Duit BRI di Korporasi Perisiko Ekosistem Gambut
Penulis : Aryo Bhawono
Gambut
Kamis, 15 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pantau Gambut dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) menerbitkan laporan hasil riset bersama terkait investasi yang diberikan Bank Rakyat Indonesia (BRI) kepada 15 grup perusahaan sawit, bubur kertas, dan kertas. Sepanjang 2016-2021, BRI menyalurkan total sekitar Rp 65 triliun (4,21 miliar dolar AS) pembiayaan yang berisiko terhadap kerusakan ekosistem gambut, terutama dalam hal deforestasi dan kegiatan yang menyebabkan keringnya lahan gambut.
Perusahaan tersebut antara lain Sinar Mas Group, Royal Golden Eagle, Sampoerna Group, Triputra Agro Persada Group, Wilmar Group, dan Bakrie Group.
Aliran pendanaan BRI pada korporasi berisiko eekosistem gambut pada 2016-20121. Sumber data: Forest
Penelusuran Pantau Gambut melalui penilaian kriteria Environment, Social, and Governance (ESG) dan investigasi lapangan oleh Simpul Jaringan (SJ) Pantau Gambut, menemukan enam perusahaan yang mendapatkan pendanaan dari BRI terbukti melakukan pelanggaran komitmen perlindungan gambut.
Pelanggaran komitmen perlindungan gambut yang ditemukan sebagian besar meliputi pemanfaatan area lindung gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter untuk tanaman ekstraktif, tidak adanya upaya pemulihan gambut pasca terbakar, dan pemanfaatan area bekas terbakar untuk tanaman ekstraktif.
Skor pendanaan BRI berdasar penilaian Environment, Social, and Governance (ESG). Sumber data: Forest
Peneliti Pantau Gambut, Agiel Prakoso menyebutkan BRI dan perusahaan yang didanainya mengklaim bahwa operasi perusahaan mereka berkelanjutan.
“Dari laporan berkelanjutan yang diberikan BRI dan grup perusahaan sawit, bubur kertas, dan kertas yang sudah disebut, ternyata sangat berbeda dengan klaim ramah lingkungan yang mereka sampaikan,” ucapnya.
Pantau Gambut pun meminta BRI untuk memperkuat kebijakan pengaman ESG dengan mempertimbangkan peraturan pemerintah yang terkait perlindungan gambut, menyusun kebijakan ESG pada komoditas yang berisiko terhadap lingkungan, meningkatkan protokol verifikasi laporan berkelanjutan, meningkatkan prosedur keterbukaan informasi dan pengaduan, serta menghentikan pembiayaan apabila ditemukan pelanggaran lingkungan
Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, menyebutkan ketidakpatuhan debitur BRI terhadap kebijakan-kebijakan yang melindungi gambut harus disikapi dengan tegas oleh BRI. Kebijakan pemberian kredit yang ketat terhadap industri yang berisiko pada kerusakan lingkungan, kata dia, harus diimplementasikan dan dievaluasi dengan sungguh-sungguh.
“Jangan sampai klaim komitmen terhadap prinsip ESG hanya sekedar “hiasan” pada laporan tahunan saja,” ujarnya.
Catatan Pantau Gambut berdasar data Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) menyebutkan wilayah berizin di atas lahan gambut Indonesia mencapai luasan 5,1 juta hektare. Luasan tersebut, paling besar terdiri dari izin Hak Guna Usaha (HGU) dan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT).
Analisa desktop menunjukkan area gambut terbakar hampir seluas 1,5 juta hektar selama periode 2015-2019 dan hampir 70 persennya merupakan area konsesi.
Sedangkan observasi lapangan oleh Pantau Gambut pada 1.222 titik sampel observasi pada 2020, tersebar di 43 konsesi perusahaan di 7 provinsi. Pemantauan dilakukan secara partisipatif dengan Simpul Jaringan Pantau Gambut.