Besar Ancaman Tambang Pasir Besi di Pesisir Barat Bengkulu

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 10 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pemerintah didesak untuk melakukan penyelamatan terhadap daerah pesisir barat Kabupaten Seluma, Bengkulu, dari ancaman tambang pasir besi. Sebab, saat ini setidaknya ada 3 izin pertambangan pasir besi yang aktif di wilayah pesisir itu, dengan total luas sekitar 5 ribu hektare.

Ancaman pertambangan pasir besi itu pula yang mengantarkan sebelas perwakilan masyarakat pesisir barat Kabupaten Seluma, Bengkulu, datang ke Jakarta. Mereka datang demi menyampaikan secara langsung penolakan penambangan pasir besi PT Faminglevto Bakti Abadi, sekaligus meminta izin perusahaan tersebut dicabut.

Di Jakarta, kesebelas orang dari Desa Pasar Seluma itu mendatangi sejumlah kementerian dan lembaga, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kantor Staf Presiden (KSP), Komisi Nasional Perempuan dan Ombudsman RI.

Selain mendesak pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Faminglevto Bakti Abadi, masyarakat juga mendesak pencabutan IUP sejumlah perusahaan tambang lainnya, yang akan menjalankan operasi tambang pasir besi di Seluma. Sebab dalam jangka panjang, tambang pasir besi akan menghancurkan kelestarian pesisir barat Bengkulu, dan pesisir Barat Sumatera, umumnya.

Lokasi tambang pasir besir PT Faminglevto Bakti Abadi di pesisir pantai Desa Pasar Seluma. Perusahaan pertambangan ini diduga beraktivitas tanpa perizinan lengkap./Foto: Walhi Bengkulu

IUP PT Faminglevto Bakti Abadi, misalnya, tercatat sepanjang membentang 2.400 meter, yang lebarnya 350 meter menjorok ke laut dan 350 meter lagi menjorok ke daratan pesisir Desa Pasar Seluma. Keberadaan tambang PT Faminglevto ini tentu saja menuai penolakan dari warga sekitar.

Penolakan tambang pasir besi PT Faminglevto Bakti Abadi itu bahkan sudah dilakukan sejak Desember 2021 lalu. Yang mana pada saat itu kelompok perempuan pesisir Desa Pasar Seluma menduduki lokasi tambang PT Faminglevto selama 5 hari 4 malam, dan berakhir dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian Polres Kabupaten Seluma, dengan alasan menghalang-halangi aktivitas pertambangan yang tertuang dalam Pasal 162 Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Bukan itu saja, penolakan juga terus dilakukan mulai dari tingkat kabupaten hingga Provinsi Bengkulu. Masyarakat bersama mahasiswa dan aktivis lingkungan juga sudah berulang kali melakukan aksi demonstrasi meminta izin PT Faminglevto Bakti Abadi dicabut.

Beberapa organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu lingkungan, organisasi kepemudaan dan organisasi mahasiswa lainnya, juga sudah berkirim surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta agar segera mencabut izin PT Faminglevto.

Selain potensi ancaman kerusakan lingkungan wilayah pesisir--yang mana sebagian besar warga menggantungkan hidup sebagai pencari remis, alasan lain penolakan terhadap keberadaan PT Faminglevto itu juga dilatari oleh adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Pelanggaran dimaksud, perusahaan melakukan aktivitas operasi pertambangan tanpa memiliki perizinan yang lengkap.

Dugaan pelanggaran PT Faminglevto itu jadi temuan tim yang dibentuk oleh Gubernur Bengkulu. Hal itu juga diperkuat dalam rapat cross check yang dilakukan di Kantor Gubernur Bengkulu, yang mana dalam pertemuan tersebut, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu yang menyatakan bahwa perizinan PT Faminglevto belum lengkap.

Selanjutnya, menurut laporan yang disampaikan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, areal pertambangan PT Faminglevto ternyata masuk dalam kawasan konservasi Cagar Alam Pasar Seluma.

Temuan lainnya, perusahaan itu juga belum melakukan perbaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan belum memiliki persetujuan teknis air limbah. Kemudian terdapat tumpang tindih konsesi tambang dengan lahan masyarakat, vegetasi pantai dan lahan lainnya.

Lainnya lagi, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu, juga menyatakan areal tambang PT Faminglevto Bakti Abadi berada di zona yang dilarang dan berpotensi merusak ekosistem laut, serta belum mendapatkan izin kesesuaian penggunaan ruang laut dari KKP.

“Jika PT Faminglevto Bakti Abadi melanjutkan kegiatan operasi penambangan di Desa Pasar Seluma, tentu sangat mengancam ruang hidup masyarakat. Kami akan kehilangan hutan pantai jika perusahaan tersebut beroperasi. Hal itu sangat mengkhawatirkan, karena hutan pantai yang ada sangat berperan penting melindungi desa dari ancaman abrasi bahkan tsunami,” ungkap Novika, perwakilan perempuan Desa Pasar Seluma, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Jumat (7/10/2022).

Apa yang Novika sebutkan tentang ancaman tsunami itu bukan sembarangan. Wilayah pesisir Seluma memang ditetapkan sebagai wilayah zona merah rawan bencana tsunami. Hal itu ditandai dengan adanya early warning system di Desa Pasar Seluma dan shelter tsunami di Desa Rawa Indah.

“Pada saat yang sama, masyarakat sangat khawatir akan kehilangan mata pencaharian sebagai pencari remis (kerang) dan juga akan mengancam hilangnya wilayah tangkap nelayan yang ada di Desa Pasar Seluma,” imbuh Novika.

