Proyeksi IEA: Era Batu Bara akan Segera Berakhir

Penulis : Tim Betahita

Tambang

Kamis, 22 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  International Energy Agency (IEA) baru-baru ini merilis laporan Coal 2022 yang menyoroti tantangan global yang sangat kompleks dalam bertransisi dari energi batu bara ke energi bersih. Laporan ini juga menganalisis dampak strategi Indonesia sebagai produsen terbesar ketiga di dunia yang berencana terus memperluas produksi batu bara.

Pada tahun ini pula, berdasarkan temuan laporan itu, penggunaan batu bara meningkat. Tetapi penggunaan energi terbarukan mulai masif. Organisasi ini juga menyoroti lanskap energi global yang terus bergerak mendekati puncak penggunaan bahan bakar fosil dan ke depan sebagian besar pertumbuhan akan berasal dari energi terbarukan. Batu bara akan menjadi sumber energi yang pertama kali menurun.

“Masa puncak penggunaan batu bara diproyeksikan semakin dekat. Ini dipercepat oleh beberapa faktor pendorong seperti penguatan komitmen iklim, volatilitas harga batu bara, geopolitik, krisis rantai pasokan global, dan keterjangkauan energi terbarukan. Kondisi ini akan menurunkan permintaan batu bara pada masa depan secara drastis, termasuk di negara berkembang,” ujar Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia.

Menurutnya, temuan laporan ini seharusnya menjadi sinyal positif bagi pemerintah untuk segera serius mengambil langkah transisi energi dan menerapkan kebijakan-kebijakan strategis. Ironisnya, pada 2023 pemerintah Indonesia justru merencanakan peningkatan produksi batu bara tertinggi sepanjang sejarah dari semula 663 juta ton menjadi sebesar 694 juta ton.

Seorang anak muda memegang poster bertuliskan "Coal No Longer Cool" untuk memprotes Bank BNI yang membiayai perusahaan batu bara di Indonesia. Energi fosil, termasuk batu bara, termasuk penyumbang tingginya emisi gas rumah kaca, yang memicu pemanasan global. Dok 350 Indonesia

“Negara berkembang seperti Indonesia yang sampai saat ini masih bersikeras untuk meningkatkan kuota produksi batu bara harus bersiap dan mulai mengubah orientasinya. Tingkat produksi batubara harus dikurangi secara signifikan pada fase transisi energi dan penurunan permintaan global, agar target iklim global tercapai dan membuka lebih banyak peluang untuk pengembangan energi terbarukan dalam sistem pembangkitan listrik,” imbuhnya.

Ia pun menekankan, meski belakangan ini lanskap energi batu bara terlihat sedang dalam fase gemilang dan banyak meraup keuntungan 'windfall', kondisi ini tidak boleh membuat pemerintah berpuas diri. “Perlu disadari bahwa kondisi ini berpotensi menjadi masa-masa indah terakhir dan titik balik perpisahan dengan batu bara,” ucapnya.

Dave Jones, Kepala Wawasan Data EMBER mengemukakan, laporan IEA menunjukkan energi terbarukan akan menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun-tahun mendatang. “Energi terbarukan bekerja untuk iklim. Dan dengan harga batu bara yang masih mencapai rekor tertinggi, ini berarti energi terbarukan juga bekerja untuk para pembayar tagihan.”

Selain itu, hasil analisis laporan IEA menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir biaya energi terbarukan telah turun sebesar 99%. Itu sebabnya, Seb Kennedy, Kepala Wawasan Data di Transition Zero menilai energi terbarukan sangat relevan dalam memastikan aspek keamanan energi setiap negara.

“Meskipun terjadi sedikit inflasi pasca-Covid, kombinasi angin dan matahari dengan sistem penyimpanan energi masih menawarkan lindung nilai yang sangat baik terhadap volatilitas harga batu bara dan gas, sekaligus menyelaraskan dengan target iklim dan energi internasional, serta meningkatkan keamanan dan keterjangkauan energi,” tuturnya.

Alexandru Mustață, juru kampanye batu bara di Europe Beyond Coal pun menyoroti aspek keamanan dan keterjangkauan energi ini. Ia berpandangan, analisis IEA menggarisbawahi kebutuhan mendesak negara-negara untuk secara besar-besaran meningkatkan energi terbarukan dan efisiensi energi sehingga dapat memotong tagihan masyarakat, mengamankan pasokan energi, dan mempertahankan target iklim tetap utuh.

“Yang terpenting, tidak ada negara Eropa yang merevisi rencananya untuk menghentikan batu bara sepenuhnya pada 2030, dan Eropa masih berada di jalur yang tepat untuk bebas batu bara pada akhir dekade ini. Sekaranglah waktunya bagi pemerintah untuk secara ambisius berinvestasi dalam solusi hijau sehingga kita tidak mengambil risiko jatuh kembali pada bahan bakar fosil yang membuat kita semakin sakit, miskin, dan kurang aman,” ujar Alexandru.

Tidak hanya batu bara, energi fosil lainnya seperti gas juga menjadi sorotan. Pemimpin E3G, Pieter de Pous mengutarakan, ada dua pelajaran yang bisa diambil dari situasi pasar batu bara pada tahun ini, yakni ketergantungan yang berlebihan pada gas sebagai jembatan transisi energi dan kurangnya investasi energi terbarukan pada masa lalu justru mempersulit negara pecandu batu bara untuk berhenti menggunakannya.

“Permintaan batu bara yang kuat di negara-negara berkembang Asia yang dicatat dalam laporan tersebut memastikan bahwa batu bara tetap menjadi sumber emisi karbon global terbesar. Kita harus segera mengatasi ini agar memiliki kesempatan menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat,” tambah Camilla Fenning, Pemimpin Program E3G.