Partisipasi Publik Jadi Kunci Keadilan Iklim
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Perubahan Iklim
Kamis, 08 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Beragam kesepakatan dihasilkan dalam dua perhelatan besar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, dan COP27 di Mesir. Namun bagi Koalisi Keadilan Iklim--terdiri dari Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Kelola (Kemitraan)--beberapa hal perlu dijadikan perhatian, khususnya terkait partisipasi publik yang aktif dan bermakna untuk memastikan keadilan iklim dapat terwujud.
Ada empat hal yang menjadi sorotan utama koalisi, yakni implementasi dan perancangan mekanisme di bawah Just Energy Transition Partnership (JETP), rancangan Aliansi Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo (RDK) untuk menyelamatkan hutan hujan tropis, persetujuan dan perancangan mekanisme pendanaan iklim untuk Loss and Damage, serta pentingnya Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan dan perluasan ruang sipil dalam memastikan terwujudnya upaya bersama global penanganan perubahan iklim yang berkeadilan iklim dan bermakna.
Koalisi menggarisbawahi pentingnya pengakuan dan pemenuhan ruang partisipasi bermakna bagi masyarakat oleh pemerintah. Mulai dari transparansi proses pembuatan kebijakan, kejelasan sumber pendanaan, sampai pengidentifikasian dampak dari berbagai keputusan di level nasional-daerah bagi masyarakat, khususnya komunitas rentan.
“Jangan sampai kebijakan-kebijakan tersebut tetap akan lari ke segelintir masyarakat atau hanya menguntungkan kelompok tertentu,” kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, yang juga Koordinator Koalisi Keadilan Iklim, dalam konferensi pers secara daring, Senin (5/12/2022).
Sesuai dengan prinsip keadilan iklim, Torry melanjutkan, pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim perlu dirancang dan diimplementasikan dengan mengedepankan upaya untuk memperkecil ketimpangan, mensinergikan adaptasi dan mitigasi serta memberikan manfaat bagi kelompok miskin dan rentan.
“Semua skema yang digagas harus memastikan bahwa kelompok paling terdampak atau menderita harus mendapat manfaat yang paling besar. Apalagi dari segi kebijakan, baik JETP dan aliansi tiga negara, baru akan disusun turunan dan detail kebijakannya,” urai Torry.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menganggap keinginan Aliansi Indonesia, Brasil, dan RDK, untuk mengangkat peran penting negara hutan tropis dalam perhelatan perubahan iklim internasional merupakan hal yang baik. Namun Nadia mengingatkan, apabila aliansi itu benar terbentuk, maka upaya dan hasil dari Aliansi tersebut harus memberi manfaat nyata dan berkeadilan bagi masyarakat penjaga dan pengelola hutan tropis Indonesia.
Untuk itu, lanjut Nadia, perlu ada peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas dalam menerapkan aksi-aksi iklim di sektor kehutanan dan lahan di dalam negeri yang antara lain terkait dengan Indonesia’s Forestry and Other-Land Use (FOLU) Net Sink 2030, serta pengurangan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi hutan plus (REDD+).
“Pentingnya memastikan transparansi dan akuntabilitas penerapan kebijakan FOLU Net Sink 2030, terutama terkait elemen pencegahan laju kehilangan hutan alam. Agar kebijakan ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan utamanya, Indonesia harus menjaga seluruh bentang hutan alam Indonesia tanpa terkecuali," kata Nadia.
Di samping itu, menurutnya, perlu memastikan peran dan kolaborasi multi-pihak dalam implementasi dan pemantauannya. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal juga harus menjadi yang utama dan diutamakan.
"Karena hampir seluruh strategi FOLU Net Sink 2030 membutuhkan kontribusi mereka. Dengan demikian keadilan iklim akan terpenuhi,” ujar Nadia.
Hal penting lainnya yang menjadi sorotan Koalisi Keadilan Iklim adalah fenomena memilukan, terkait maraknya pelanggaran HAM terhadap aktivis lingkungan hidup di dunia, termasuk Indonesia. Global Witness menyebut, pada 2020 lalu sebanyak 227 orang di dunia meninggal karena dibunuh demi memperjuangkan lingkungan hidup, baik hutan, pesisir, maupun pulau-pulau kecil.