Aktivitas PT Faminglevto Dinonaktifkan

Gelombang penolakan terhadap PT Faminglevto yang dilakukan warga Seluma ini belakangan berhasil mendorong Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba), Kementerian ESDM untuk menonaktifkan aktivitas PT Faminglevto Bakti Abadi melalui Surat Nomor: B-4368/MB.07/ DBT/2022 tentang Teguran 1 tertanggal 3 Agustus 2022. Dalam surat tersebut Dirjen Minerba juga meminta PT Faminglevto untuk memperbarui dokumen lingkungan atau mendapatkan rekomendasi atau izin dari KLHK.

Kepala Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Dodi Faisal menyampaikan, PT Faminglevto diduga telah melakukan aktivitas pertambangan tanpa disertai izin lengkap yang dikeluarkan oleh Negara. Untuk itu pihaknya meminta KLHK menolak seluruh perbaikan dokumen lingkungan PT Faminglevto, dan tidak memberikan rekomendasi persetujuan lingkungan kepada perusahaan tersebut.

“Kami juga mendesak agar Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk tidak mengeluarkan izin operasional penggunaan ruang laut terhadap perusahaan pertambangan PT Faminglevto Bakti Abadi, sebab jelas dalam UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 Pasal 35 Huruf (K) bahkan dalam UU tersebut juga dijelaskan ketentuan pidana pada Pasal 73,” urai Dodi.

Dodi melanjutkan, ancaman terhadap pesisir barat Kabupaten Seluma sudah sangat memprihatinkan. Bukan hanya PT Faminglevto Bakti Abadi saja yang memiliki IUP pasir besi di sana, tetapi juga terdapat konsesi pertambangan lain yang berpotensi menimbulkan dampak ekologis dan merampas ruang hidup rakyat

“Ada pertambanganan lain yaitu PT Belindo Inti Alam yang memiliki 2 konsesi dengan total luas IUP 5 ribu hektare yang berada di kawasan cagar alam. Padahal seharusnya wilayah pesisir barat Kabupaten Seluma yang rentan bencana menjadi wilayah yang dilindungi bukan justru menjadi wilayah pertambangan atau kegiatan lainnya.”

Ada 91 Orang yang Dikriminalisasi Terkait Tambang

Dari kaca mata Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), tren tebang pilih di sektor pertambangan ketika rakyat berupaya memperjuangkan haknya yang banyak ditabrak oleh daya rusak ekstraktif. Aparat penegak hukum cenderung keras terhadap rakyat demi melayani korporasi, sementara pemerintah terkesan berupaya mengerdilkan partisipasi rakyat dengan berbagai cara.

Jatam mencatat, sebanyak 91 orang warga pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang telah dikriminalisasi terkait penolakan tambang. Kriminalisasi ini dilakukan menggunakan berbagai undang-undang, di antaranya UU Minerba, pasal-pasal dalam KUHP, UU Mata Uang, UU ITE, hingga UU Kedaruratan.

Sementara itu partisipasi warga dinegasikan dengan sikap pemerintah bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengesampingkan suara penolakan warga dan justru mendorong investasi korporat.

Sikap pemerintah ini tercermin dari Putusan MK pada 29 September 2022 terkait Judicial Review UU Minerba. Yang mana tiga poin permohonan warga ditolak oleh MK. Poin ini terkait dengan akses partisipasi dan layanan publik yang dijauhkan karena penarikan kewenangan ditarik ke pusat dan pasal kriminalisasi dalam UU Minerba (Pasal 162) yang juga digunakan untuk mengkriminalisasi warga di Seluma.

“Semestinya, pemerintah dan aparat penegak hukum lebih keras terhadap perusahaan, terlebih jika terindikasi bermasalah. Pemerintah juga harus mengakomodir kepentingan warga melalui sikap tegas untuk tidak menerbitkan izin pertambangan yang menyasar ruang-ruang hidup warga," kata Wiwiniarmy, Simpul dan Jaringan Jatam.

"Hal ini sangat krusial karena aktivitas pertambangan memicu daya rusak yang luar biasa dampaknya bagi warga, terutama di pesisir yang banyak bergantung pada pengelolaan sekitar pesisir dan laut, yang mana keduanya akan terdampak daya rusak jika perusahaan beroperasi,” imbuh Ewin.

Juru Kampanye Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Fikerman Saragih menyebutkan, pertambangan pasir besi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil jelas bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebab akan berdampak terhadap perusakan serta pencemaran di lingkungan tersebut.

"Pertambangan pasir besi jelas akan berdampak terhadap ruang hidup masyarakat di wilayah pengerukan dan pengolahan. Pertambangan pasir besi akan berdampak secara ekonomi, sosial dan juga ekologi, serta bertentangan dengan mandat dari Undang-Undang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pertambak Garam dan Pembudi Daya Ikan”, ujar Fikerman.

Fikerman menambahkan, pemerintah seharusnya menghentikan serta melakukan evaluasi secara keseluruhan aktivitas industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Karena wilayah-wilayah tersebut sangat rentan terhadap bencana alam. Pemerintah seharusnya juga mengembalikan kedaulatan dan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir secara mutlak dalam mengelola ruang hidupnya seperti yang dimandatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010.

"Pemerintah seharusnya berdiri dan berpihak terhadap masyarakat Desa Pasar Seluma untuk menghentikan pertambangan pasir di wilayah mereka,” katanya.