Walhi: UU KUHP Wujud Kemunduran Demokratisasi SDA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Jumat, 09 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Meski mendapat penolakan yang kuat dari masyarakat sipil, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap saja disahkan menjadi undang-undang (UU), dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (6/12/2022). UU KUHP ini dinilai sebagai wujud pembangkangan konstitusi dan kemunduran demokratisasi sumber daya alam (SDA).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap, pengesahan UU KUHP baru ini oleh DPR RI menunjukkan bahwa lembaga negara tersebut anti-kritik. Secara substansi, aksi penolakan yang digelar Walhi bersama masyarakat sipil jelas menyatakan adanya penolakan terhadap pengesahan RKUHP, sebab rancangan UU baru ini memuat pasal-pasal bermasalah.

Walhi menilai sejumlah pasal bermasalah dalam RKUHP di antaranya adalah pasal tentang living law, hukuman mati, penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court), penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.

“Pasal-pasal tersebut berpotensi semakin mempersempit ruang demokrasi di Indonesia dan memperbanyak kriminalisasi rakyat. Saat ini saja, Walhi mencatat di tahun 2021 ada 53 kasus kriminalisasi, dan jumlah ini diyakini akan bertambah dengan kehadiran UU KUHP,” kata Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif, Eksekutif Nasional Walhi, dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (6/12/2022).

Aksi tabur bunga penolakan pengesahan RKUHP di depan Gedung DPR RI, Senin (5/12/2022)./Foto: Aliansi Nasional Reformasi KUHP

Puspa mengungkapkan, RKUHP masih menjadi cerminan bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Cerminan ini terlihat dari pasal-pasal bermasalah yang juga memasuki pemidanaan ruang privat masyarakat.

Sedang di sisi lain memberi keringanan bagi koruptor, yang artinya melanggengkan korupsi di Indonesia. Begitu pun pasal tindak pidana korporasi pada muatan Pasal 46, 47, dan 48 yang mempersulit pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kejahatan karena bergantung pada kesalahan pengurus.

"Aturan-aturan di RKUHP itu cenderung tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melakukan kejahatan,’’ katanya.

UU KUHP yang masih memuat pasal-pasal anti demokrasi dan menguntungkan bagi korporasi, termasuk korporasi penjahat lingkungan. Hal tersebut secara jelas telah bertentangan dengan mandat konstitusi RI. RKUHP yang tidak mencerminkan kepentingan rakyat membawa Indonesia pada titik kritis, terutama titik pada penghancuran demokratisasi sumber daya alam, merampas wilayah kelola rakyat dan lebih jauh dari cita-cita keadilan ekologis.

Untuk itu, Walhi menyatakan keprihatinan dan duka cita mendalam atas kemunduran demokrasi di Indonesia dan menjadikan Indonesia jauh dari pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana yang dicita-citakan pada Konstitusi RI. UU KHUP ini kembali menegaskan bahwa pemerintah kembali melakukan pembangkangan atas konstitusi RI dan memperburuk demokrasi sumber daya alam di Indonesia.

Terpisah, dalam pernyataan resminya, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengakui perjalanan penyusunan RUU KUHP tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial, di antaranya pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Namun, Yasonna meyakinkan masyarakat bahwa pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang secara mendalam.

Yasonna menilai pasal-pasal yang dianggap kontroversial bisa memicu ketidakpuasan golongan-golongan masyarakat tertentu. Yasonna mengimbau pihak-pihak yang tidak setuju atau protes terhadap RUU KUHP dapat menyampaikannya melalui mekanisme yang benar. Masyarakat diperbolehkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“RUU KUHP tidak mungkin disetujui 100 persen. Kalau masih ada yang tidak setuju, dipersilakan melayangkan gugatan ke MK,” katanya.