Gembuk Minta Tambang Ilegal di HST Ditindak

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 12 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sekelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Provinsi Kalimantan Selatan, datang ke Jakarta demi meminta pemerintah untuk menindak aktivitas tambang ilegal di HST. Bukan dengan tangan kosong, Gembuk bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) datang ke Jakarta bermodal bukti adanya aktivitas tambang ilegal beserta dokumen pendukung lainnya.

Selain mendatangi sejumlah kementerian dan lembaga, Gembuk yang didampingi Walhi juga mengadukan aktivitas tambang ilegal di daerahnya itu ke Bareskrim Polri. Itu dilakukan lantaran adanya dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum--kepolisian dan militer--di Kabupaten HST.

Pengaduan tambang ilegal ini merupakan tindak lanjut dari aksi damai Aliansi Selamatkan Meratus yang dikoordinatori Gembuk pada 25 Oktober 2022 lalu, di depan gedung DPRD Kabupaten HST. Pada aksi damai tersebut hadir juga Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten HST.

Plt. Sekretaris Gembuk M. Riza Rudy N menyebut, setelah aksi, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) HST diminta oleh massa aksi untuk menandatangani dokumen kesepakatan bersama, tentang penolakan aktivitas tambang yang ilegal maupun legal dan juga menolak perkebunan monokultur sawit di HST.

Areal tambang ilegal di wilayah Hutan Meratus, Kecamatna Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan./Foto: TVRI News

"Pasca-aksi tersebut, Gembuk juga telah mengajukan laporan ke Polres HST yang ditembuskan juga ke Polda Kalsel. Namun, hingga saat ini belum ada upaya hukum maksimal seperti perkembangan laporan atau penetapan tersangka pelaku Peti (penambangan tanpa izin) tersebut," kata Rudy, dalam pernyataan tertulis, Kamis (8/12/2022).

Merasa pengaduan di daerah diabaikan, Gembuk kemudian membawa kasus tambang ilegal HST ini ke Jakarta. Ada beberapa tuntutan dalam pengaduan ini, pertama meminta pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak tambang ilegal yang semakin marak di Kabupaten HST, yang diduga melibatkan oknum aparat militer dan Polri.

Kedua, mencabut Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Antang Gunung Meratus (PT AGM) terutama blok konsesi yang berada di HST. Ketiga, Pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak mafia dan cukong illegal logging yang diduga juga melibatkan oknum militer dan aparat kepolisian.

Keempat, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat menghentikan perizinan baru terkait industri ekstraktif tambang batu bara atau perkebunan sawit skala besar baik di HST dan di Kalsel.

Secara faktual, dari 13 kabupaten/kota di Kalsel, HST merupakan kabupaten yang secara tegas menolak eksploitasi industri ekstraktif skala besar seperti tambang batu bara dan sawit. Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Hulu Sungai Tengah Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun 2005-2025.

Dalam Perda Kabupaten Hulu Sungai Tengah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun 2021-2026 juga ditegaskan hal yang sama terkait pembangunan yang berkelanjutan.

Staf Advokasi dan Kampanye Walhi Kalsel M Jefry Raharja mengatakan, dari 9 Kabupaten di Kalsel yang mencakup wilayah Pegunungan Meratus, HST merupakan satu-satunya yang belum dieksploitasi masif oleh industri ekstraktif. Oleh itu, penting menjaga Meratus tetap lestari.

"Semangat itu harusnya dipraktikkan oleh Pemerintah melalui pencabutan PKP2B yang masih ada di HST seperti PKP2B PT AGM yang memiliki luasan sekitar 20.666 hektare di Kalsel,” katanya.

Konsesi PT AGM ini tersebar di antaranya di Kabupaten Banjar sekitar 2.720 hektare, Kabupaten Tapin sekitar 4.755 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekitar 11.595 hektare dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekitar 3.363 hektare.

Selain itu ancaman bencana ekologis dapat direfleksikan dari kejadian banjir besar pada awal 2021 yang menimbulkan kerugian materiil maupun non materiil. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, di Provinsi Kalimantan Selatan, tercatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir dan 39.549 warga mengungsi.

Terdapat juga korban meninggal dunia total sebanyak 15 orang dengan rincian, Kabupaten Tanah Laut 7 orang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 3 orang, Kota Banjar Baru 1 orang, Kabupaten Tapin 1 orang, dan Kabupaten Banjar 3 orang.

Adapun Nilai kerugian akibat bencana banjir yang melanda di wilayah Kalimantan Selatan sekitar Rp1,349 triliun menurut perkiraan Tim Reaksi Cepat Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Estimasi dampak kerugian per 22 Januari 2021 dari sektor pendidikan, kesehatan dan sosial, pertanian, perikanan, infrastruktur, dan produktivitas ekonomi masyarakat sekitar Rp1,349 triliun.

Dalam hal mitigasi bencana maupun adaptasi krisis iklim, Presiden Joko Widodo juga terlibat dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2015. Keterlibatan tersebut bahkan dibuktikan dengan meratifikasi perjanjian tersebut hingga menerbitkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris.

Namun, komitmen itu belum sejalan dengan investasi yang masih mengandalkan industri ekstraktif seperti diperpanjangnya PKP2B PT Arutmin dan PT Adaro menjadi IUPK pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eksekutif Nasional Walhi, Fanny Tri Jambore mengungkapkan, ada beberapa hal yang membuat situasi yang dialami warga HST terjadi pada hampir semua daerah di Indonesia. Salah satunya sistem yang bobrok dan budaya hukum yang masih belum jelas dan tegas.

“Kebijakan pemerintah daerah yang baik bisa saja tumpang tindih atau diabaikan, bahkan cenderung ditabrak oleh kebijakan pusat. Kita mesti melakukan desentralisasi kembali untuk terimplementasinya kebijakan yang diinginkan masyarakat di daerah dan sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya,” kata Rere, panggilan akrab Tri Jambore.