54% Proyek Mineral Energi Bersih Tumpang Tindih dengan Tanah Adat

Penulis : Kennial Laia

Energi

Selasa, 06 Desember 2022

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Transisi energi di seluruh dunia diperlukan untuk menghadapi krisis iklim. Ini membutuhkan sejumlah besar mineral dan logam yang krusial, untuk turbin angin, panel surya, dan baterai untuk kendaraan listrik. Namun ini berakibat pada semakin banyaknya penambangan di tanah dan wilayah masyarakat adat. 

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh penulis John Owen dan Deanna Kemp, diterbitkan dalam Nature Sustainability pada 1 Desember, mendukung keprihatinan masyarakat Bangsa Pertama ini. Para peneliti mengidentifikasi 5.097 proyek pertambangan yang melibatkan sekitar 30 mineral yang dibutuhkan dalam transisi energi. Sekitar 54% terletak di atau dekat tanah masyarakat adat.

Tanah masyarakat adat memiliki nilai ekologis dan budaya. Tanah mereka, dan tutupan lahan seperti hutan, menyimpan karbon yang membantu mengatur iklim planet bumi. Biasanya tanah juga terkait erat dengan identitas dan gaya hidup masyarakat adat. 

Sementara itu mineral untuk transisi energi sangat penting untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, mengingat lebih dari 50% penambangannya berada di wilayah masyarakat adat, sudah sewajarnya mereka memiliki hak suara soal di mana dan bagaimana mineral diekstraksi. 

Ilustrasi bijih nikel.

Tumpang tindih masyarakat adat dan tambang mineral 

Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan permintaan litium untuk baterai kendaraan listrik akan tumbuh 40 kali lipat pada level saat ini pada 2040. Studi ilmuwan menemukan bahwa 85% cadangan dan sumber daya litium dunia tumpang tindih dengan tanah masyarakat adat. 

Sementara itu permintaan untuk nikel dan mangan diproyeksikan tumbuh 20-25 kali lipat. Para peneliti menemukan bahwa 75% mangan dan 57% cadangan dan sumber daya nikel juga tumpang tindih dengan tanah ini. 

Tembaga dan bijih besi pun sangat penting untuk pembangkit listrik, serta pengangkutan, penyimpanan, dan penggunaannya. Beberapa skenario memperkirakan peningkatan permintaan tembaga lebih dari 250% pada tahun 2050. Peneliti menemukan 66% tembaga dunia dan 44% cadangan dan sumber daya besi tumpang tindih dengan lahan masyarakat adat secara global.

Secara keseluruhan, dari 5.097 proyek dalam studi tersebut, 54% berada di atau dekat tanah masyarakat adat. Dan hampir sepertiga berada di atau dekat lahan di mana masyarakat adat diakui memiliki kendali atau pengaruh untuk tujuan konservasi.

Free, prior and informed consent

Dalam deklarasi yang diunggah di Phys.org, sejumlah organisasi dan kelompok masyarakat adat menyuarakan agar transisi energi berjalan adil dan cepat dari bahan bakar fosil ke sistem energi terbarukan. Namun, mereka prihatin dengan dampak penggalian mineral, seperti litium, kobalt, nikel, dan tembaga untuk teknologi energi terbarukan pada masyarakat, pekerja, dan ekosistem di seluruh dunia.  

Deklarasi tersebut mendesak industri, lembaga keuangan, investor, dan pemerintah untuk memastikan transisi energi yang bersih, adil, dan setara. Mereka mendesak agar transisi memprioritaskan hak asasi manusia masyarakat adat dan komunitas paling terdampak dari aktivitas pertambangan. 

Mereka juga mendesak agar pemerintah dan perusahaan pertambangan mengutamakan pemenuhan hak untuk Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) untuk keputusan yang memengaruhi penghidupan mereka. 

Ini termasuk hak untuk tidak memberikan persetujuan yang selaras dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Artinya, masyarakat adat dapat menerima atau menolak penambangan di tanah adat mereka, dan untuk menegosiasikan syarat-syarat seperti melindungi warisan alam dan budayanya.

Pertambangan memiliki dampak yang sangat kompleks dan dapat menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat, lingkungan, dan hak asasi manusia. Proses konsultasi dan persetujuan membutuhkan waktu. Perusahaan dan pemerintah yang berusaha mengambil sumber daya dengan tergesa-gesa kemungkinan besar akan gagal untuk terlibat secara bermakna dengan masyarakat.

Jika proyek penambangan baru dilakukan dengan kilat, ada risiko besar tidak akan sejalan dengan prosedur. Tanpa konsultasi yang tepat dan perlindungan hukum, pasokan mineral transisi di masa depan dapat menempatkan tanah masyarakat adat dalam risiko yang lebih besar.

Solusi untuk krisis iklim harus ditemukan, dan mineral transisi energi merupakan bagian penting dari teka-teki ini. Namun, aspirasi masyarakat adat untuk menjaga keutuhan alam dan budaya tanah dan wilayah mereka, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang pertambangan, harus menjadi yang terdepan.