Pembungkaman Demonstrasi dengan Kekerasan Marak di Indonesia

Penulis : Kennial Laia

HAM

Senin, 12 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Laporan global terbaru menyatakan Indonesia masih melakukan kriminalisasi dan penggunaan kekerasan berlebihan dalam menangani protes. Temuan tersebut kontras dengan sistem demokrasi yang berlaku di tanah air. 

CIVICUS Monitor, sebuah platform penelitian online yang melacak kebebasan mendasar di 197 negara dan wilayah oleh aliansi masyarakat sipil global, Indonesia juga harus menghilangkan pasal-pasal bermasalah di dalam rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Rancangan tersebut, yang telah disahkan pada Selasa (6/12), dianggap dapat memperburuk pemenuhan hak masyarakat untuk berunjuk rasa. 

“[Kami] juga menghimbau pemerintah Indonesia untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa, terutama di Papua,” tulis aliansi dalam keterangan tertulis, Kamis (8/12). 

Pemantauan yang dilakukan oleh CIVICUS Monitor sepanjang tahun 2022 menunjukkan tindak kekerasan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap pengunjuk rasa dari Papua. Protes memperjuangkan pengentasan diskriminasi dan eksploitasi di wilayah tersebut. 

Sejumlah masyarakat sipil dari berbagai organisasi dan kalangan melakukan aksi tabur bunga menolak pengesahan RKUHP. sebagai simbolisme kematian demokrasi di Indonesia./Foto: Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Pada bulan Maret 2022, polisi menangkap setidaknya 90 pelajar dari Papua dalam sebuah aksi protes yang diadakan di dekat komplek Istana Negara. Demonstrasi tersebut dilakukan untuk menolak pemekaran provinsi di wilayah Papua. Berdasarkan laporan yang diterima, lima pengunjuk rasa mengalami luka-luka selama penahanan.  

Pada bulan yang sama, aparat keamanan membunuh dua orang dan melukai sejumlah orang lainnya pada saat mereka mengarahkan tembakan pada ratusan pengunjuk rasa di kabupaten Yahukimo yang menentang pembuatan provinsi baru, terang CIVICUS Monitor.  

Pada bulan Mei 2022, aparat keamanan menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa di Waena, luar Jayapura. Grup hak asasi manusia melaporkan bahwa satu orang ditembak menggunakan peluru karet oleh aparat kepolisian. Pada bulan Juni 2022, unjuk rasa damai di Papua sekali lagi dihadapkan dengan halangan dan kekerasan berlebihan dari aparat kepolisian Indonesia. Sedikitnya 44 pengunjuk rasa ditahan dan 25 terluka setelah polisi membubarkan secara paksa pengunjuk rasa di 4 kota. 

Pada bulan September 2022, ribuan pengunjuk rasa berdemonstrasi di kota-kota besar di Indonesia untuk menekan pemerintah agar tidak menaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi setelah 8 tahun dikarenakan inflasi. Di Bengkulu, polisi menggunakan water cannon dan gas air mata terhadap pelajar, dan setidaknya 8 orang ditahan. Penggunaan water cannon dan gas air mata juga dilakukan di Palembang, Sumatra Selatan, Pematang Siantar, Sumatra Utara, dan Bima, Nusa Tenggara Barat, untuk membubarkan pengunjuk rasa. 

Masyarakat sipil di Indonesia juga kecewa terhadap revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan, terutama terkait dengan Pasal 256 yang mengkriminalisasi pengunjuk rasa yang tidak memiliki surat pemberitahuan. 

Mereka yang dinyatakan bersalah akan dihukum maksimal penjara selama 6 bulan atau membayar denda. Dalam hukum internasional, unjuk rasa secara spontan untuk menanggapi isu atau perkembangan secara tiba-tiba tidak seharusnya dikriminalisasi. 

Pembungkaman di berbagai negara

Di seluruh kawasan Asia Pasifik, dari Afghanistan hingga Fiji, hak untuk berunjuk rasa terus menghadapi pembatasan dan serangan. Penilaian CIVICUS Monitor, menunjukkan bahwa pengunjuk rasa di wilayah tersebut menghadapi tantangan sebelum, selama, dan setelah protes. 

Di Cina, Vietnam, dan Laos, di mana ruang sipil dinilai 'tertutup', kebebasan berkumpul secara damai dibatasi secara ketat dalam hukum dan praktik. Di Sri Lanka, pemerintah berulang kali menggunakan peraturan keadaan darurat untuk membatasi protes massal terkait krisis ekonomi.

Sementara itu di Afghanistan, setelah pengambilalihan oleh Taliban, Taliban mengumumkan larangan semua protes di Kabul dan provinsi lain tanpa izin sebelumnya. Keputusan darurat untuk menangani pandemi COVID-19 terus digunakan di Thailand hingga akhir September 2022 untuk melarang protes. 

