Kecanduan Energi Fosil Semakin Nyata Ancam Kesehatan Global
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Kamis, 27 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Kecanduan pada energi fosil secara global akan menambah dampak kesehatan dari berbagai krisis yang sudah terjadi, menurut laporan terbaru.
Laporan tersebut, dirilis oleh organisasi Lancet Countdown tentang kesehatan dan perubahan iklim, berjudul Health at the Mercy of Fossil Fuels. Analisis ini ditulis oleh hampir 100 ahli dari 51 lembaga yang tersebar di setiap benua dan diterbitkan menjelang KTT iklim UN COP27 di Mesir.
Analisis tersebut melaporkan peningkatan kematian akibat panas, kelaparan, dan penyakit menular saat krisis iklim meningkat. Di satu sisi pemerintah di seluruh dunia terus memberikan lebih banyak subsidi untuk bahan bakar fosil ketimbang ke negara-negara miskin yang mengalami dampak pemanasan global.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres mengatakan: “Krisis iklim membunuh kita. Dan keadaan rusak ini tidak hanya pada kesehatan planet kita, tetapi kesehatan manusia di seluruh dunia seperti melalui polusi udara yang beracun, kerentanan pangan, wabah penyakit menular, rekor panas yang ekstrem, kekeringan, banjir, dan banyak lagi.”
“Kesehatan manusia, pekerjaan, dan ekonomi nasional sedang terpukul, karena kecanduan energi fosil yang semakin tak terkendali. Ilmunya jelas: investasi besar-besaran dan efisiensi energi terbarukan pada ketahanan iklim akan menjamin kehidupan yang lebih sehat dan lebih aman bagi manusia di setiap negara,” tambah Guterres.
Keadaan darurat iklim memperparah krisis pangan, energi dan biaya hidup, tulis laporan tersebut. Misalnya, hampir setengah triliun jam kerja hilang pada tahun 2021 karena panas yang ekstrem. Ini sebagian besar mempengaruhi pekerja pertanian di negara-negara miskin, memotong pasokan makanan dan pendapatan.
Namun, laporan itu mengatakan tindakan mendesak yang berpusat pada kesehatan untuk mengatasi pemanasan global dapat menyelamatkan jutaan nyawa setiap tahun dan memungkinkan orang untuk berkembang daripada hanya bertahan hidup, dengan udara yang lebih bersih dan pola makan yang lebih baik.
Data dalam laporan tahun ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, perubahan iklim mempengaruhi setiap pilar ketahanan pangan. Kenaikan suhu dan kejadian cuaca ekstrim mengancam hasil panen secara langsung memperpendek musim pertumbuhan tanaman dengan 9,3 hari untuk jagung, 1,7 hari untuk beras dan 6 hari untuk musim dingin dan gandum musim semi.
Panas ekstrem dikaitkan dengan 98 juta lebih banyak orang yang melaporkan kerawanan pangan sedang hingga parah di 103 negara pada tahun 2020 dibandingkan setiap tahun antara 1981 dan 2010. Rata-rata, 29% lebih banyak wilayah daratan global dipengaruhi oleh kekeringan ekstrem setiap tahun antara 2012–2021, dibandingkan antara 1951-1960, menempatkan orang pada risiko kerawanan air dan pangan.
Menurut laporan tersebut, kenaikan suhu ekstrem mempengaruhi kesehatan secara langsung, memperburuk kondisi dasar manusia seperti penyakit kardiovaskuler dan pernapasan, menyebabkan stroke, kerentanan pada kehamilan, pola tidur buruk, buruknya kesehatan mental, dan naiknya tingkat kematian. Termasuk waktu kerja produktif pada para pekerja.
Anak-anak yang berusia di bawah satu tahun diperkirakan merasakan gelombang panas yang lebih banyak yaitu 600 juta hari (4,4 hari lebih banyak per anak), dan orang dewasa di atas 65 tahun akan merasakan 3,1 miliar hari lebih banyak (3,2 hari lebih banyak per orang), pada 2012–2021, dibandingkan dengan 1986–2005.
Selain itu, kematian terkait panas meningkat sebesar 68% antara 2017-2021, dibandingkan dengan 2000-2004. Sementara kerentanan manusia pada kebakaran di level tinggi atau sangat tinggi (ekstrem) akan meningkat di 61% di beberapa negara dari tahun 2001–2004 hingga 2018–2021.
