Membaca Ulang Potensi Kerentanan Sumber Daya Alam

Penulis : Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim

Opini

Rabu, 07 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pada Agustus 2022 lalu, Auriga Nusantara bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menerbitkan laporan berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa” yang mengungkap ketimpangan penguasaan sumber daya alam selama 77 tahun Indonesia merdeka. Pada laporan tersebut terungkap bahwa hampir 94,8 persen atau sekitar 53 juta hektare penguasaan lahan berada di tangan korporasi, sementara penguasaan yang berada di tangan rakyat hanya 2,7 hektare.

Tercatat pada 2022 konsesi logging mencapai 19 juta hektare, lalu sawit dengan konsesi total seluas 16,7 juta hektare, kemudian disusul oleh kebun kayu dengan konsesi mencapai 11,3 juta hektare, dan terakhir konsesi tembang tercatat 10 juta hektare.

Penguasa konsesi-konsesi tersebut didominasi oleh korporasi besar, baik BUMN ataupun swasta, sebagai contoh penguasa sawit 10 korporasi besar seperti PTPN, Sime Darby, Royal Golden Eagle, Astra Agro Lestari dan lain-lainnya menguasai sekitar 29 persen dari total konsesi sawit. Sama halnya dengan tambang, korporasi seperti PT Timah, PT Antam, Adaro Group, Bumi Resource Group dan lainnya menguasai hampir seperlima atau sekitar 2,3 juta hektare (Walhi & Auriga, 2022).

Luas konsesi yang diobral kepada korporasi bukan tanpa masalah, seringkali proses yang terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan yang tertutup dan partisipatif. Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam upaya memproteksi lingkungan hidup dari kerusakan adalah praktik korupsi.

Warga membentangkan spanduk sebagai tanda protes terhadap aktivitas perusahaan tambang PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur. Foto: Istimewa

Sebagaimana dalam laporan pemantauan Indonesia Corruption Watch pada semester pertama 2020, yang menyebutkan adanya lima kasus korupsi, masing-masing dua di sektor tambang dan energi, lalu satu kasus di sektor kehutanan. Nilai kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai hampir Rp30,5 miliar rupiah (Alamsyah, 2020).

Praktik korupsi ini seringkali berkaitan juga dengan obral konsesi. Kasus-kasus tersebut di antaranya praktik suap untuk pemberian izin, gratifikasi untuk mendapatkan hak istimewa dan penyalahgunaan wewenang untuk menerbitkan izin melalui ijon politik. Semua kasus tersebut melibatkan politisi yang menjabat sebagai kepala daerah maupun legislatif, mulai dari level nasional hingga daerah, serta pengusaha-pengusaha besar yang mempunyai ribuan konsesi tambang, perkebunan dan logging.

Nama-nama seperti Nur Alam Gubernur Sulawesi Tenggara yang terjerat korupsi karena menerima suap korporasi tambang nikel, Rita Widyasari Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang jadi pesakitan karena menerima suap dan gratifikasi dari korporasi sawit dan tambang. Selanjutnya, Andriansyah mantan Bupati Tanah Laut, Kalimantan Selatan juga melakukan korupsi dengan menerima suap dari korporasi tambang.

Lalu Idrus Marham juga terbukti bersalah karena melakukan korupsi dalam pembangunan PLTU-1 Riau. Sampai yang baru-baru ini hangat diperbincangkan yakni keterlibatan Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto dalam kasus suap tambang di Kalimantan Timur.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa sektor sumber daya alam adalah lahan basah untuk praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat, karena selain kerugian dengan hilangnya uang negara juga mengakibatkan eksklusi pada masyarakat adat maupun lokal, kerusakan ekosistem termasuk meningkatnya laju deforestasi, terancamnya keamanan pangan dan meningkatnya resiko bencana.

