Potret Lahan Indonesia: Murah bagi Korporasi Kikir buat Rakyat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Kamis, 03 November 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Di Indonesia, korporasi selalu mendapat tempat dan perhatian spesial dari pemerintah. Itu terlihat dari bagaimana mudahnya para korporat menguasai lahan skala luas di Bumi Pertiwi. Sebaliknya, kepada rakyat, pemerintah justru terhitung sangat pelit. Pemerintah hanya memberi 3,1 juta hektare kawasan hutan untuk dikelola rakyat.
Sedangkan, seperti diuraikan pada tulisan terkait sebelumnya, di sektor kehutanan korporasi dibiarkan menguasai lahan seluas 30,3 juta hektare--Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Alam 19 juta hektare dan PBPH Hutan Tanaman 11,3 juta hektare, di sektor perkebunan sawit pemerintah melepaskan kawasan hutan untuk korporasi sawit seluas sekitar 6 juta hektare dan Hak Guna Usaha (HGU) seluas kurang lebih 7,5 juta hektare, sedangkan di sektor pertambangan ada 10,1 juta hektare konsesi pertambangan diobral kepada korporasi.
“Kemurahan hati” pemerintah kepada korporasi ternyata tidak hanya untuk penguasaan sektor tertentu, tapi bahkan lintas sektor. Akibatnya, dominasi korporasi tidak hanya secara vertikal, tapi bahkan secara horizontal, bukan hal aneh di Bumi Pertiwi.
Laporan "Indonesia Tanah Air Siapa - Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi" yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara, mencatat ada setidaknya 14 grup perusahaan yang menguasai lahan lintas sektor di Indonesia, yang mana bila ditotal luas lahan yang mereka kuasai ini mencapai sekitar 9,8 juta hektare. Korporasi teratas penguasa lahan lintas sektor di Indonesia yakni Sinarmas Group seluas 3 juta hektare dan BUMN seluas 2 juta hektare.
Porsi alokasi lahan yang diberikan pemerintah kepada para raksasa korporasi ini belasan kali lipat lebih besar dari yang diberikan kepada rakyat. Khusus izin pemanfaatan kawasan hutan saja, 19 juta hektare diberikan untuk korporasi konsesi logging (PBPH Hutan Alam), 11,3 juta hektare untuk korporasi kebun kayu, 0,5 juta hektare untuk izin pinjam pakai kawasan hutan kegiatan pertambangan dan 6 juta hektare pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.
Dengan lain perkataan, lahan kawasan hutan yang diberikan pemerintah kepada korporasi seluruhnya seluas 36,8 juta hektare. Sedangkan, yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektare. Dengan demikian, 92 persen alokasinya kepada korporasi, dan hanya 8 persen kepada rakyat. Alokasi penguasaan lahan oleh korporasi terbesar berada
di Pulau Kalimantan yaitu 46 persen dari total seluruh alokasi lahan.
Meski begitu alokasi kepada rakyat tersebut perlu diperiksa lebih dalam, karena ada di antaranya yang pada praktiknya justru untuk melanggengkan korporasi, yakni ruang yang dibuka oleh hutan tanaman rakyat (HTR) yang pada praktiknya untuk pemenuhan kayu bagi industri pulp & paper.
Makin banyak suara, terutama dari Sumatera, yang mengindikasikan bahwa HTR pada praktiknya justru untuk keuntungan pabrik Sinarmas dan APRIL. Keseluruhan alokasi kepada rakyat ini, dan juga areal-areal yang secara empirik dikelola oleh rakyat disebut sebagai wilayah kelola rakyat (WKR).
Jenis alokasi kepada rakyat dalam sistem administrasi perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat setidaknya 6 jenis, yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Kemitraan Kehutanan (KK), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), dan Hutan Adat. Sejauh ini, alokasi terhadap keenamnya baru mencapai 2,7 juta hektare.
Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebutkan adanya target perhutanan sosial (PS) seluas 12,7 juta hektare dan pelepasan kawasan hutan produksi konversi menjadi tanah untuk reforma agraria (TORA) seluas 4,1 juta hektare. Namun hingga kini, delapan tahun rezim Jokowi berkuasa, selain alokasi terhadap korporasi jauh lebih besar ketimbang kepada rakyat, tapi pemenuhan janji kampanye ini baru 21 persen dari target.
Di sisi lain, banyak WKR yang diajukan untuk secara formal mendapat pengakuan negara yang masih terhambat saat ini, seperti pengajuan hutan adat. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat adanya 19,5 juta hektare hutan adat yang secara empirik dikelola masyarakat adat di Indonesia. Selain itu, banyak juga pengelolaan oleh masyarakat lokal yang juga belum diterbitkan perizinan atau alokasinya oleh pemerintah.
Pengalokasian oleh pemerintah yang secara sembrono dan sepihak kepada korporasi mengakibatkan meruaknya konflik agraria di banyak daerah, dan turut mempersulit pemberian izin kelola WKR selama ini (karena pada daerah tersebut pemerintah kadung menerbitkan izin kepada korporasi).