Papua: Forum Nupka Tolak Pembangunan Bendungan Kali Muyu
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Adat
Selasa, 18 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Masyarakat Adat Muyu menegaskan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan Bendungan Kali Muyu di Boven Digoel, Papua. Bendungan ini akan menenggelamkan kampung dan hutan seluas 1.490 ha dan membuat warga kehilangan tempat tinggal dan hak hidup.
Penolakan ini disampaikan melalui Forum Nupka yang diwakili oleh pemilik klan suku Muyu di Boven Digoel.
Anggota Dewan Adat Muyu, Damianus Katayu, mengungkapkan penolakan dilakukan atas tiga pertimbangan, yakni pertama, Kali Muyu dan Ninati adalah tempat sejarah gereja Katolik masuk di tanah Muyu.
Kedua, nama Kali Muyu itu nama identitas manusia Muyu hari ini. dan ketiga, pembangunan bendungan Kali Muyu merugikan aspek ekologi, lingkungan, dan lainnya.
“Forum Nubka masyarakat Muyu yang ada hari ini kita bicara terkait bendungan di Kali Muyu. Kami masyarakat Muyu sepakat untuk untuk menolak,” ucapnya dalam jumpa pers.
Satu Kesatuan Nupka sendiri identik dengan bentangan Kali Muyu dengan semua nilai-nilai warisan leluhur dan sejarah peradaban yang Nupka maknai sampai saat ini.
Sedangkan rencana pembangunan Bendungan di Kali Muyu Distrik Ninati, Kabupaten Boven Digoel akan menghabiskan lahan sebesar 1145,90 Ha. Luas lahan ini akan menghilangkan tanah adat atau dusun dan segala isinya dari 29 marga di Kepala Kali Muyu dari 2 (dua) Wilayah Distrik, yaitu Ninati dan Woropko.
Dampak pembangunan ini pun bukan hanya bagi klen di Woropko dan Yonggom di Distrik Ninati tetapi akan meluas ke Kakaip, Okpari dan Kamindip yang berada di Distrik Sesnuk.
Ia menyebutkan rencana pembangunan bendungan ini sudah terdengar sejak 2018 lalu. Namun masyarakat melakukan penolakan. Namun pada 2021 dan 2022 rencana tersebut muncul kembali.
Bahkan menurut penuturan Tokoh Adat Muyu lainnya, Marius Bunmop, sudah ada gelar upacara adat menanam batu terkait penolakan ini. Penanaman batu ini merupakan perlambangan bahwa masalah ini hilang.
“Jika ada yang mengungkit, sama saja mengangkat batu yang ditanam, akan kena sanksi adat,” ucapnya.
Tokoh perempuan Adat Muyu, Maria Kurupat, khawatir tanah suku hilang. Padahal tanah tersebut adalah pemberi kehidupan. Suku Muyu sendiri memiliki ikatan kuat dengan tanahnya, jika hilang mereka juga ikut lenyap.
Hutan suku itu memiliki nilai ekonomi bagi warga. Mereka biasa memanen berbagai hasil hutan mulai dari sagu, karet, kenari, hingga durian. Jika tanah itu hilang mereka tidak dapat mencari penghidupan di dusun lain.
“Di kampung saja misalnya, saya mau pergi babi lari ke dusun sebelah maka saya harus kasih tahu kepada orang yang punya dusun baru kami bisa ambil. Apalagi tinggal di orang pu dusun yang sekian lama mereka sudah diambil, itu tidak bisa,” ujarnya.
Divisi Advokasi WALHI Papua, Wirya Supriyadi, mengungkap pemaksaan pembangunan Bendungan Muyu berpotensi melanggar HAM. Pemerintah seharusnya menghentikan rencana pembangunan setelah secara jelas ada penolakan ini.
Aktivis Yayasan Pusaka Bentala, Tigor Hutapea, mengungkapkan penelusuran yang dilakukan lembaganya menunjukkan pembiayaan pembangunan bendungan itu dilakukan dengan bantuan Asian Development Bank (ADB) melalui skema utang.
“Kami meminta ADB setop pembiayaan yang berpotensi melanggar HAM. Rakyat bisa jadi korban dua kali karena setelah tanahnya terampas, merekalah yang membayar utang itu,” tegasnya.