Perppu Cipta Kerja Jokowi Dianggap Melanggar Putusan MK

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Senin, 02 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyebutkan penerbitan Perppu mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlanggas seperti dikutip dari website Sekretariat Kabinet.

Pada sisi geopolitik, kata dia, dunia dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia dan konflik lainnya yang juga belum selesai. Pemerintah pun menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.

Menurutnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah terus berupaya untuk menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Keberadaan Perppu ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, keterangan pers penerbitan Perppu Cipta Kerja bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta pada Jumat (30/12/2022). sumber: Setkab

“Tahun depan karena kita sudah mengatur budget defisit kurang dari 3 persen dan ini mengandalkan kepada investasi. Jadi tahun depan investasi kita diminta ditargetkan Rp1.200 triliun. Oleh karena itu, ini menjadi penting, kepastian hukum untuk diadakan. Sehingga tentunya dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra, beranggapan alasan pemerintah terkait unsur kedaruratan terbitnya Perppu Cipta Kerja ini tak memenuhi syarat. Putusan inkonstitusional bersyarat atas UU Cipta Kerja sendiri diketok oleh majelis hakim konstitusi pada 25 November 2021. Mereka memberikan waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun.

“Perbaikan ini menyangkut proses pembuatan UU Cipta Kerja karena ini adalah permohonan uji formil,” ucap Roni.

Pemerintah dan DPR memiliki waktu kurang dari setahun ke depan untuk melakukan perbaikan ini. Waktu ini lebih dari cukup walaupun kondisi politik di 2023 sedikit memanas karena persiapan pemilu. 

Alasan kekosongan hukum menurutnya tak masuk akal karena masih bisa menggunakan UU yang lama. 

“Jadi ini hanya akal-akalan pemerintah saja supaya UU Cipta Kerja asal dijalankan. Nah, jika perbaikan proses pembentukan UU ini tidak diperbaiki, Perppu Cipta Kerja melanganggar konstitusi karena putusan MK bersifat konstitusional,” tegasnya. 

Senada dengan Roni, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) beranggapan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo. Alasan kekosongan tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional. 

Sedangkan alasan dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan perppu ini. 

“Penerbitan Perppu UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini jelas tampak dari pernyataan pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan PERPU ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan,” tulis YLBHI melalui pernyataan pers. 

Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. 

Dulu ketika publik melakukan penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang disahkan DPR, presiden masyarakat yang menolak melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perppu.

“Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” lanjut mereka.