Tata Ruang Kota Batu Undang Bencana

Penulis : Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim

Opini

Selasa, 11 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Beberapa titik di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur (Jatim) terendam banjir, 7 Oktober 2022 kemarin. Walhasil jalanan tertutup oleh lumpur yang terbawa arus sungai saat kejadian banjir dan beberapa rumah terendam air. Seperti terjadi di wilayah Bumiaji, Tulungrejo dan Sumberejo.

Banjir itu terjadi akibat hujan yang berlangsung lama dengan intensitas cukup tinggi. Namun menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, biang keladi terjadinya banjir ini sebetulnya karena tata ruang wilayah yang terbilang kacau.

Menurut Pengamatan Walhi Jatim, juga berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu, intensitas banjir di kota ini semakin sering terjadi, terutama saat hujan deras turun dengan durasi cukup lama. Dalam 4 tahun terakhir peristiwa bencana di Kota Batu mengalami kenaikan cukup signifikan, pada 2018 ada 95 kejadian, 2019 menjadi 115 kejadian, 2020 ada 114 kejadian dan 2021 meningkat menjadi 152 kejadian.

Kejadian bencana pada 2021 itu tersebar di 3 kecamatan, yakni Bumiaji sebanyak 74 kejadian, Kecamatan Batu sebanyak 53 kejadian dan di Junrejo 25 kejadian.

Banjir yang terjadi di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pada 7 Oktober 2022 kemarin./Foto Walhi Jatim.

Dengan adanya peningkatan jumlah bencana tersebut maka tingkat kewaspadaan terhadap bencana perlu ditingkatkan. Apalagi saat musim penghujan yang kerap kali menyebabkan tanah longsor dan banjir, karena berkurangnya ruang resapan dan tangkapan air, khususnya ruang terbuka hijau yang banyak beralih fungsi.

Diperparah oleh Krisis Iklim dan Alih Fungsi Ruang

Curah hujan di Kota Batu cukup tinggi. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut, pada Oktober 2022 curah hujan berada pada angka 155,90 mm kubik, lalu pada November 2022pada 284,60 mm kubik dan pada Desember 2022 sebesar 314,90 mm kubik. Secara prediktif terdapat peningkatan curah hujan dibandingkan dengan tiga tahun terakhir pada bulan yang sama.

Data peningkatan curah hujan di bulan-bulan terkhir 2022, ditambah dengan data curah hujan, menunjukkan adanya sebuah anomali cuaca. Yang mana curah hujan cenderung meningkat, meski cuaca tampak terik, kondisi yang sulit untuk diprediksi. Namun yang pasti, anomali cuaca ini merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim, sekaligus penanda krisis iklim.

Menghadapi situasi demikian, BPBD Kota Batu pun dalam warta media online menerapkan status waspada hingga April 2023. Selain itu BPBD juga meningkatkan kesiapsiagaan dengan mengungkapn 10 titik rawan banjir dan longsor.

Salah satu yang disampaikan BPBD Kota Batu yakni meningkatkan kewaspadaan melalui mitigasi bencana. Selain itu langkah yang diambil adalah pelebaran sungai, karena dianggap tidak memadai menampung air.

Padahal persoalan banjir tidak serta merta persoalan infrastruktur dan mitigasi, karena pada dasarnya banjir keberadaannya diperparah oleh krisis iklim dan alih fungsi ruang. Kondisi tersebut yang dibaca sebagai bahaya hidrometeorologi, yang mana perpaduan krisis iklim dan perubahan ruang meningkatkan resiko bencana.

Di Kota Batu persoalan alih fungsi ruang acap kali tidak dilihat sebagai ancaman. Pasalnya hingga hari ini ruang terbuka hijau Kota Batu masih berada di angka 12 persen.

Hal ini ditandai dengan lahan hijau di Kota Batu yang kian menyusut dari tercatat awal pada 2012 sekitar 6.034,62 hektare, lalu menurun signifikan pada 2019 menjadi sekitar 5.279,15 hektare. Semetara untuk kawasan resapan dan tangkapan air yang mayoritas berada di kawasan hutan, jika merujuk pada hasil citra satelit, kurang lebih ada sekitar 348 hektare hutan primer di Kota Batu hilang dalam 20 tahun terakhir.

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kepentingan Siapa?

Dengan hilangnya kawasan resapan dan tangkapan air pada wilayah, serta buruknya penataan ruang kota membuat Kota Batu rentan dengan adanya bencana, khususnya semakin meningkatnya bahaya hidrometeorologi.

