Papua: Kredibilitas Sidang Pelanggaran HAM Berat Paniai Diragukan

Penulis : Aryo Bhawono

HAM

Senin, 24 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kredibilitas sidang pelanggaran HAM berat Paniai kian diragukan. Seharusnya persidangan turut menyasar pembuat kebijakan yang menetapkan Operasi Aman MAtoa V, bukan hanya komando efektif lapangan. 

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pengadilan Paniai 2014 kian meragukan kredibilitas persidangan terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar Kamis lalu (20/10/ 2022).

Mereka menyebutkan kejanggalan proses hukum hingga persidangan digelar, yakni pertama persidangan memperlihatkan uji balistik senjata dalam kasus Paniai tidak menemukan hasil yang identik. Kedua, saksi yang dihadirkan menyebut terdakwa tak memiliki kewenangan melekat saat peristiwa terjadi.

Kejaksaan Agung, menurut mereka, seharusnya lebih serius menyidik dan menuntut perkara Paniai. Kejaksaan Agung tidak boleh terpaku pada satu terdakwa saja, apalagi tanggung jawab pidananya atas kejadian pembunuhan tidak sah terhadap para remaja di Paniai masih jauh dari meyakinkan. Bahkan belum jelas siapa sesungguhnya para pelaku lapangan saat itu.

Karya seni yang memprotes kekerasan dan diskriminasi di Tanah Papua. Foto: @inisayavicky via @papuaitukita

Semua orang yang bertanggung jawab harus dibawa ke pengadilan, tanpa kecuali. Bukan hanya komando efektif di lapangan, tapi juga pembuat kebijakan yang menetapkan Operasi Aman Matoa V. Kebijakan inilah yang menyebabkan pengerahan aparat beserta kelengkapan senjata api, yang ketika itu diarahkan untuk menghadapi penduduk sipil.

Persidangan lalu membuktikan tanggung jawab komando dalam kasus Paniai dapat diterapkan kepada terdakwa tunggal tapi hal itu tetap tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan para keluarganya.

Sidang itu menghadirkan tiga ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Selain Iman Prihandono, JPU juga menghadirkan ahli balistik Maruli Simanjuntak, dan ahli forensik Robintan Sulaiman.

Ahli hukum Universitas Airlangga, Iman Prihandono, menyatakan tanggung jawab komando bisa diterapkan di kasus Paniai meski tanpa garis komando langsung, baik sepengetahuan ataupun tidak. Perwira tinggi tanpa garis komando langsung juga bisa dimintai tanggung jawab.

Saat ditanya sejauh mana negara dapat melakukan serangan terhadap warga, Iman menerangkan itu bergantung kebijakan negara. “Kalau kebijakan represif, aparat bawah akan represif juga,” kata Iman.

Lebih lanjut, Iman menerangkan jika dilihat dari BAP asal peluru, maka Koramil bisa dimintai tanggungjawab komando. “Yang paling dekat tentu komandan yang paling punya kewenangan mencegah personil untuk melakukan tembakan. Sampai atasannya, satu level di atas komandan di lapangan,” jelas Iman.

Ia membenarkan Dandim di wilayah setempat bisa dimintai pertanggungjawaban. Jika Danramil tidak sedang bertugas maka tanggung jawab komando bisa dilimpahkan ke Pabung (perwira penghubung) dan Dandim.

Sementara ketidakhadiran Danramil perlu diselidiki apakah disebabkan tugas lain, yang artinya ia masih berada dalam tugas kemiliteran, atau karena ia sedang mengambil cuti, yang artinya ia sedang dibebastugaskan.

Ahli menegaskan pertanggungjawaban ini berlaku hingga komandan dengan pangkat lebih tinggi. “Yang bertanggungjawab atas semua pasukan itu harusnya Pangdam,” tegas Iman.

Terkait unsur sistematis dalam pelanggaran HAM ini, ahli membenarkan jika untuk konteks Papua, aparat penegak hukum tidak bisa melihat di satu lokasi, yakni Paniai, namun dari kejadian di Papua secara menyeluruh. Terlebih, Papua dianggap sebagai daerah rawan. Selama ini yang dilakukan aparat keamanan dalam merespon aksi massa memiliki pola yang jelas.