Menyoal Seleksi Pensiun Dini PLTU oleh PLN
Penulis : Aryo Bhawono
Energi
Jumat, 14 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - PLN mengungkapkan cara menyeleksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan terdampak kebijakan pensiun dini atau early retirement. Namun lepas dari tata cara pensiun dini ini, aktivis lingkungan menganggap kebijakan pensiun dini terlalu lamban.
Dikutip dari Tempo.co, Executive Vice President Pembangkitan dan Energi Baru dan Terbarukan PT PLN (Persero), Herry Nugraha, mengungkapkan cara perseroan menyeleksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan terdampak kebijakan pensiun dini atau early retirement pemerintah.
"Bagaimana early retirement itu dipilih, pertama ada empat saringan," kata dia dalam acara 'Indonesia Sustainable Energy Week' di Jakarta, Senin (10/10/2022).
Pensiun dini dari PLTU itu merupakan cara pemerintah untuk mencapai target netral karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060. Saringan pertama untuk menetapkan PLTU terdampak pensiun dini dilihat dari kapasitas PLTU yang memungkinkan dibangun Carbon Capture, Utilizaton, and Storage (CCUS).
"Kalau memang tidak memungkinkan dibangun karena mungkin space-nya atau apa maka yang diutamakan itu yang akan dilakukan retirement," ujar Herry.
Kedua, dari sisi usia serta fungsi pembangkit. Jika umurnya semakin tua dan keandalannya sudah menurun maka PLTU dipertimbangkan terdampak pensiun dini pada tahap awal.
"Diutamakan juga yang di Jawa, nanti kita lihat dari segi umur, dan pembangkit itu ada fungsinya, ada fungsi baik itu untuk menambah kapasitas atau keandalan itu juga jadi pertimbangan," kata Herry.
Ketiga, dilihat dari sisi lokasinya. Jika PLTU yang sudah dibangun untuk memasok listrik ke pabrik-pabrik atau kawasan ibu kota, maka tidak terkena penerapan pensiun dini dalam waktu dekat. Meskipun ditargetkan pada 2050 seluruh PLTU batu bara sudah pensiun dan digantikan dengan energi baru dan terbarukan.
"Kalau misalnya PLTU nya di Jawa Tengah dan di sisi selatan, itu terlalu jauh untuk supply misalnya ke Jakarta dan Semarang, itu jadi yang utama," ujar dia.
Seleksi terakhir, atau yang keempat, kata Herry, dilihat dari sisi penerapan teknologi PLTU. Jika teknologi yang digunakan PLTU itu semakin kuno maka, "Yang sudah tua, yang subcritical teknologi itu juga yang diutamakan, kemudian juga pembangkit tersebut ada di mana tadi bicara keandalan apakah di 150 kV atau 500 kV itu yang diutamakan adalah yang menyuplai di 500 kV, itu yang diutamakan untuk di retirement," tutur Herry.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan terbitnya Perpres No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik atau Perpres EBT semakin memantapkan arah kebijakan percepatan pengakhiran masa operasional pembangkit listrik batu bara atau PLTU di Indonesia.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar mengatakan, Perpres tersebut secara jelas telah mengamanatkan untuk membuat peta jalan (roadmap) terkait percepatan pengakhiran operasional PLTU, baik milik PT PLN (Persero) sendiri maupun yang berkontrak jual beli dengan pengembang listrik swasta. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menuju ke arah transisi energi dan mencapai target net zero emission pada 2060.
"Dengan keluar Perpres ini memantapkan kita arah early retirement akan seperti apa karena Perpres amanahkan segera buat roadmap," ujar Wanhar dalam acara sosialisasi Perpres EBT, Jumat pekan lalu.
Pada Juli 2022 lalu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN akan mengurangi jumlah PLTU sekitar 19 GW hingga 2045. Lalu disusul dengan penggunaan teknologi CCUS pada PLTU yang masih akan beroperasi, untuk dapat mencapai carbon neutral di 2060.
“Untuk menjalankan rencana ini tentu kami butuh dukungan semua pihak. Karena rencana ini membutuhkan dana yang tidak sedikit,” ujar Darmawan.
Darmawan menyambut baik upaya pemerintah dalam membentuk platform Energy Transition Mechanism (ETM). Ia menilai, dengan skema blended finance dalam ETM ini bisa menjadi solusi untuk pendanaan rencana retirement PLTU.
Namun pensiun dini PLTU ini dianggap masih terlalu lambat. Peneliti Tambang dan Energi Yayasan Auriga Nusantara, Fattia Syavira, mengungkapkan kenyataannya pemensiunan PLTU baru dilakukan pada 2031. Padahal di saat yang sama negara lain sudah beralih ke energi terbarukan.
“Pun dari segi teknologi, masih banyak PLTU di Indonesia yang masih menggunakan teknologi subcritical yang sebenarnya sudah tidak mumpuni lagi untuk digunakan dan harus segera dipensiunkan,” jelasnya.
Pendapat Fattia bukan tanpa dasar. Berbagai paparan Kementerian ESDM menyebutkan enam fase transisi energi menuju energi terbarukan. Namun pensiun dini baru akan dilakukan pada fase ketiga dan keempat, yakni pada 2031-3035 dan 2036-2040.
Juru kampanye Auriga Nusantara Hilman Afif, menyebutkan jangka waktu yang lama ini justru pemerintah tidak melakukan pensiun dini, melainkan sekedar pensiun pada waktunya.
“Kan kalau begitu PLTU tidak aktif lagi karena usianya sudah memasuki masa pensiun,” jelasnya.