Studi: Kenaikan Suhu Timbulkan Bahaya pada Janin
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Senin, 12 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Naiknya suhu yang didorong oleh kerusakan iklim menyebabkan bahaya bagi janin petani perempuan. Mereka adalah salah satu yang terkena dampak paling parah pemanasan global.
Sebuah studi mengungkapkan bahwa janin wanita yang bekerja di ladang di Gambia menunjukkan peningkatan detak jantung dan penurunan aliran darah ke plasenta karena kondisi menjadi lebih panas. Para wanita, yang banyak melakukan pekerjaan pertanian dan bekerja selama kehamilan, mengatakan kepada para ilmuwan bahwa suhu telah meningkat secara nyata dalam dekade terakhir.
Sudah ada bukti kuat bahwa panas ekstrem menyebabkan peningkatan kelahiran mati, kelahiran prematur, dan berat badan lahir rendah. Tetapi data ini berasal dari negara kaya dan beriklim sedang. Studi baru tersebut untuk pertama kalinya berfokus pada petani subsisten di negara tropis, di mana peningkatan panas ekstrem menjadi perhatian serius.
Di seluruh dunia, ratusan juta orang, termasuk ibu, diperkirakan akan terpapar panas ekstrem. Kondisi ini terjadi bahkan jika suhu global dijaga di bawah batas yang disepakati secara internasional yaitu 1.5C di atas tingkat pra-industri.
Penelitian ini adalah langkah pertama untuk memahami mengapa janin menderita saat ibu hamil stres akibat panas. Kemungkinan penyebabnya termasuk berkeringat yang menyebabkan dehidrasi dan pengalihan darah dan oksigen dari plasenta ke kulit ibu untuk mendinginkan tubuh. Para ilmuwan bertujuan untuk memberikan bukti langkah-langkah untuk melindungi ibu hamil dan janin, seperti menanam pohon untuk menaungi wanita serta tanaman.
Dr Ana Bonell dari Medical Research Council Unit di Gambia dan London School of Hygiene & Tropical Medicine, yang memimpin penelitian tersebut, mengatakan pihaknya menemukan petani subsisten yang hamil biasanya mengalami tingkat panas ekstrem di atas batas kerja luar ruangan yang direkomendasikan.
“Hal ini dapat memiliki efek signifikan pada kesehatan mereka dan kesehatan bayi mereka,” kata Bonell, dikutip Guardian, Kamis (8/12).
“Hal yang sangat mengejutkan yang kami temukan adalah bahwa dalam 34% kunjungan [ke ladang], dampak semacam ini terjadi pada janin,” tambah Bonell.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Planetary Health ini melibatkan 92 petani subsisten yang sedang hamil di pedesaan Gambia. Selama masa studi tujuh bulan, suhu udara rata-rata selama jam kerja adalah 33,5C (92,3F).
Para ilmuwan juga mengukur kelembapan, suhu tubuh perempuan, dan detak jantung ibu hamil dan janin. Para peneliti menemukan bahwa ketika suhu tubuh dan detak jantung ibu naik satu kategori dalam indeks regangan panas, risiko gawat janin meningkat sebesar 20%. Gawat janin ditunjukkan dengan detak jantung lebih dari 160 denyut per menit, atau berkurangnya aliran darah ke plasenta, yang diukur dengan pemindaian ultrasonografi.
Tim peneliti juga menemukan bahwa ketika ukuran stres akibat panas naik 1 derajat Celcius, risiko gangguan janin meningkat sebesar 17%. Angka ini naik 12% bahkan ketika peningkatan suhu dan detak jantung wanita diperhitungkan, menunjukkan faktor lain yang mempengaruhi janin. Ini mungkin termasuk dehidrasi, aliran darah plasenta rendah atau peradangan terkait panas.
Penyakit panas umum ditemukan di antara pekerja wanita, dengan hampir 60% melaporkan setidaknya satu gejala selama penilaian lapangan. Gejalanya meliputi sakit kepala, pusing, lemas, kram otot, muntah, dan, mulut kering.
Untuk mengatasi masalah tekanan panas yang semakin meningkat, Bonell berkata: "Pertama, saya hanya akan merekomendasikan untuk menghentikan pembakaran bahan bakar fosil - itulah gambaran besarnya."
Langkah-langkah individu dapat mencakup pendinginan dengan kompres es, beristirahat di tempat teduh dan memastikan wanita dapat menghentikan pekerjaan mereka saat gejala muncul. Tindakan tingkat masyarakat dapat mencakup skema dukungan keuangan untuk memungkinkan perempuan melakukan lebih sedikit pekerjaan saat hamil dan agroforestri, jelas Bonell.