Alasan 3,7 GW PLTU Batu Bara di Sumatera Harus Disuntik Mati

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Kamis, 24 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Pulau Sumatera telah dianggap sebagai momok bagi masyarakat sekitarnya. Kampung tergusur, kehilangan mata pencaharian, penyakit, kehilangan tempat tinggal hingga konflik sosial menjadi cerita yang muncul di tapak. Ditambah dengan tingginya intensitas konflik, baik laten maupun manifest, cerita tapak PLTU di Sumatera kian sempurna.

Sebagian kecil cerita tapak itu terungkap dalam webinar bertema “Mengapa 3,7 Gigawatt PLTU batu bara di Sumatera harus dimatikan” yang digelar Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih--gabungan 18 lembaga non-pemerintah di Pulau Sumatera--yang menekan pemerintah segera menghentikan energi fosil batu bara, dan mempercepat transisi ke energi terbarukan pada Rabu, 23 November 2022.

Perwakilan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, Zaidun Abdi menyatakan, keberadaan PLTU batu bara Nagan Raya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang diterima warga justru kehancuran pondasi ekonomi rakyat.

Nelayan Pangkalan Susu di Sumatera Utara juga mengalami kemerosotan pendapatan, hingga 70 persen, sejak PLTU Pangkalan Susu beroperasi. Begitu pula nelayan di Sungai Siak Riau dan Bengkulu juga kehilangan ikannya akibat eksploitasi batu bara.

Masyarakat sipil menggelar aksi menuntut "suntik mati" PLTU batu bara di Sumatera./Foto: Kanopi Hijau Indonesia

Dewi Purnama Dosen Jurusan Kelautan Universitas Bengkulu menegaskan, berdasarkan hasil penelitian, populasi penyu betina di perairan menurun 20 persen akibat perubahan iklim. Informasi ini sebenarnya cukup untuk memberikan informasi bahwa telah terjadi penuruan populasi biota laut akibat krisis iklim.

Cerita kerusakan ekonomi tidak hanya pada sektor laut, petani pun mengalami penurunan hasil pertanian. Sumiati Surbakti, Direktur Srikandi Lestari Sumatera Utara mengungkapkan, petani di sekitar PLTU Pangkalan Susu mengalami penurunan hasil pertanian lebih dari 50 persen, dari sebelumnya mendapatkan rata-rata 300 kg per rantai, sekarang untuk mendapatkan setengahnya sangatlah sulit.

Cerita serupa juga terjadi di Lahat Sumatera Selatan, petani yang biasanya mendapat lebih dari 100 karung padi per bidang, sekarang ini hanya mendapatkan tidak lebih dari 30 karung.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2021 menyebut sekitar 828 juta orang menghadapi kelaparan yang kondisinya diperparah krisis iklim. Data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

Sementara data yang diolah Kanopi Hijau Indonesia dari berbagai sumber menyebutkan 27.175 hektare daratan Pulau Sumatera hilang dalam kurun tiga tahun terakhir.

Pembakaran fosil batu bara juga telah meracuni udara yang dihirup manusia di mana studi yang dipublikasikan Lancet, jurnal kedokteran internasional, menyebutkan polusi udara mengakibatkan 6,7 juta kematian pada 2019.

Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sedikitnya 7 juta orang mengalami kematian dini per tahun, termasuk sekitar 600.000 anak di bawah usia 15 tahun akibat dari polusi udara. Jumlah ini tanpa memperhitungkan jutaan yang menderita penyakit kronis terkait polusi udara.

Derita kesehatan dampak dari krisis iklim dipaparkan secara lugas oleh Prof. Budi Haryanto, Guru Besar Universitas Indonesia, yang menjadi penanggap dalam webinar ini. Prof. Budi mengatakan, pada 2018 dalam penelitian di 88 PLTU batu bara di seluruh dunia dengan perlakuan penelitian kesehatan masyarakat yang bermukim 50 km, 100 kilometer, hingga 1.000 kilometer dari PLTU, menemukan warga terpapar penyakit yang mematikan dan dominan mengidap penyakit yang berkaitan dengan gangguan fungsi paru.

“Dominan mengalami gangguan fungsi paru seperti kanker paru-paru, asma dan pneumonia bahkan jantung, itu yang ditemukan,” katanya.

Penelitian di 18 PLTU negara wilayah Balkan juga menemukan penyebaran SO2 dan senyawa pencemar lainnya menyebar sampai ke Italia padahal sudah menyeberang laut. Penelitian juga menemukan pasca dihancurkannnya PLTU batu bara ditemukan polusi menurun drastis dan penyakit terkait polusi menurun dengan signifikan.