Terdapat kekhawatiran serupa di Pasifik, meskipun ruang sipil relatif terbuka. Di Australia, pada tahun 2022, tiga negara bagian mengesahkan undang-undang anti-protes yang menerapkan hukuman keras untuk protes tanpa kekerasan, terutama yang ditujukan untuk pengunjuk rasa iklim.

Di seluruh wilayah, protes didokumentasikan di setidaknya 27 negara selama setahun terakhir dengan penahanan dilaporkan di 20 negara. Di Sri Lanka, aparat keamanan menangkap dan menahan tersangka tanpa surat perintah penahanan dan tanpa proses yang wajar.

“Di banyak negara di kawasan Asia Pasifik, negara menggunakan peraturan darurat, undang-undang anti-protes, dan bahkan tindakan COVID-19 untuk memblokir atau mengganggu protes serta menangkap dan menahan pengunjuk rasa yang menuntut reformasi politik dan ekonomi, diakhirinya diskriminasi, keadilan iklim, atau hak pekerja,” kata Josef Benedict, Peneliti Kebebasan Ruang Sipil di CIVICUS Monitor.

“Tindakan ini bertentangan dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional dan menciptakan lingkungan yang mengerikan bagi mereka yang berbicara dan memobilisasi,” tambahnya. 

Protes dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat 

Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan didokumentasikan setidaknya di 14 negara di kawasan Asia Pasifik sepanjang tahun ini. Di Myanmar, junta melanjutkan penumpasan kekerasan terhadap protes anti-kudeta pada tahun 2022 menggunakan senjata mematikan.  

Sementara di Afghanistan, Taliban menanggapi protes oleh aktivis perempuan dengan menodongkan senjata api ke arah mereka atau menembak ke udara serta memukuli, mengancam, dan menghina para pengunjuk rasa. Di Sri Lanka, polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan dan tanpa provokasi, termasuk gas air mata, meriam air, dan peluru karet terhadap pengunjuk rasa damai, penonton, dan jurnalis.

Pembunuhan pengunjuk rasa oleh pasukan keamanan didokumentasikan di setidaknya empat negara pada tahun lalu, terutama di Myanmar, di mana lebih dari seribu orang telah dibunuh oleh junta. Hal serupa terjadi di negara lain, termasuk Nepal, Sri Lanka, dan Indonesia. 

CIVICUS Monitor mencatat, pengunjuk rasa terus menjadi sasaran bahkan setelah protes selesai. Berbagai ketertiban umum, keamanan nasional, dan undang-undang lainnya digunakan untuk mengkriminalisasi pengunjuk rasa. 

Di Myanmar, ribuan pengunjuk rasa anti-kudeta menderita dalam penahanan atas tuduhan palsu 'hasutan' atau 'pengkhianatan' setelah menghadapi pengadilan militer rahasia, serta ratusan orang disiksa atau diperlakukan dengan buruk dengan impunitas. 

Di India, pengunjuk rasa dari kalangan pelajar tetap ditahan tanpa jaminan di bawah Unlawful Activities (Prevention) Act (UAPA), undang-undang anti-terorisme, atas keterlibatan mereka dalam demonstrasi menentang Citizenship Amendment Act (CAA). Sementara di Hong Kong, banyak aktivis telah dipenjara karena protes di bawah Public Order Ordinance yang membawa hukuman maksimal lima tahun.  

“Puluhan pengunjuk rasa di wilayah Asia telah dipenjara atas tuduhan palsu atau tetap dalam penahanan pra-sidang untuk waktu yang lama dan jaminan ditolak. Beberapa telah disiksa dan dianiaya. Ada juga kurangnya pertanggungjawaban atas cedera dan pembunuhan pengunjuk rasa yang menyoroti iklim impunitas di wilayah tersebut,” ujar Benedict. 

Data CIVICUS Monitor menunjukkan bahwa pembatasan kebebasan berkumpul secara damai telah terjadi di setidaknya 100 negara sejak Oktober 2021-September 2022. Penahanan pengunjuk rasa adalah pelanggaran yang paling umum, di mana terjadi penahanan di 92 negara. 

Kekuatan yang berlebihan juga menjadi tema berulang dari protes tahun ini. Demonstran dihadang dengan meriam air, pentungan, gas air mata, dan tindakan kekerasan lainnya di lebih dari 40 persen negara yang merekam protes. Yang paling meresahkan adalah pembunuhan di luar hukum terhadap pengunjuk rasa, yang terjadi di setidaknya 24 negara.

Lebih dari dua puluh organisasi berkolaborasi dalam CIVICUS Monitor. Koalisi penelitian ini melacak total 33 batasan berbeda terkait dengan kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul secara damai. Data tersebut juga memberikan dasar untuk peringkat ruang sipil nasional, negara dapat dikategorikan sebagai tertutup, tertekan, terhalang, menyempit atau terbuka.