Peristiwa banjir pada 7 Oktober 2022 merupakan dampak nyata dari buruknya penataan ruang baik karena alih fungsi lahan resapan untuk hotel, wisata buatan dan peruntukan lain, salah satunya untuk pertanian semusim pada kawasan yang tidak diperuntukkan.

Maka banjir yang tersebar di Desa Tulungrejo, Desa Sumberejo dan Desa Bumiaji yang notabene berada di wilayah tengah dan secara topografi merupakan aliran air untuk dibawa menuju Brantas, menjadi kawasan zona rawan bencana melihat kondisi yang saat ini terjadi.

Selain itu banjir yang terjadi di 3 desa tersebut juga mengakibatkan sedimentasi pada wilayah sungai. Hal ini dapat dilihat dari banjir yang menyisakan lumpur di sepanjang aliran yang dilewati.

Banjir berlumpur yang terjadi selaras dengan kondisi hulu yang hancur terutama pada kawasan hutan yang tutupannya semakin menurun, terutama kebanyakan berubah menjadi lahan pertanian.

Sehingga kawasan hulu yang memiliki kemiringan tinggi pada akhirnya tidak mampu lagi menopang laju erosi tanah yang diakibatkan hujan, maka tidak heran rata-rata banjir yang terjadi di wilayah Kota Batu selalu membawa lumpur atau material yang ada di wilayah perbukitan seperti batu, kerikil dan pasir.

Buruknya pengelolaan hutan sebagai kawasan esensial dan buruknya penataan ruang di wilayah Kota Batu pada dasarnya semakin meningkatkan resiko bencana melalui peningkatan bahaya hidrometeorologi. Persoalan tersebut diakibatkan oleh kebijakan tata ruang yang tidak menyesuaikan kondisi ruang, tidak transparan dan partisipatif.

Salah satunya dengan keberadaan revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu yang dibuat bukan untuk keberlanjutan kawasan, tetapi lebih didorong oleh investasi. Sebagai contoh dengan paksanya Pemerintah Kota Batu membangun Cable Car yang beberapa temuan Walhi, melewati kawasan mata air dan hutan lindung.

Hal ini tergambar dalam beberapa catatan Walhi pada Ranperda RTRW Kota Batu. Entah dasarnya apa, tapi Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan peta rencana ruang yang diminta Walhi, sampai detik ini tidak diberikan oleh Pemerintah Kota Batu, adapun diberikan tetapi kualitasnya buruk dan sepotong-sepotong.

Sejak awal tidak ada itikad baik dari Pemerintah Kota Batu untuk transparan dan partisipatif sebagaimana mandat Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 pada Pasal 65 khususnya.

Walhi kemudian mencoba menelaah dan mengkaji dokumen RTRW melalui pembacaan Ranperda yang didapatkan secara tidak sengaja dalam situs ATR/BPN. Yang mana disebutkan bahwa dalam aturan tersebut secara gamblang telah menurukan fungsi konservasi di Kecamatan Bumaji.

Padahal wilayah ini dalam Perda RTRW sebelumnya diperuntukan sebagai kawasan lindung, dengan luasan hutan mencapai 6.698,5 hektare atau 61 persen dari luas kawasan hutan di Kota Batu.

Perlu diketahui bahwa Kecamatan Bumiaji merupakan jantung bagi Malang Raya, karena memiliki banyak sumber mata air salah satunya Umbul Gemulo. Sumber-sumber tersebut digunakan untuk menopang kebutuhan sehari-hari dan irigasi masyarakat di wilayah Malang Raya.

Sehingga Walhi menganggap revisi Perda RTRW Kota Batu ini merupakan bentuk tidak seriusnya Pemerintah Kota Batu dalam melindungi kawasan dan keselamatan warganya. Yang mana bencana bukannya dicegah malah diundang untuk datang.

Pun demikian selama proses, Walhi menduga ada hal yang tidak diketahui oleh publik, di mana pembuatan revisi perda ini cenderung tertutup, tidak transparan akuntabel dan partisipatif, sehingga patut dicurigai ada muatan koruptif.

Sebagai penutup, Pemerintah Kota Batu hanya akan mendatangkan bencana, kala perencanaan tata ruang tidak berdasarkan kondisi ruang yang ada, tidak berkaca pada keberadaan geografis. Ketika banyak ruang yang kemudian dialihfungsikan menjadi kawasan industri baik jasa maupun wisata secara tidak terarah.

Pun tidak melalui proses panjang, asal-asalan, tidak transparan dan partisipatif, maka kebijakan yang sedang disusun oleh Pemerintah Kota Batu beserta konsultannya akan mengundang bencana dan mengabaikan keselamatan warga Kota Batu bahkan masa depan wilayah Malang Raya.