Walhi: Stop Solusi Iklim Palsu
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Perubahan Iklim
Kamis, 10 November 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pidato Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin pada World Leaders Summit Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau Conference of the Parties (COP) 27 di Mesir pada 7 November 2022, menuai kritik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap pidato Wakil Presiden yang menyebut berbagai pihak belum mengimplementasikan ambisi aksi iklim pasca-COP26 Glasgow sebagai fakta sekaligus ironi.
“Ironi karena Pemerintah Indonesia juga menjadi bagian dari pihak yang belum secara serius dan ambisius mengimplementasikan aksi iklim. Kebijakan dan aksi iklim Indonesia belum mengarah pada peta jalan pengurangan emisi berdasar rekomendasi berbasis sains dan masih mengakomodir berbagai solusi palsu,” kata Walhi dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (9/11/2022).
Gagasan mendorong kontribusi semua pihak sesuai kapasitas dengan semangat burden sharing yang disampaikan Ma’ruf Amin perlu diapresiasi. Namun, semangat berbagi beban ini perlu dilihat secara kritis sebagai upaya negara maju menghindari tanggung jawabnya sebagai pihak paling besar kontribusinya pada krisis iklim.
Sementara negara berkembang dan miskin dibiarkan sendirian menanggung beban atas dampak krisis iklim melalui berbagai bencana seperti siklon tropis, gelombang panas, banjir rob, kekeringan, dan lainnya.
Dalam pidatonya, Wakil Presiden menyebut enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia sebagai salah satu langkah nyata lead by example. Berdasarkan data Climate Action Tracker (CAT) per November 2022, Indonesia memang termasuk satu dari 25 negara yang memperbaharui NDC.
“Namun sayangnya, Indonesia tidak termasuk dari empat negara dengan kategori stronger NDC target. Jika ingin memimpin dengan contoh, Indonesia seharusnya menguatkan target pengurangan emisi sektoral secara proporsional dengan tidak membebankan kontribusi pengurangan emisi hingga sebesar 60 persen pada sektor kehutanan.”
Menyoal FOLU Net Sink 2030, Walhi menilai strategi ini rentan ditunggangi skema offset. Skema yang dinilai gagal dalam pengurangan emisi GRK dimana entitas negara dan korporasi tetap dibiarkan melepas emisi dari sumber mereka dengan membeli stok karbon yang masih terjaga di tempat lain.
Skema penyeimbangan karbon semacam ini tidak akan mampu menurunkan emisi dan menahan suhu bumi di bawah 1,5 celcius. Alih-alih menurunkan emisi, justru ini akan terus memperpanjang operasi industri ekstraktif dan penggunaan bahan bakar fosil.
“Perhitungan emisi global mengindikasikan kegagalan skema offset dalam mengurangi emisi pada sumbernya, dimana setiap tahun lebih dari 59 miliar ton CO2e emisi masih terus dilepaskan ke atmosfer.”
Klaim penerapan pajak karbon oleh pemerintah Indonesia juga gimmick semata. Saat ini pemerintah justru melanggar regulasi dengan menunda pemberlakuan pajak karbon hingga 2025.
Penundaan penerapan pajak karbon telah terjadi berulang kali dari rencana pemberlakuan terhitung per 1 April 2022 sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kalaupun pada akhirnya diterapkan, dengan perhitungan hanya senilai Rp30 per kilogram CO2e, pajak karbon masih terlalu longgar untuk digunakan sebagai instrumen efektif menurunkan emisi.
Terkait ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, dengan situasi pembangkit listrik masih didominasi oleh energi fosil dan ratusan ribu hektare kawasan ekosistem esensial telah dan akan mengalami kehancuran akibat pertambangan nikel.
“Maka proyek kendaraan listrik bukanlah agenda transisi energi yang berkeadilan. Saat ini 80 persen pembangkit listrik masih berbasis energi fosil, sehingga emisi yang akan dihasilkan, terutama untuk pengisian baterai kendaraan listrik masih sangat tinggi.”
