Intimidasi Greenpeace Berlanjut Hingga Perjalanan Pulang

Penulis : Aryo Bhawono

HAM

Kamis, 10 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Ancaman dan intimidasi terhadap peserta kampanye Greenpeace Indonesia: Chasing The Shadow terus terjadi walau mereka membatalkan bersepeda sampai ke Bali. Bahkan peserta kampanye diduga diawasi dan dibuntuti selama perjalanan pulang. 

Tim pesepeda kampanye Chasing The Shadow mengalami intimidasi saat tiba di Probolinggo, Jawa Timur pada Senin lalu (8/11/2022). Ormas bernama Tapal Kuda Nusantara (TKN) diduga memaksa Greenpeace membuat pernyataan tertulis untuk membatalkan aksi bersepeda ke Bali, lokasi pertemuan G20. Namun setelah meninggalkan Probolinggo intimidasi terus berlanjut. 

Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo Wicaksono, mengungkapkan tim Chasing The Shadow didatangi ormas ketika berada di Malang. Kelompok ini meminta pengkampanye meninggalkan kota dengan alasan situasi tak kondusif. 

“Di Malang ini nama ormasnya berbeda, mereka mengatasnamakan kelompok suporter,” ucapnya ketika dihubungi pada Rabu (10/11/2022).

Aktivis Greenpeace Indonesia memegang poster saat aksi damai di gedung DPR di Jakarta, 5 Oktober 2021. Aksi tersebut memprotes satu tahun berjalannya Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai berdampak buruk bagi kebebasan berpendapat, masyarakat adat, konflik lahan, energi, hingga pelemahan KPK. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Kelompok ini menggunakan cara yang sama ketika berbicara, yakni memakai nada tinggi dan ancaman penangkapan. “Ditangkap saja kalau rusuh-rusuh,” ucap didit menirukan suara anggota ormas tersebut. 

Didit merasa ada kesamaan narasi atas pengusiran ini, yakni menjauhkan tim kampanye Greenpeace di kawasan timur Jawa. Lembaganya pun memutuskan untuk memulangkan para peserta kampanye dan pulang ke rumah masing-masing. 

Intimidasi pun tak berhenti sampai ormas itu. Anggota kampanye yang pulang ke Bandung dengan kereta merasa dibuntuti dan gerak-geriknya diawasi. Bahkan penguntit itu terang-terangan merekam video.

Mobil yang pulang ke Jakarta tak lepas dari dari intimidasi. Mereka dibuntuti hingga sampai di Jakarta.  

“Mereka memakai pakaian sipil, memakai hape dan merekamnya,” jelasnya. 

Didit mengaku intimidasi ini terasa sistematis. Sejak kedatangan mereka di Surabaya, polisi mempersulit pemberian izin. Aparat mengajukan berbagai syarat, seperti mengizinkan anggotanya ke dalam acara dengan pakaian sipil padahal acara itu terbuka untuk publik dan mempersilahkan semua masyarakat untuk hadir. Bahkan polisi juga menolak memberikan salinan izin acara. 

Acara Chasing The Shadow sendiri di gelar di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.  Acara ini diisi dengan pameran foto, diskusi, workshop, dan konser musik. 

Intimidasi di gelaran ini mulai dirasakan Didit ketika di Semarang. Sekitar tujuh orang mengaku polisi sempat mendatangi tim Greenpeace ketika sedang on air di sebuah stasiun radio di Semarang saat itu. Polisi itu menanyakan rencana aksi di Simpang Lima padahal Greenpeace tak berencana menggelar aksi, hanya menggelar acara pameran foto, diskusi, dan pertunjukan musik di Gedung Oudetrap, Kota Lama.

“Teman2 di lapangan mengalami intimidasi sangat besar dan eskalatif sejak di Semarang,” jelasnya.

Kondisi ini memaksa Greenpeace untuk menarik teman-teman pesepeda. Mereka masih berharap dapat menggelar acara di Bali. Namun hingga kini perizinan masih dipersulit. Apalagi pemerintah meningkatkan status PPKM.

“Kami coba dulu, semoga ada celah demokrasi untuk menyuarakan apa itu krisis iklim agar G20 bisa didorong lebih serius. Krisis itu bukan yang jauh lagi tapi ada di pekarangan kita,” jelasnya.