MA Kabulkan PK Jokowi, Para Penggugat CLS Karhutla Kalteng Kecewa

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Karhutla

Selasa, 22 November 2022

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kasus gugatan citizen law suit (CLS) kebakaran lahan dan hutan (karhutla) Kalimantan Tengah (Kalteng) 2015 yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Gubernur Kalteng. Putusan itu dinilai sangat mengecewakan. Lantaran segala hal terkait upaya hukum PK ini dianggap senyap. Setidaknya bagi pihak Penggugat.

Pihak Penggugat mengaku sama sekali tidak mengetahui jalannya proses upaya hukum PK yang diajukan Presiden Jokowi ini. Tahu-tahu Majelis Hakim MA dikabarkan telah mengabulkan upaya hukum PK dimaksud. Pihak Penggugat mengaku sampai kini belum juga mendapat salinan putusan PK resmi kasus ini dari MA.

"Kita tunggu putusan resminya dulu, yang seharusnya kita juga mendapatkan itu. Jangankan itu (salinan putusan resmi) upaya dari PK-pun kita tidak mengetahuinya," kata Kuasa Hukum Penggugat Karhutla Kalteng 2015, Aryo Nugroho Waluyo, Senin (21/11/2022).

Aryo mengatakan, salah satu unsur PK adalah adanya bukti baru (novum) yang diketemukan dan sifatnya menentukan yang diajukan oleh pihak yang mengajukan PK, dalam hal ini Presiden Jokowi. Pihaknya belum mengetahui novum yang diajukan pihak Jokowi, sehingga belum bisa memberikan respon atas putusan PK kasus ini.

Tampak areal lahan yang tengah terbakar di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Oktober 2015 lalu,/Foto: Raden Ariyo Wicaksono Betahita.id

Aryo melihat, upaya hukum yang terus ditempuh oleh para tergugat CLS ini merupakan pertanda, bahwa pemerintah tidak benar-benar ingin memberikan lingkungan yang sehat untuk masyarakat. Gugatan CLS ini merupakan gugatan yang dilakukan untuk mengingatkan pemerintah agar menjalankan sesuatu yang telah diatur dalam undang-undang (UU).

"Namun kita lihat mereka (pemerintah) sibuk mencari-cari alasan untuk tidak mematuhi putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap," ujar Aryo.

Salah satu Penggugat, Mariaty merasa putusan PK ini tidaklah adil bagi Penggugat. Alasannya, karena dirinya dan para Penggugat lainnya sama sekali tidak diberi pemberitahuan, baik saat pengajuan upaya hukum PK oleh Presiden Jokowi dilakukan, maupun saat PK itu dikabulkan.

"Itu sama sekali tidak fair. Selain itu juga, keputusan untuk situasi gugatan. Karena fakta yang dirasakan 2015 sangat mempengaruhi kehidupan. Kita tidak pernah tahu apakah situasi (karhutla) 2015 itu akan terulang atau tidak," kata Mariaty, dalam konferensi pers yang digelar, Sabtu (19/11/2022) kemarin.

Selain tidak adanya jaminan tidak terulangnya bencana karhutla 2015, Mariaty menilai penegakan hukum terhadap para pelaku penyebab karhutla--terutama pelaku korporasi--dilakukan tidak transparan. Ditambah lagi penanggulangan karhutla 2015 tidak maksimal dilakukan, mengakibatkan banyak kerugian yang dialami.

"Yang digugat itu untuk kebaikan. Ada kebijakan turunan dari UU No. 32 Tahun 2009, terkait penanganan karhutla. Kemudian kita meminta ada rumah sakit khusus yang cukup memadai untuk penanganan kesehatan, seperti khusus paru."

Seorang Penggugat lainnya, Arie Rompas menganggap putusan MA atas gugatan CLS karhutla 2015 ini adalah hal yang ajaib, dan itu menjadi presedn buruk terhadap sistem peradilan di Indonesia, dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang sehat. Padahal hal itu adalah hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara.

Arie menganggap, apabila putusan PK ini dijalankan, maka akan berdampak serius pada masa depan perlindungan lingkugan dan penegakan hukum, di tengah krisis iklim yang sudah di depan mata.

"Kami akan terus berjuang untuk mewujudkan hal ini. Karena taruhan masa depan perlindungan lingkungan bergantung pada upaya peerintah untuk memenuhi hak atas lingkungan yang baik, salah satunya menjalankan kasasi MA dan membatalkan PK yang diajukan presiden," kata Arie.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata menilai dikabulkannya upaya hukum PK oleh MA ini merupakan suatu langkah mundur dalam konteks penegakan hukum oleh pemerintah. Menurutnya, proses pengajuan PK hingga keluarnya putusan terjadi sangat cepat dan tidak terbuka.