Terkait dengan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, dengan situasi pembangkit listrik masih didominasi oleh energi fosil dan ratusan ribu hektar kawasan ekosistem esensial telah dan akan mengalami kehancuran akibat pertambangan nikel. Maka proyek kendaraan listrik bukanlah agenda transisi energi yang berkeadilan. Saat ini 80 persen pembangkit listrik masih berbasis energi fosil, sehingga emisi yang akan dihasilkan, terutama untuk pengisian baterai kendaraan listrik masih sangat tinggi.
Walhi mengungkapkan, Indonesia telah kehilangan banyak ekosistem penting akibat pemberian konsesi pertambangan nikel yang menjadi bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik. Diperkirakan 900.000 hektare lahan di Indonesia telah diberikan untuk izin pertambangan nikel. Lebih dari 600.000 hektare di antaranya berada dalam kawasan hutan.
Pada 2021 saja, diperkirakan angka deforestasi akibat pertambangan nikel sudah melampaui 40.000 hektare. Jika keseluruhan kawasan yang diberikan izin pertambangan nikel dilakukan perubahan fungsi lahan, diperkirakan ada pelepasan emisi sebesar 83 juta ton CO2e.
Terkait kerja sama dan pendanaan transisi energi yang disebut pemerintah akan digunakan dalam penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi transisi energi dan pendanaan untuk aksi iklim.
“Walhi mengingatkan kembali, seluruh mekanisme yang telah dan akan dikembangkan harus memastikan transisi energi tidak jatuh pada jebakan solusi palsu. Solusi yang kurang efektif menurunkan emisi, memperpanjang umur penggunaan bahan bakar fosil, merusak lingkungan dan merampas hak masyarakat,” lanjut Walhi.
Solusi palsu transisi energi di Indonesia tampak mulai dari penggunaan sumber energi yang jelas tidak terbarukan dan berisiko tinggi seperti batu bara cair, gasifikasi batu bara, nuklir, serta hidrogen dan amonia yang diproduksi dari bahan bakar fosil.
Solusi palsu lain berupa pembangunan proyek energi yang dalam pengelolaan tidak ramah lingkungan, merampas wilayah kelola rakyat, melanggar HAM, dan secara daur hidup tidak memberikan perbaikan yang signifikan terhadap penurunan karbon.
Terkait dengan kebijakan perluasan kawasan konservasi yang disampaikan oleh Wakil Presiden, Walhi menilai kebijakan ini tidak berarti apapun ketika pemerintah Indonesia dan DPR RI mengesahkan dua undang-undang (UU), yaitu UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara, serta UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kedua UU ini sedang dan akan memperluas krisis ekologis, alih-alih memperbaiki kualitas lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat di Indonesia.
Salah satu kebijakan konservasi yang didorong oleh pemerintah adalah perluasan konservasi laut yang ditargetkan mencapai 32,5 juta hektare pada 2030. Pemerintah mengklaim, kebijakan perluasan konservasi laut telah menghasilkan luasan 28,1 juta hektare pada 2021.
“Target 32,5 juta hektare tidak akan tercapai mengingat pemerintah Indonesia, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7, PP 27 Tahun 2021 menyatakan zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.”
Selain itu, kebijakan perluasan konservasi laut tidak akan berhasil selama tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam mengelola sumber daya pesisir dan laut di Indonesia. Dengan demikian, pendekatan konservasi top-down yang selama ini dijalankan oleh pemerintah hanya akan mengusir kehidupan masyarakat dari ruang hidupnya.
"Walhi menyayangkan pidato penting di depan lebih dari 190 pemimpin dunia tersebut alpa memotret kerusakan ekologis hingga krisis iklim yang terjadi di Indonesia. Berbagai inisiatif berbasis masyarakat lokal dan adat dalam aksi mitigasi dan adaptasi iklim pun luput tersampaikan."
Bahkan, klaim Indonesia bahwa perhelatan G20 contoh pemulihan hijau yang inklusif juga patut dipertanyakan. Sepanjang hampir setahun presidensi Indonesia dalam G20, ada upaya meredam aspirasi publik hingga pembatasan kegiatan masyarakat. G20 berkesan elitis, eksklusif dan jauh dari persoalan mendasar rakyat.