G20 Harus Percepat Transisi Energi dan Aksi Iklim yang Ambisius

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Rabu, 16 November 2022

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Menjelang pertemuan akbar G20, Greenpeace menggelar aksi damai kreatif dengan memproyeksikan pesan berbunyi “Saatnya Transisi Energi Berkeadilan” di Pantai Melasti, Bali, Senin petang, 14 November 2022. Pesan ini ditujukan kepada pemimpin sejumlah negara yang sedang berkumpul di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, agar mereka mengambil komitmen yang nyata dan ambisius dalam merespons krisis iklim.  

KTT G20 tahun ini, di bawah presidensi Indonesia, membahas tiga isu utama, salah satunya transisi energi. Menurut Greenpeace, ada kemungkinan besar KTT G20 akan menyepakati skema kemitraan pembiayaan transisi energi di Indonesia, yang sebagian besar akan digunakan untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.  

Namun Greenpeace mengatakan, Indonesia dinilai masih setengah hati dalam melakukan transisi energi. Dalam Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL), Indonesia masih akan menggunakan batu bara, paralel dengan phase out secara bertahap hingga tahun 2056. 

Di sisi lain, pembangunan PLTU baru sebesar 13.8 GW atau sekitar 42 persen dari kapasitas PLTU terpasang masih akan terus berlangsung. Kebijakan ini kontradiktif dengan kebutuhan akselerasi transisi energi untuk menghentikan krisis iklim dengan mencegah kenaikan suhu global melampaui 1,5 derajat Celcius sesuai isi Perjanjian Paris, menurut organisasi pemerhati lingkungan tersebut.  

Kampanye Greenpeace memproyeksikan pesan untuk transisi ke energi bersih di Pantai Melasti, Bali, 14 November 2022. Aksi tersebut bersamaan dengan digelarnya KTT G20 di bawah presidensi Indonesia. Dok Greenpeace

Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia, mengatakan sudah saatnya negara-negara di dunia meninggalkan energi fosil dan mempercepat transisi energi demi menyetop krisis iklim. Dia merujuk pada panel ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) yang menegaskan, setidaknya dunia harus menutup 80% PLTU batu bara pada 2030, serta meninggalkan batu bara secara total pada 2040 jika tak ingin terperangkap dalam krisis iklim. 

“Transisi energi merupakan hal yang pasti saat ini, negara-negara di seluruh dunia akan bergerak ke arah tersebut, termasuk Indonesia. Namun, kita harus mempercepat transisi tersebut untuk mencegah dampak krisis iklim yang sudah terlalu besar bagi lingkungan, manusia, dan kesejahteraan. G20 memiliki tanggung jawab untuk itu,” ujar Tata. 

Pemerintah Indonesia telah menyampaikan rencananya untuk melakukan pensiun dini 9.2 GW PLTU batu bara dengan bantuan internasional pada tahun 2029. Di antaranya 3.7 GW akan digantikan pembangkit listrik terbarukan. Janji ini disampaikan dalam COP 26 di Glasgow pada 2021, selaras dengan penandatanganan Global Coal to Clean Power Transition Statement yang menyetujui penghentian penggunaan batubara pada 2040. 

Tata mengatakan, transisi energi di Indonesia maupun negara G20 lainnya harus bebas dari solusi palsu, seperti co-firing dan clean coal technology yang akan memperlambat transisi energi. 

“Proses dan mekanisme peralihan ini juga harus melibatkan partisipasi publik, memegang prinsip demokrasi, serta berkeadilan. G20 harus menjadi solusi untuk akselerasi transisi energi, misalnya melalui platform pembiayaan,” kata Tata. 

KTT G20 yang diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022 merupakan kesempatan bagi negara-negara penghasil emisi terbesar untuk mendorong percepatan transisi energi berkeadilan secara konkret, terutama melalui pembiayaan transisi energi yang memadai. Pembiayaan tersebut diperlukan untuk pensiun dini PLTU batu bara dan pengembangan energi bersih terbarukan.

“Para pemimpin G20 harus memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan iklim diterjemahkan ke dalam skema transisi energi yang cepat dan adil, yang akan menghapuskan semua penggunaan bahan bakar fosil,” kata Yeb Sano, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara sekaligus Ketua Delegasi Greenpeace di Konferensi Perubahan Iklim atau COP27. 

Negara-negara G20, Yeb melanjutkan, menyumbang hampir 80% dari emisi global. Oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk memastikan tercapainya target 1,5 derajat Celcius.

“Krisis iklim ada di sini, menghancurkan kehidupan, mata pencaharian, komunitas, dan budaya di seluruh planet ini. Waktu tidak ada di pihak kita; para pemimpin harus mengambil langkah berani sebelum kita berakhir dalam bencana iklim permanen,” pungkasnya.