Relasi Politik dan Bisnis

Tidak dipungkiri, perkawinan antara politik dan bisnis menjadi salah penyebab mengapa praktik korupsi sumber daya alam yang mengakibatkan tercerabutnya hak masyarakat. Salah satu yang menjadi sorotan adalah semakin luasnya konsesi tambang dan sawit dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Praktik demikian pada beberapa kasus, diawali dengan ijon politik atau perdagangan kesepakatan di mana pihak yang memberikan pembiayaan akan menerima kemudahan dalam urusan bisnis, jaminan konsesi sampai dipermudahnya regulasi, praktik ini dikenal juga dengan political capture (Fariz, dkk, 2014).

Merujuk pada laporan Koalisi Bersihkan Indonesia (2018), bahwasanya dalam urusan pertambangan di Indonesia terutama sektor batu bara tidak bisa dilepaskan dalam praktik ijon politik. Berdasarkan penelusuran mereka di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa hubungan antara kekuasaan dengan penguasaan atas sumber daya alam sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan elite-elite politik nasional dalam pertambangan batu bara di provinsi tersebut. Nama-nama seperti Aburizal Bakrie salah satu orang berpengaruh di Golkar dengan Bumi Resources, lalu Prabowo Subianto Ketua Umum Gerindra dengan grup bisnis Nusantara.

Selanjutnya nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, memiliki bisnis di sektor pertambangan dan energi dengan PT Toba Sejahtera. Jika coba dikaitkan, aktor tambang di Kalimantan Timur memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya. Hampir mayoritas aktor penting pertambangan di Kalimantan Timur terhubung di Partai Golkar, di mana Luhut Binsar terkoneksi dengan Aburizal Bakrie, Idrus Marham, Azis Syamsuddin, Syaukani Hasan Rais, dan Rita Widyasari.

Koneksi pengusaha dengan elite politik semakin terang benderang dalam pemilu 2019 lalu. Merujuk pada laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional (2019) yang memetakan hubungan antara pebisnis dan kedua calon presiden. Ditemukan jika di kedua belah kubu pembiayaan utama dalam pertarungan orang nomor satu di Indonesia berasal dari tambang dan sawit.

Sebagai rincian pada tim pemenangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, terdapat nama yang terkait langsung dengan bisnis pertambangan, energi dan sawit. Nama-nama tersebut adalah Luhut Binsar Panjaitan, Fachrul Razi, dan Suaidi Marasabessy yang tergabung dalam Tim Bravo 5, serta Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Jusuf Hamka, Andi Syamsuddin Arsyad, Oesman Sapta Oedang, dan Aburizal Bakrie.

Sementara di kubu calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, keduanya diketahui merupakan aktor lama dalam sektor tambang, energi dan sawit. Selain itu, terdapat Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said, dan Zulkii Hasan. Masing-masing mereka memiliki bisnis tambang hingga sawit secara langsung, sejumlah saham, dan peran atau kewenangan saat menjabat sebelumnya dalam memuluskan ekspansi pertambangan melalui pengaturan kebijakan dan regulasi.

Pascapemilu Presiden 2019 lalu, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang notabene adalah lawan politik dirangkul masuk dalam kabinet oleh Joko Widodo. Pascaterpilih sebagai presiden Joko Widodo langsung menerbitkan revisi Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja yang merupakan paket regulasi untuk memudahkan izin tambang dan memuluskan penguasaan konsesi baik tambang hingga sawit.

Munculnya Undang-Undang Minerba memberikan hak istimewa pada pemegang PKP2B yang menguntungkan beberapa elite politik dan bisnis pendukung Joko Widodo seperti Aburizal Bakrie dengan perusahaan tambang batu baranya Bumi Resources melalui PT Kaltim Prima Coal, selain itu ada nama-nama perusahaan besar seperti PT Adaro Mineral, PT Arutmin dan PT Kendilo Coal.

Sementara riset dari Marepus Corner (2020) semakin memperjelas bagaimana aneka regulasi dilemahkan dengan menerbitkan aturan-aturan yang hanya menguntungkan segelintir elite, sekaligus membuka gerbang eksploitasi sumber daya alam yang akan menyebabkan degradasi lingkungan. Setidaknya sekitar 55 persen anggota DPR RI merupakan pebisnis.

