Peta Kuasa Lahan di Sektor Kehutanan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Senin, 31 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Terdapat sekitar 30.322.634 hektare kawasan hutan di Indonesia dikuasai oleh ratusan korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), baik itu dalam bentuk kegiatan penebangan kayu selektif atau logging maupun kebun kayu. Puluhan juta kawasan hutan tersebut sebagian besar dikuasai oleh grup korporasi raksasa, seperti Asia Pacific Resources International Holdings (APRIL) dan Asia Pulp Paper (APP) Sinarmas Group.
Hal tersebut terurai dalam laporan terbaru hasil kolaborasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara berjudul "Indonesia Tanah Air Siapa - Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi".
Bedasarkan fungsi dan peruntukannya, lahan daratan Indonesia secara garis besar dibagi menjadi kawasan hutan dan areal penggunaan lain (APL). Khusus untuk kawasan hutan, hingga 2022 luasnya tercatat sekitar 119 juta hektare, yang secara fungsinya dibagi menjadi Hutan Konservasi (22 juta hektare, untuk perlindungan flora dan fauna serta ekosistem), Hutan Lindung (29 juta hektare, untuk perlindungan tata air), dan Hutan Produksi (68 juta hektare).
Walau begitu, berbagai izin konsesi berbasis jasa lingkungan, seperti ekowisata, banyak diberikan di dalam Kawasan Konservasi dan atau Hutan Lindung, namun konsesi berbasis lahan kebanyakan berada di kawasan Hutan Produksi.
Ada dua jenis pemanfaatan yang diberikan di Hutan Produksi, yakni penebangan kayu secara selektif atau konsesi logging dan konsesi kebun kayu. pada masa Orde Baru konsesi logging ini disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sementara sejak reformasi dikenal sebagai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Hutan Alam (IUPHHK-HA), dan di rezim Omnibus Law berubah menjadi PBPH-Hutan Alam.
Kemudian untuk kebun kayu atau kini disebut PBPH-Hutan Tanaman, masa Orde Baru disebut Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diubah menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).
Korporasi Logging
Konsesi logging secara formal pertama kali ditahbiskan lewat Undang-Undang Pokok Kehutanan (UU 5/1967), dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan (PP 21/1970), konsesi logging Hak Pengusahaan Hutan (HPH) merupakan alokasi terbesar dalam hutan produksi.
Perjalanan panjang HPH yang memasuki dekade keenam pun menyiratkan telah terjadinya serangkaian peralihan, baik alokasi di atas lahan yang sama atau penguasaan terhadap lahan tersebut. Pada 2022 konsesi logging luasnya mencapai sekitar 19.037.788 hektare.
Kawasan hutan seluas 19 juta hektare itu dikuasai oleh 258 korporasi. Meski demikian, dominasi atau konsentrasi penguasaan terjadi pada konsesi logging, terlihat misalnya oleh penguasaan sepuluh grup teratas yang menguasai sekitar 4,3 juta hektare (65 kali luas DKI Jakarta) atau hampir seperempat dari keseluruhan luas konsesi logging.
Sejumlah nama grup korporasi besar bercokol menguasai lahan dengan luasan lebih dari setengah juta hektare, seperti Sinar Wijaya seluas 718 ribu hektare, Alamindo 699 ribu hektare, Inhutani 675 ribu hektare, Kayu Lapis Indonesia 608 ribu hektare dan Korindo seluas 592 ribu hektare.
Korporasi Kebun Kayu
Konon awalnya kebun kayu ditujukan memenuhi kebutuhan industri kayu dan untuk menghijaukan lahan kritis. Tapi, pemerintah kemudian menganulir semua ini, pabrik pulp & paper baru berdiri tanpa kejelasan sumber bahan bakunya sehingga terjadi overcapacity luar biasa, dan hutan alam pun dibolehkan dihabisi untuk diganti dengan kebun kayu.
Penambahan luas alokasi kebun kayu, dari 30 ribu hektare pada 1990 menjadi 4,4 juta hektare pada 1999 dan kemudian melonjak hampir tiga kali lipat menjadi 11.284.846 hektare pada 2021, menjadi indikasi ketidakkonsistenan pemerintah.
Laporan Indonesia Tanah Air Siapa - Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi mengkompilasi 10 kelompok korporasi kebun kayu di Indonesia. Tanoto Group (APRIL dan TPL) dan Asian Pulp Paper (APP) Sinarmas Group menjadi yang teratas menguasai lahan lebih dari 1 juta hektare.
Pada grafis di atas terlihat adanya kelompok pemasok. Namun demikian, sebagaimana laporan Koalisi Anti Mafia Hutan berjudul Tapi, Buka Dulu Topengmu (2018) dan juga beberapa laporan lainnya terkait Tanoto Group (TPL, APRIL, RGE, dll), sebagian besar pemasok ini patut diduga terafiliasi atau dimiliki atau dikendalikan oleh kedua grup tersebut.
Karena pola demikian, sementara pemerintah tidak pernah menindaknya meski tak sedikit desakan mengenainya, industri kebun kayu ini menjadi tempat yang subur terhadap integrasi vertikal dan horizontal penguasaan. Akibatnya, meski terdapat 297 perusahaan kebun kayu, namun seluruhnya sedemikian terintegrasi.
Bahkan, bila ditelisik lebih jauh ke penguasaan pabriknya yang mana penguasaan kedua grup ini > 90 persen, praktis industri ini berupa monopsoni atau duopoli karena penguasanya hanya dua: Sinarmas dan APRIL.