Paparan panas menyebabkan 470 miliar jam kerja produktif hilang secara global pada tahun 2021 dengan kehilangan pendapatan yang setara dengan proporsi substansial dari PDB negara, secara tidak langsung akan mempengaruhi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (5,6% di negara berpenghasilan rendah hingga menengah) dan memperburuk dampak dari krisis biaya hidup.
“Kita melihat bersama bagaimana perubahan iklim mendorong dampak kesehatan yang parah di seluruh dunia, kecanduan pada energi fosil global yang terus-menerus hanya akan menambah tingkat bahaya kesehatan di tengah berbagai krisis global, membuat kerentanan pada pasar energi fosil yang bergejolak, terdampak pada kemiskinan energi, dan tingkat polusi udara yang berbahaya,” kata Dr Marina Romanello, direktur eksekutif Lancet Countdown di University College London (UCL).
Produksi dan konsumsi pada energi fosil terus di dorong banyak pemerintah, sebanyak 69 dari 86 negara yang di analisis masih memberikan subsidi energi fosil, tercatat total bersih $400 miliar di tahun 2019. Di lain sisi banyak pemerintah yang sampai saat ini masih gagal untuk memberikan bantuan pendanaan yang terhitung kecil sebesar $100 miliar per tahun untuk membantu mendukung aksi iklim di negara-negara berpenghasilan rendah. Semua rencana ini sangat membahayakan transisi yang adil dan masa depan yang sehat.
Terlepas dari klaim dan komitmen iklim mereka, strategi saat ini dari 15 perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia akan memproduksi emisi gas rumah kaca 37% lebih tinggi pada tahun 2030 yang tidak selaras pada kenaikan 1,5°C dan kenaikan 103% pada tahun 2040. Semua rencana ini akan mendorong dunia keluar jalur komitmen yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
Sementara itu, rencana biomassa (seperti kayu atau kotoran hewan) berkontribusi sebanyak 31% dari energi yang dikonsumsi di sektor domestik secara global pada tahun 2020, meningkat menjadi 96% di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Konsentrasi polusi udara partikel berbahaya (PM2.5) melebihi rekomendasi WHO sebesar 30 kali lipat pada tahun 2020 di 62 negara yang dinilai, membuat banyak keluarga terpapar pada tingkat polusi udara yang berbahaya.
Sektor kesehatan bertanggung jawab atas 5,2% dari emisi global, telah menunjukkan kepemimpinan aksi iklim yang mengesankan, dan 60 negara telah berkomitmen untuk net zero melakukan transisi ke sistem kesehatan sebagai bagian dari COP26 Program Kesehatan. Pada 2021 liputan media tentang kesehatan dan perubahan iklim meningkat sebesar 27% dari tahun 2020, Untuk regional asia timur mengalami peningkatan sebesar 35%.
Profesor Anthony Costello, co-chair Lancet Countdown, mengatakan: “Dunia berada pada titik kritis. Komitmen global untuk mengurangi energi fosil jauh dari jalur komitmen, dan sekarang tanggapan yang berfokus pada energi fosil terhadap krisis energi yang kita hadapi dapat membalikkan kemajuan yang telah dicapai selama ini. Kita harus berubah, jika tidak anak-anak kita menghadapi masa depan dalam perubahan iklim yang dipercepat, mengancam kelangsungan hidup mereka sendiri”.
Profesor Kristie Ebi, ketua kelompok kerja Lancet Countdown, mengatakan: “Sistem perawatan kesehatan adalah garis pertahanan terdepan untuk menangani dampak kesehatan fisik dan mental dari peristiwa cuaca ekstrem dan dampak lain dari perubahan iklim. Tetapi saat ini sistem kesehatan juga sedang berjuang untuk mengatasi beban pandemi COVID-19, gangguan rantai pasokan, dan tantangan lainnya, yang membuat taruhan berat kesehatan untuk hari ini dan di masa depan.”
Profesor Paul Ekins, profesor sumber daya dan kebijakan lingkungan Bartlett School, University College London, mengatakan: “Strategi saat ini dari banyak pemerintah dan perusahaan akan mengunci dunia ke masa depan yang lebih hangat, mengikat kita pada penggunaan energi fosil, yang dengan cepat menutup prospek dunia yang layak huni. Ini adalah hasil dari kegagalan mendalam untuk mengenali kebutuhan akan prioritas pendanaan yang mendesak untuk mengamankan masa depan tanpa karbon, terjangkau, dan sehat.”