu Tony Wenas bilang, tailing yang dihasilkan dari sisa produksi tambang PT FI tidak beracun dan berbahaya, serta terbukti aman, karena limbah yang dihasilkan perusahaan yang dipimpinnya sudah bebas dari merkuri dan sianida sebelum dibuang ke sungai.

"Ia aman dimakan hewan," kata Tony Wenas.

Lebih jauh Tony Wenas mengatakan, pendangkalan sungai-sungai akibat sedimentasi buangan tailing sudah diperkirakan dan diantisipasi dengan baik oleh PT FI dengan membangun dan memperluas tanggul tailing di Sungai Ajkwa, sesuai dengan Dokumen Amdal Freeport Tahun 1997.