Potensi Merosot Komoditas Beras dan Kopi akibat Perubahan Iklim
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Kamis, 01 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sebuah penelitian skala nasional mengungkapkan, perubahan iklim akan mengurangi produktivitas komoditas kopi dan beras. Diperkirakan pada tahun 2051-2080, Indonesia bisa kehilangan nilai ekonomi produksi padi rata-rata Rp 42,4 triliun per tahun yang akan meningkat pada periode 2081-2100 menjadi Rp 56,45 triliun per tahun.
Perkiraan kerugian serupa juga terjadi pada produksi kopi arabika antara tahun 2051-2080, sebesar rata-rata Rp3,9 triliun per tahun hingga Rp 6,8 triliun per tahun pada periode 2081—2100. Laporan itu juga menunjukkan bahwa 63 hingga 100 lahan yang saat ini dapat ditanami kopi Arabika tidak lagi sesuai untuk budidaya, sementara produktivitas padi nasional turun hingga 8 juta ton pada 2100 atau setara kebutuhan beras untuk 42 juta jiwa.
Laporan berjudul ‘Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian Indonesia: Fokus Komoditas Padi dan Kopi’ melakukan kajian yang berfokus pada komoditas padi di lahan sawah dan rawa, serta kopi di lahan kering. Padi merupakan komoditas pangan utama yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Sementara itu, Indonesia merupakan produsen dan pengekspor kopi terbesar keempat secara global, dengan peran rata-rata 4,76% dari total ekspor dunia.
Gangguan lahan untuk tanaman kopi terjadi akibat dampak perubahan iklim pada panjang bulan kering yang penting dalam proses pembentukan bunga. Sementara itu, dampak perubahan iklim terhadap lahan persawahan terjadi karena meningkatnya kadar garam (salinitas) akibat kenaikan muka air laut (sea level rise/SLR) yang sudah dipastikan menurunkan produksi beras.
Kepala Riset dalam penyusunan laporan, Edvin Aldrian, mengatakan, sektor pertanian saat ini masih diandalkan sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Gangguan di sektor ini akibat perubahan iklim, akan memicu penurunan produktivitas dan terganggunya lahan pertanian, merupakan masalah serius yang harus diatasi sesegera mungkin sebelum dampaknya memunculkan efek domino yang lebih buruk di masa depan,” katanya Edvin yang merupakan Profesor Riset bidang Meteorologi dan Guru Besar Luar Biasa di Universitas Indonesia.
Sementara itu, Elza Surmaini penyusun laporan lainnya sekaligus pakar di bidang Iklim dan Atmosfer di BRIN, mengatakan kejadian iklim ekstrem mengakibatkan penurunan luas lahan dan produksi pertanian secara signifikan. Upaya adaptasi dan mitigasi adalah keharusan untuk memastikan tercapainya ketahanan pangan di masa depan.
Kajian ini menggunakan dua skenario kenaikan muka air laut untuk menghitung dampaknya terhadap produktivitas beras di Indonesia. Skenario 2 meter sea level rise (SLR-2), berkurangnya lahan sawah karena peningkatan air laut akan menurunkan produksi beras sebesar 3,5 juta ton tahun 2100, atau setara pemenuhan konsumsi beras 17,7 juta orang. Merujuk pada data dalam laporan tersebut, kenaikan muka air laut setinggi 2 meter (SLR-2) akan membuat 430.775 hektar areal sawah di pesisir Indonesia terendam.
Lebih dari 70 persen sawah yang terkena dampak SLR-2 berada di Pulau Jawa. Selain mengurangi lahan sawah karena menjadi berada di bawah permukaan laut, kondisi ini juga dapat meningkatkan salinitas atau kadar garam tanah di areal sawah yang tersisa hingga melebihi ambang batas salinitas padi sehingga dapat mengurangi produksi beras hingga 50 persen dari potensinya atau sekitar 8 juta ton yang setara dengan pemenuhan konsumsi beras 42 juta jiwa.
Edvin mengatakan tanpa upaya mitigasi yang nyata untuk beralih dari bahan bakar fosil, kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim akan menjadi ancaman serius bagi kinerja ekonomi Indonesia.
“Kajian ini salah satunya bertujuan untuk menyajikan perubahan nilai ekonomi di bawah skenario aksi mitigasi atau tanpa mitigasi perubahan iklim, dan hasilnya jelas bahwa kita mempertaruhkan masa depan jutaan warga kita sendiri.” Kata Edvin yang juga merupakan Wakil Ketua Kelompok Kerja I dalam IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) yang merupakan bagian dari UNFCCC.
Sedangkan produktivitas kopi Indonesia diperkirakan konsisten turun sekitar 10 persen pada periode El Nino dan hingga 80 persen pada periode La Nina. El Nino Southern Oscillation (ENSO) sangat erat kaitannya dengan pola dan intensitas hujan serta kejadian iklim ekstrem di Indonesia. Sementara itu, La Nina adalah perubahan iklim ekstrem seperti curah hujan tinggi.
Bila dunia tidak segera beralih dari bahan bakar fosil, Indonesia dapat mengalami penurunan hasil ekspor sekitar 2 hingga 35 persen dan peningkatan impor hingga 117 persen. Namun demikian, walau dunia berhasil mempertahankan kondisi iklim saat ini, tetap akan terjadi kenaikan harga kopi secara keseluruhan untuk varietas arabika dan robusta sekitar 32 persen pada 2050 dan 56 hingga 109 persen antara tahun 2050 dan 2100.
Selanjutnya, pemodelan menunjukkan bahwa daerah Jambi, Bulukumba, Karangasem, Purbalingga, Tegal, Nganjuk, Wonosobo, dan sejumlah daerah lainnya akan menjadi sama sekali tidak cocok untuk budidaya kopi arabika akibat dampak perubahan iklim pada kesesuaian lahan di daerah tersebut.
Supari salah satu kontributor dalam laporan ini menjelaskan tanpa peningkatan yang signifikan dalam upaya mitigasi, jumlah hari di mana suhu dan kondisi curah hujan optimal untuk budidaya kopi di Indonesia akan berkurang lebih dari 50 persen pada akhir abad ini.
Sementara itu, Perdinan, tim penulis dari IPB, mengatakan kerugian ekonomi dari berkurangnya produktivitas padi dan kopi mendesak komitmen yang lebih kuat untuk mengelola risiko iklim dan menstabilkan pasokan makanan yang penting dalam upaya mencapai target pembangunan.