Jika dirinci pada sektor yang berkaitan langsung dengan sumber daya alam, sekitar 15 persen merupakan pengusaha sektor migas, 15 persen manufaktur dan ritel, 10 persen perkebunan dan peternakan. Lebih jelasnya lagi pada komisi-komisi yang mengurusi langsung sumber daya alam seperti Komisi IV DPR RI yang membidangi sektor pertanian, pangan, maritim dan kehutanan, hampir 21 persen anggotanya adalah pebisnis di sektor perkebunan dan peternakan. Sementara di Komisi VII yang membidangi energi, riset dan teknologi, lingkungan hidup sekitar 31 persen anggotanya adalah pebisnis di bidang energi dan migas.

Paling tidak puzzle-puzzle yang tersaji ini semakin menguatkan bahwa relasi politik dan bisnis berpotensi kuat mendorong semakin maraknya obral konsesi, pelemahan regulasi hingga membuat aturan-aturan yang memfasilitasi praktik bisnis mereka. Tetapi praktik demikian patut disoroti, karena seringkali tertutup dan tidak terbuka, sehingga berpotensi merugikan negara dan masyarakat. Karena praktik-praktik tersebut tidak lepas dari kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan demi memperkaya diri sendiri.

Pelemahan Regulasi Meningkatkan Korupsi

Salah satu yang menjadi sorotan mengapa penguatan perselingkuhan antara aktor elite politik dan elite bisnis dapat meningkatkan potensi korupsi sumber daya alam, sekaligus meningkatkan potensi kerusakan lingkungan. Potensi itu muncul melalui regulasi yang dilemahkan, seperti revisi peraturan dan pembuatan aturan baru, termasuk pelemahan lembaga anti rasuah yakni Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

Pelemahan regulasi itu muncul dari adanya revisi Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara, yang mana pengusaha besar semakin dimanjakan oleh aturan mengenai PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara). Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 169 A yang mengatur perpanjangan otomatis IUPK selama dua kali. Selain itu potensi korupsi akan semakin diperbesar dengan penghapusan Pasal 165 yang mengatur tindak pidana soal pemberian izin tidak sesuai aturan serta penyalahgunaan wewenang, ditambah dengan diperkuatnya Pasal 162 tentang tindak pidana bagi yang menghalangi tambang berizin.

Tidak cukup itu, hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja, terutama dalam kluster lingkungan, yang mana perizinan lingkungan dilemahkan menjadi persetujuan lingkungan. Amdal tidak lagi menjadi kewajiban, ruang partisipasi dipersempit dengan menekankan pelibatan dan yang dapat bersuara hanya pihak yang terdampak langsung. Secara terhubung kluster lingkungan dalam undang-undang tersebut telah melemahkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, terutama dalam tiga semangat utamanya, yakni melindungi, menanggulangi dan merehabilitasi.

Memang tujuan dari regulasi dibuat untuk menarik investor agar mudah, tetapi ini menyalahi semangat dalam upaya menjaga dan melindung sumber daya alam. Apalagi Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi deforestasi, mereduksi karbon dan berupaya mencapai net zero emission. Penulis beranggapan, adalah sebuah kemustahilan jika satu sisi ingin melindungi, tetapi di sisi lainnya melakukan obral sumber daya alam.

Lalu, potensi korupsi yang akan merugikan negara pun meningkat, melalui penghapusan Pasal 165 dan penegasan Pasal 162. Karena tidak ada lagi ancaman hukuman bagi yang korup, serta orang yang akan bersuara dibatasi dan terancam kriminalisasi. Ditambah pelemahan KPK RI semakin melengkapi mengapa korupsi dan degradasi lingkungan akan semakin meningkat.

Melihat kondisi ini tentu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, terutama oleh gerakan masyarakat sipil. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kartodihardjo dkk (2019) bahwa harus ada perubahan dalam kebijakan terkait pencegahan korupsi, baik secara institusional maupun struktural. Artinya memang untuk perlu ada review serta perbaikan kebijakan dan regulasi untuk menganulir aneka regulasi lemah yang koruptif. Ini adalah tantangan yang harusnya menjadi perhatian bersama di antara masyarakat sipil.