Dari paparan tersebut, fakta-fakta lapangan yang diderita oleh warga yang tinggal di sekitar PLTU batu bara menunjukkan bahwa penyakit yang mewabah adalah penyakit yang menyerang pernapasan dan kulit. Di tapak PLTU Pangkalan Susu Sumatera Utara, pada 2021 tercatat 2.547 orang menderita ISPA dan 738 orang menderita sakit paru kronik.

Derita serupa dialami warga Sijantang Koto Sawah Lunto, Sumatera Barat. Itu seperti dipaparkan Direktur LBH Padang, Indira Suryani, yang mengatakan penyakit ISPA menjadi penyakit terbanyak yang diderita warga Kecamatan Talawi dengan jumlah penderita mencapai 5.000 orang pada 2011-2017 dan tetap masuk dalam 5 penyakit terbanyak pada 2019 sampai 2021.

Perwakilan dari Posko Lentera, Bengkulu, Yesi Sepriani mengungkapkan, 39 orang warga Teluk Sepang mengalami penyakit kulit yang sulit sembuh. Cerita yang sama juga terjadi di sekitar PLTU Pangkalan Susu dengan jumlah penderita penyakit kulit berjumlah 60 orang sementara penyakit pernapasan diderita oleh warga yang ada di sekitar PLTU Ombilin dan Pangkalan Susu.

Kerusakan lingkungan di Riau juga tak kalah gawat. Dalam kesempatan ini, Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya memaparkan kondisi pencemaran Sungai Siak yang masih menjadi sumber air PDAM bagi warga Kota Pekanbaru.

Bergeser ke Jambi, tercatat 112 orang meninggal dunia di jalanan akibat kecelakaan yang diperparah dengan lalu lalang truk angkutan batu bara. Bahkan situs cagar budaya Muaro Jambi saat ini dikepung stockpile atau titik penumpukan batu bara.

Di wilayah Lampung, warga tiga kabupaten harus menerima debu batu bara setiap hari dari angkutan batu bara yang dibawa dari Sumatera Selatan menuju Lampung dengan kereta api.

Sementara Prof. Yusmar Yusuf dari Universitas Riau, mengatakan, persoalan sosial ini merupakan bentuk nyata dari eksploitasi berlebihan (over exploitation) terhadap alam lewat PLTU batu bara mulut tambang.

Yusmar menyebut eksploitasi tambang batu bara telah menghilangkan habitat di lingkungan tambang yang berupa hutan atau areal yang tidak ada pemukimanya. Ia menilai saat ini Sumatera menjadi rapuh karena pengeroyokan ekonomi ekstraktif.

“Kondisi ini membuat transisi energi bukanlah pilihan tapi sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda terlalu lama,” ujar Yusmar.

Di sisi lain, Pulau Sumatera saat ini telah kelebihan daya listrik hampir 2.000 Megawatt (MW), sehingga patut dipertanyakan penambahan PLTU baru yang terus digenjot khususnya di wilayah Sumatera Selatan.

Boni Bangun dari Sumsel Bersih menyebut, di Provinsi Sumatera Selatan saja saat ini telah kelebihan daya listrik 1.300 MW tapi pemerintah terus menambah PLTU batu bara baru, seperti PLTU Sumsel 1 dan PLTU Sumsel 8.

"Kami mendesak pemerintah menghentikan konstruksi PLTU Sumsel 1 dan Sumsel 8 karena Sumatera sudah kelebihan daya 2.000 MW dan Sumatera Selatan saja kelebihan daya 1.300 MW," kata Boni.

Ali Akbar dari Kanopi Hijau Indonesia mengatakan, laporan Sumatera ini dilaksanakan menyikapi inisiasi negara untuk memensiunkan dini PLTU batu bara di Indonesia. Pertemuan G20 yang baru saja dilaksanakan di Bali memberikan sedikit pengharapan akan adanya pengakhiran masa penggunaan batu bara di Indonesia.

“Kami ingin Sumatera bebas dari energi kotor batu bara. Cerita kesengsaraan rakyat yang telah dipaparkan tersebut cukup untuk menjadi dasar agar negara benar dalam mengambil keputusan. Rencana negara untuk berhenti menggunakan batu bara bara pada 2060 itu sudah terlalu terlambat,” imbuh Ali.