Sejumlah Korporasi Kebun Kayu dan Sawit Masih Nakal
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Kamis, 17 November 2022
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Dua laporan terbaru yang dipublikasikan sejumlah organisasi masyarakat sipil menunjukkan berbagai pelanggaran dan perusakan lingkungan masih dilakukan oleh korporasi-korporasi perkebunan kayu dan sawit di sejumlah wilayah di Indonesia. Terungkap pula berbagai perbuatan nakal lainnya dilakukan sejumlah perusahaan, pascapencabutan izin oleh pemerintah.
Dua laporan hasil pantauan lapangan yang berisi perkembangan performa korporasi perkebunan kayu industri dan perkebunan sawit itu dikemas oleh Jaringan Kerja Pemantau Hutan Riau (Jikalahari) bersama Koalisi Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang tersebar di 8 provinsi dalam jejaring Eyes on The Forest (EoF).
Terdapat total 40 korporasi yang menjadi objek pemantauan. Itu terdiri atas 27 korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)/perkebunan kayu industri--biasa disebut Hutan Tanaman Industri (HTI), 13 perkebunan sawit yang tersebar di Provinsi di Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Papua.
Pemantauan ini dilakukan sepanjang Maret 2021-Oktober 2022 oleh koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Jikalahari, Walhi Riau, EoF, KSPPM, Walhi Jambi, Walhi Sumatera Selatan, Point Kalbar, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur dan Walhi Papua.
Dalam laporan Pertama, berjudul "Lagi, Cerita Korporasi HTI: Merusak Hutan Alam dan Merampas Hutan Tanah Masyarakat", Koalisi mengungkap pelanggaran komitmen No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) dan kebijakan berkelanjutan oleh perusahaan perkebunan kayu industri.
Koalisi Jejaring Eyes on The Forest melakukan pemantauan untuk melihat implementasi komitmen NDPE, dan komitmen kebijakan berkelanjutan grup perusahaan Asia Pacific Resources International Holding Ltd. (APRIL), Asia Pulp & Paper (APP) Sinarmas, Sumitomo dan Medco. Pemantauan kebun kayu industri ini dilakukan di Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Papua.
Secara ringkas ada 6 poin temuan yang dihasilkan. Pertama, Pertama, masih terdapat adanya pembukaan hutan alam yang dilakukan oleh anak grup perusahaan APP Sinarmas di Riau, PT Arara Abadi, di area NKT1 yang merupakan habitat gajah sumatera dan cagar alam UNESCO. Selain membabat hutan alam, PT Arara juga menamai areal hutan alam di NKT1 tersebut dengan tanaman akasia.
Selain PT Arara, perusahaan APP Sinarmas lainnya di Riau, PT Sekato Pratama Makmur, juga melakukan penebangan hutan alam dan menamam akasia di areal gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter.
Tak hanya APP Sinarmas, grup Sumitomo melalui PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat juga terindikasi melakukan pembukaan hutan alam dalam rentang waktu 2020 akhir hingga awal 2021. Tanaman akasia berumur sekitar 1 tahun ditemukan tertanam di areal bekas tebangan hutan alam itu.
Kedua, Koalisi menemukan 4 korporasi yang beraktivitas di areal gambut tidak melakukan upaya restorasi gambut. Empat korporasi itu adalah PT Wira Karya Sakti distrik VIII, PT Pesona Belantara Persada (PBP), PT Putra Duta Indah Wood (PDIW) di Jambi, dan PT Rimba Hutan Mas (RHM) di Sumatera Selatan.
Ketiga, alih-alih melakukan restorasi atau pemulihan, areal yang terbakar pada 2015 justru dilakukan penamanan akasia. Kasus tersebut terjadi di PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT Wira Karya Sakti (WKS) Distrik VIII dan PT Industrial Forest Plantation (IFP).
Keempat, PT Bumi Persada Permai (BPP) di Sumatera Selatan terbukti melakukan penamanan eukaliptus di luar areal izin konsesinya dan berkonflik dengan Suku Anak Dalam.
Kelima, terjadi penanaman sawit oleh PT Bumitama Gunajaya Agro dan PT Borneo Sawit Persada di areal konsesi HTI PT Ceria Karya Pranawa.
Keenam, terdapat 7 korporasi yang berkonflik dengan masyarakat. Yang mana masyarakat tidak menerima keberadaan korporasi, karena areal yang kemudian dikelola oleh perusahaan merupakan areal yang sudah lama dikelola oleh masyarakat sebagai ladang atau kebun. Tujuh perusahaan itu yakni PT NWR, PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT Wira Karya Sakti (WKS) Distrik VII, PT Putra Duta Indah Wood (PDIW), PT Bumi Persada Permai (BPP), PT Industrial Forest Plantation, PT Itci Hutani Manunggal (IHM) dan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ).
Pada laporan Kedua, berjudul "Pasca-Pencabutan Izin Korporasi Sektor SDA", Koalisi mengungkap aktivitas perusahaan di bekas areal izin usaha, pascapencabutan izin oleh pemerintah.
Laporan tersebut ditulis berdasarkan hasil pemantauan sepanjang Maret-Juni 2022 di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Papua. Dalam hal ini ada 23 korporasi yang dipantau, terdiri dari 10 HTI dan HPH serta 13 perkebunan sawit.