Bayu menjelaskan, sebenarnya ada dua substansi tuntutan dalam gugatan karhutla Kalteng, yakni perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, serta memastikan perlindungan dan pemulihan hak masyarakat, khususnya dari dampak kabut asap karhutla. Bayu berpendapat adanya upaya hukum PK ini sangat menguatkan bahwa pemerintah tidak serius dalam menjalankan hukum.

“Kalau pemerintah saja tidak bisa patuh terhadap putusan hukum, bagaimana dengan pihak lain yang terjerat hukum akibat kelalaian mereka yang menyebabkan karhuta. Seperti sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalteng yang sudah diputus bersalah sampai saat ini belum ada yang menjalankan putusan pengadilan,” ungkap Bayu.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian menambahkan, dikabulkannya PK Presiden Jokowi ini adalah potret buruknya penegakan hukum di Indonesia.

Pengajuan PK oleh Presiden Jokowi beserta Menteri LHK, dan Gubernur Kalimantan Tengah, menurutnya, juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap komitmen mitigasi perubahan iklim yang selalu disampaikan pada pertemuan-pertemuan internasional. Bahkan ternyata putusan MA terbit sebelum pidato Menteri KLHK di COP27, yang mengklaim telah berhasil menurunkan laju deforestasi dan karhutla.

“Seharusnya Presiden, KLHK dan Gubernur terima saja putusan (kasasi) MA sebelumnya, bahwa telah melakukan perbuatan melawan hukum atas kebakaran hutan dan lahan 2015 lalu, dan menjalankan tuntutan-tuntutan yang dikabulkan, sebagai bentuk pertanggungjawaban Negara atas derita yang dialami rakyat saat kebakaran hutan,” kata Uli.

Sebelumnya, Negara Republik Indonesia (RI) Cq. Presiden RI Cq. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Cq. Gubernur Kalteng sebagai Pemohon PK I, Negara RI Cq. Presiden RI Cq. Menteri LHK sebagai Pemohon PK II, Negara RI Cq. Presiden RI sebagai Pemohon III, mengajukan upaya hukum PK ke MA, terdaftar pada 3 Agustus 2022.

Berdasarkan informasi yang tertera pada situs Kepaniteraan MA, upaya hukum PK dengan Nomor Perkara PK 980 PK/PDT/2022 itu telah dikabulkan oleh Majelis Hakim MA pada 3 November 2022 lalu dan dalam proses minutasi.

Sampai berita ini selesai ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak MA atas putusan PK gugatan CLS karhutla Kalteng ini. Juru Bicara MA, Andi Samsan tidak memberikan respon apapun atas upaya konfirmasi yang dilakukan betahita.

Upaya hukum ini diambil setelah upaya hukum Kasasi yang diajukan para Tergugat ditolak oleh Majelis Hakim MA pada 16 Juli 2019 lalu dengan Nomor Putusan Kasasi 3555 K/Pdt/2018. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MA menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi I: Negara RI Cq. Presiden RI Cq. Mendagri Cq. Gubernur Kalteng, Pemonon II: Negara RI Cq. Presiden RI Cq. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemohon III: Pemerintah RI Cq. Presiden RI Cq. Menteri Pertanian, dan Pemohon IV: Negara RI Cq. Menteri Kesehatan.

Seperti diketahui 7 warga Kalteng, yakni Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin dan Mariaty mengajukan gugatan CLS karhutla Kalteng 2015 ke Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya dengan Nomor Perkara 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk pada 16 Agustus 2016. Ada 7 Tergugat dalam perkara ini, yakni Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri ATR/BPN, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalteng, dan DPRD Kalteng. 

Dalam peradilan tingkat pertama itu, pada 22 Maret 2017, PN Palangka Raya menyatakan para Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum, dan mengabulkan sebagian tuntutan para Penggugat, di antaranya menerbitkan peraturan pelaksana UU No. 32 Tahun 2009, menerbitkan sejumlah peraturan pemerintah terkait lingkungan, melakukan penegakan hukum lingkungan, mendirikan rumah sakit khusus paru, dan lain sebagainya.

Pihak Tergugat, terutama Menteri LHK belum puas dengan putusan PN Palangka Raya itu dan mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya, pada 29 Maret 2017. Namun hasilnya, pada 19 September 2017, lewat Putusan Nomor 36/PDT.G-LH/2017/PT PLK, PT Palangka Raya mengeluarkan putusan yang intinya menguatkan Putusan PN Palangka Raya Nomor 118/Pdt.G.LH/ 2016/ PN Plk tertanggal 22 Maret 2017.