Catatan WALHI sebanyak 53 aktivis lingkungan yang dikriminalisasi di Indonesia pada tahun 2021, 10 di antaranya karena menolak Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara.
"Fakta ini sangat memalukan. Di tengah buruknya dampak krisis iklim yang semakin parah, masyarakat yang menjaga alam dari kehancuran justru menghadapi ancaman. Tidak ada keadilan iklim, tanpa perlindungan Hak Asasi Manusia,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi.
Loss and Damage & JETP Mesti Dicermati
Dua skema bantuan dana terkait mitigasi perubahan iklim yang disepakati di KTT G20 dan COP27, JETP dan Loss and Damage, menjadi sorotan belakangan ini. Pada dasarnya, kedua skema tersebut bertujuan membantu pendanaan negara berkembang dalam transisi energi dan mengatasi kerusakan dan kerugian akibat dampak perubahan iklim yang tidak terelakkan.
Parid, yang menghadiri COP27 di Sharm el Sheikh, Mesir, menyatakan bahwa Indonesia harus mendorong dan terlibat penuh dalam pembahasan mekanisme penyaluran dana Loss and Damage dari negara-negara yang “berdosa secara ekologis”, khususnya negara yang pernah masuk sebagai Annex 1 dari Protokol Kyoto, sebagai prioritas dalam COP28 di Uni Emirat Arab tahun depan. Parid mengingatkan penting untuk melihat dinamika politik global negara-negara Utara ke negara-negara Selatan.
“Perlu dicermati risiko negara-negara Utara untuk bermain politik dalam menunda pelaksanaan pendanaan Loss and Damage ini di COP28 nanti. Pendanaan iklim di bawah Copenhagen Accord sebesar 100 miliar dolar AS yang hingga saat ini belum tercapai, harus dijadikan pengingat,” terang Farid.
JETP adalah proyek transisi energi hasil kesepakatan antara Indonesia dengan International Partners Group (IPG) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang. Dalam tiga hingga lima tahun mendatang, Indonesia akan mendapat dana USD20 miliar untuk pemanfaatan energi terbarukan.
“Siapa penerima manfaatnya, apakah secara jelas menargetkan mereka yang masih sulit akses ke energi, termasuk ketenagalistrikan di daerah pedesaan dan terpencil, dan apakah menyasar solusi palsu atau semu,” kata Abimanyu S. Aji Darsoyo, Climate Finance Programme-Manager Kemitraan.
JETP, imbuh Abimanyu, harus benar-benar merefleksikan transisi energi berkeadilan, inklusif, dan menjalankan model bisnis yang mengutamakan aspek sosial-ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya mengupayakan sumber energi yang sifatnya lokal, terbarukan, serta mudah diakses oleh kelompok masyarakat di sekitarnya, terutama di area area yang belum dapat terjangkau sumber listrik on-grid milik PLN.
Oleh karenanya, butuh dialog sosial, partisipasi aktif dan bermakna bagi masyarakat, termasuk pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam membangun mekanisme penyaluran pendanaan yang tepat sasaran dan di bangun secara bottom-up.
Secara khusus, Koalisi Keadilan Iklim juga mencatat bahwa isu perluasan ruang kebebasan dan partisipasi masyarakat sipil juga tidak masuk dalam deklarasi bersama para pemimpin G20. Pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal juga luput disepakati dalam deklarasi tersebut, meskipun sempat tercantum dalam Chair’s Summary para menteri energi dan iklim G20.
“Krisis iklim, tidak bisa diatasi hanya oleh keputusan-keputusan sepihak, IPCC sudah menjelaskan pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam mengatasi krisis iklim. Kegagalan membangun tata kelola lingkungan hidup secara terbuka dan partisipatif berpotensi pada gagalnya penyelamatan manusia dan planet bumi,” kata Torry.
Sebagai contoh, suara masyarakat lokal dan masyarakat adat sangat penting diikutsertakan dalam berbagai produk kebijakan nasional, seperti pembentukan undang-undang, penyusunan rencana hingga program pembangunan. Sebab, mereka adalah garda terdepan dalam menjaga hutan dan lingkungan, serta yang terdepan pula dalam hal merasakan dampak krisis iklim.