Ironi Warga Porong dan Sesumbar Harta Terpendam di Lumpur Lapindo
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Kamis, 22 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pemerintah menyebutkan kandungan litium dan stronsium menjadi harta karun terpendam di lumpur lapindo. Namun Walhi mengingatkan pemulihan lingkungan harus menjadi perhatian dan dituntaskan di wilayah bencana di Porong, Sidoarjo.
Badan Geologi Kementerian ESDM menyebutkan kandungan Lithium di Lumpur Lapindo, Sidoarjo itu kadarnya mencapai 99 - 280 PPM sementara untuk Stronsium kadarnya mencapai 255 - 650 PPM. Lithium berfungsi menjadi pelengkap bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik. Sementara Stronsium bisa digunakan sebagai bahan baku industri elektronik.
"Nah ini terus kami update datanya karena untuk tahun 2022 masih dalam analisis di laboratorium kami," ungkap Kepala Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP) Badan Geologi Kementerian ESDM, Hariyanto seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Badan Geologi sudah melakukan penyelidikan pendahuluan pada tahun 2020 di daerah bagian selatan Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur. Tahun 2022 ini mereka menindaklanjuti penyelidikan pendahuluan di sisi utara Lumpur Lapindo, Sidoarjo. Pengujian ekstraksi oleh mitra di Kementerian ESDM tepatnya di balai besar pengujian mineral dan batu bara atau TEKMIRA.
Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengingatkan bahwa kawasan lumpur Lapindo merupakan wilayah bencana. Pemerintah seharusnya bukan memprioritaskan penelitiannya untuk pemulihan lingkungan, bukan soal kandungan untuk kepentingan ekstraksi tambang.
“Seharusnya ini lumpur lapindo itu dianggap sebagai bencana industri. Sampai sekarang wilayah itu menjadi wilayah bencana yang seharusnya dipulihkan, bukan kemudian dilakukan eksploitasi lanjutan,” ucap Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur Wahyu Eka.
Walhi mencatat Lumpur Lapindo menyebabkan derita berkepanjangan bagi warga. Lahan pertanian, sumur-sumur air, udara, air sungai, ekosistem laut, tercemar berat dan berimplikasi pada kehidupan ekonomi, sosial, dan kesehatan warga.
Air sumur yang sebelumnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari kini tidak lagi dapat digunakan karena berbau karat, berwarna keruh coklat-kekuningan, dan asin. Warga terpaksa warga terpaksa membeli air bersih dalam kemasan jerigen, dengan harga Rp2.500 per 25 liter.
Data puskesmas Porong, Tanggulangin, dan Jabon menunjukkan jumlah pasien penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Di Porong terdapat 3.144 pasien, di Jabon sebanyak 3.623, dan di Tanggulangin selama 2020, jumlahnya mencapai 28.713 pasien.
Warga juga mengaku jika semakin banyak anak yang terdeteksi mengalami gangguan pertumbuhan (stunting). Warga menduga gangguan itu ada kaitannya dengan kondisi lingkungan, khususnya udara dan air yang kian memburuk.
Selama ini pun warga merasa pemerintah tak memberikan perhatian terhadap nasib mereka
Semburan lumpur sejak 2006 lalu itu, juga telah menyebabkan pencemaran logam berat seperti timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan Selenium (Se) pada lahan-lahan pertanian maupun tambak ikan sekitar lumpur Lapindo. Kandungan logam berat pada lahan pertanian telah melebihi baku mutu nilai ambang batas, yakni, Pb 0.157–7.156 ppm, Cd 0.024–2.360 ppm, Se 0.081–7.841 ppm.
Kandungan logam berat hasil pertanian juga di atas baku mutu ambang batas (Pb 0,305–1,611 ppm, Cd 0,034–0,086 ppm, Se0,066–1,086 ppm). Kandungan logam berat itu menyebabkan produk pertanian tidak aman dikonsumsi dan produktivitasnya menurun.
Tak hanya itu, perairan Selat Madura juga terindikasi mengalami pencemaran lumpur yang mengalir ke Kali Porong. Kandungan logam berat yang terkandung dalam lumpur ikut terbawa arus dan menyebar ke muara sungai di sisi timur yang terhubung dengan Selat Madura. Hasil perikanan pun tak laik konsumsi karena kandungan logam cukup tinggi, seperti kadmium, timbal dan selenium.
Tragedi Lapindo yang sejak awal kemunculan menyemburkan 180.000 meter kubik lumpur itu, juga menyumbang emisi gas metan terbesar di muka bumi. Penelitian dari Adriano Mazzini dkk., menyebutkan, lumpur Lapindo menyebabkan emisi gas metan terbesar yang pernah tercatat dari satu manifestasi gas alam. Hal itu dipengaruhi tekanan fluida dari batuan sedimen bersuhu tinggi sebagai konsekuensi keberadaan gunung api magmatik di sekitar.
Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2) dalam periode 100 tahun. Gas ini banyak terlepas ke atmosfer oleh sumber alami dan antropogenik.
Sekitar 30 persen metan dari fosil, seperti batu bara dan minyak bumi yang diperkirakan mencapai 100-145 juta ton per tahun. Emisi gas metan tinggi dari situs Lapindo dipastikan berdampak terhadap lapisan ozon di atmosfer, pada akhirnya memperparah krisis iklim.
“Aku melihatnya upaya mengubah bencana jadi berkah itu sejauh ini hanya jadi upaya menutupi proses kejahatan industri saja. Dan lagi-lagi keselamatan warga dan lingkungan dipunggungi oleh pemerintah,” keluh Wahyu.