Ada 5 poin temuan yang dihasilkan. Pertama, terdapat sejumlah korporasi yang masih nekat beroperasi meski izin usahanya pada areal yang digarap sudah dicabut oleh pemerintah pada Januari 2022 lalu. Perusahaan-perusahaan itu yakni PT Duta Palma Nusantara (DPN) I, PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) dan PT Agriprima Cipta Persada (ACP) II.
Selain masih ditemukan adanya aktivitas pemanenan tandan buah segar (TBS) sawit oleh karyawan PT DPN, perusahaan itu juga diketahui menanam sawit di luar areal izin dan berada di dalam kawasan hutan.
Kedua, adanya penguasaan lahan bekas perkebunan kayu industri oleh perusahaan perkebunan sawit. Di Riau, PT Agro Lestari menguasai lahan eks PT Rimba Seraya Utama (RSU), dan ada pula 6 orang cukong yang menguasai lahan eks PT Bukit Raya Pelalawan (BRP) seluas 662 hektare. Di Jambi PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi menguasai lahan bekas PT Dyera Hutan Lestari (DHL).
Kemudian di Kalimantan Tengah, PT Bangun Jaya Alam Permai dan CV Gawi Hantantiring menguasai lahan bekas PT RE. Terakhir di Kalimantan Timur, PT Enggang Alam dan PT Rea Kaltim menguasai lahan bekas PT Hutan Kusuma (HK).
Temuan Ketiga, adanya penguasaan lahan bekas perkebunan kayu industri oleh korporasi tambang. Menurut laporan tersebut, ada 5 korporasi tambang yang menguasai lahan bekas perkebunan kayu industri yang dicabut izinnya.
5 kasus tersebut yaitu PT Graha Surya Tambang yang menguasai areal eks PT RE dan PT Bara Tiga Putra. Kemudian PT Alam Tambang Raya Pratama, PT Penoon Energi, PT Karunia Sanjaya Makmur dan PT Rajib Xanana menguasai areal eks PT HK.
Keempat, adanya penguasaan lahan bekas PT HK oleh perusahaan pemegang PBPH Hutan Alam PT Mutiara Kalja Permai.
Temuan Kelima, adanya penguasaan lahan bekas PBPH Hutan Tanaman/perkebunan kayu industri oleh masyarakat. Namun penguasaan lahan oleh masyarakat itu dikarenakan masyarakat merasa telah menguasai lahan tersebut secara turun temurun, bahkan sebelum izin PBPH Hutan Tanaman diterbitkan. Penguasaan lahan eks kebun kayu ini salah satunya dibuktikan oleh adanya pemukiman masyarakat di dalam areal izin yang dicabut.
Dua laporan tersebut mengungkap kelakuan korporasi perkebunan kayu dan sawit dalam melakukan pelanggaran hukum perusakan hutan, dan perampasan hutan tanah masyarakat adat. Tak hanya itu, korporasi yang perizinannya sudah dicabut tidak mendapat tindakan dari pemerintah.
Inti temuan menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah di tingkat tapak atau lapangan menjadi faktor terbesar terjadinya pelanggaran. Korporasi terus menerus merusak dan merampas hutan tanah masyarakat adat dan tempatan.
Sebelumnya, pada 2019 dan 2021 Koalisi Jejaring EoF juga mempublikasikan hasil pemantauan dari lapangan yang berjudul “Ketika Pemulihan Gambut Hanya Sebatas Janji” dan “Di Balik Rusaknya Hutan Indonesia”. Hasil pemantauan menemukan korporasi perkebunan kayu melakukan hal yang sama.
Yang mana korporasi tidak melakukan upaya restorasi gambut di areal prioritas restorasi, melakukan aktivitas pembukaan lahan, penanaman ataupun pemanenan di areal fungsi lindung gambut serta areal prioritas restorasi pascakebakaran, bahkan ditemukan adanya kebakaran berulang di areal bekas terbakar.
Sejak 2019-2022 atau empat tahun terakhir, Koalisi Jejaring EoF telah melakukan pemantauan terhadap 89 korporasi Sektor Sumber Daya Alam di Indonesia.
Di akhir Koalisi memberikan beberapa rekomendasi dan nasihat. Terkait laporan investigasi pelanggaran komitmen NDPE dan kebijakan berkelanjutan oleh korporasi perkebunan kayu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus melakukan peninjauan terhadap izin yang diberikan, karena telah terbukti terbakar, tidak melakukan upaya restorasi pada konsesinya, berada pada wilayah pulau kecil dan merampas hak masyarakat adat dan tempatan.
Selanjutnya, memaksa korporasi untuk melakukan kewajiban pemulihan lingkungan, dan memberikan legalitas kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan hak melalui skema perhutanan sosial dan TORA.
Terkait laporan existing izin korporasi HTI dan sawit pascapencabutan izin oleh pemerintah. Presiden Jokowi harus segera merealisasikan janjinya berupa lahan eks korporasi yang dicabut diberikan kepada masyarakat adat dan tempatan.
Menteri LHK segera melakukan penegakan hukum terhadap korporasi yang masih beroperasi setelah izinnya di cabut, dan menerbitkan Perhutanan Sosial serta melakukan pemulihan di areal eks HTI yang dicabut.
Terakhir kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, agar segera menerbitkan Perdasus sebagai pelaksana Undang-Undang Otonomi Khusus dalam kaitan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua dan Papua Barat, demi menjamin hak-hak masyarakat adat atas hutan Papua dan Papua Barat, serta tiga provinsi baru di Papua.