Perppu Cipta Kerja Rangsang Pelepasan Hutan Riau untuk Sawit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Rabu, 11 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Gelombang kritik dan suara penolakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terus berdatangan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau menilai, selain mengabaikan aspek konstitusional, Perppu ini akan semakin merangsang kebijakan pemutihan perkebunan sawit yang terbangun secara ilegal di dalam kawasan hutan.

Seperti diketahui 30 Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu tentang Cipta Kerja. Dari pandangan Walhi Riau, penerbitan Perppu ini membuktikan Pemerintah abai pada aspek konsititusional perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucap dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 25 November 2021, yang pada amar tegas disebut undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Even Sembiring menuturkan, penerbitan Perppu ini tak hanya bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tersebut menegaskan kondisi ketiadaan partisipasi rakyat.

Konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT Bagas Indah (BIP), berdampingan dengan konsesi HTI milik Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) di blok Hulu Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Foto: Auriga Nusantara/Yudi Nofiandi

"Secara khusus untuk Riau, Perppu tersebut akan mengakselerasi stimulus kebijakan pemutihan perkebunan sawit milik perusahaan dan tuan tanah di kawasan hutan," katanya dalam pernyataan resmi, Senin (9/1/2023).

Even menyebut, penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dijelaskannya, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana terakhir kali diubah melalui UU Nomor 13 Tahun 2022, secara tegas mendefinisikan yang dimaksud dengan undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.

Merujuk defenisi tersebut penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 jelas tidak melewati pembahasan bersama DPR. Sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebut Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Norma ini, menurut Even, jelas menunjukkan Presiden dalam menerbitkan Perppu sepenuhnya berdasarkan kewenangan yang melekat padanya. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hanya memberi ruang kepada DPR untuk menyetujui atau tidak Perppu tersebut.

Selanjutnya, MK dalam pertimbangannya pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 menentukan kriteria penerbitan Perppu. Kriteria pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

Yang kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. Kriteria ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Pertimbangan MK terkait kriteria penerbitan Perppu sama sekali tidak tergambar dalam penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Tindakan inkonstitusional Presiden semakin nyata karena Perppu terbit secara tertutup dan tidak partisipatif. Perppu terbit sebagai masalah baru. Kebutuhan mendesak dalam konsiderannya dirumuskan secara tidak rasional. Presiden menggunakan kewenangannya secara inkonstitusional dan abai terhadap tuntutan rakyat,” urai Even Sembiring.

Even melanjutkan, penerbitan Perppu memperlihatkan pemerintah enggan membuka ruang dialog dengan rakyatnya. Waktu dua tahun yang diberikan MK seharusnya menjadi alat koreksi pemerintah untuk me-review norma inkonstitusional dan berdialog dengan masyarakat.

Proses dua tahun yang diberi MK sepatutnya dipergunakan untuk mewujudkan partispasi bermakna (meaningful participation). Hal ini akan menjadi dasar bagi Presiden dan DPR menciptakan partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh guna menentukan layak tidaknya norma dalam UU Cipta Kerja untuk diteruskan atau tidak.

Selain yang sudah diuraikan di atas, Even berpendapat, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 mengakselerasi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Even menguraikan, salah satu masalah yang dimuat UU Cipta Kerja adalah ketentuan Pasal 110A dan 110B terkait pemutihan kejahatan pelanggaran kegiatan usaha di dalam kawasan hutan.

Dua ketentuan tersebut memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha, termasuk di bidang perkebunan sawit yang melakukan keterlanjuran usaha di kawasan hutan. Aturan yang sedari awal ditolak oleh kelompok masyarakat sipil masih dimuat dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022.

Fakta ini kontradiktif dengan urgensi penerbitan Perppu yang salah satunya menyebut dinamika perubahan iklim. Rumusan norma tersebut faktanya hanya menguntungkan perusahaan dan pekebun skala besar sekaligus memperparah kerusakan lingkungan hingga menaruh Indonesia di bawah ancaman krisis iklim.

Data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera (P3ES) pada 2020 menyebut luas kebun sawit di Riau 4,17 juta hektare. Luas perkebunan sawit di Riau setara dengan 47,92 persen luas daratan Riau.

Data P3ES mengidentifikasi kepemilikan 1,89 juta hektare perkebunan sawit di kawasan hutan, yaitu 308 ribu hektare diidentifikasi milik korporasi, 50 ribu hektare milik masyarakat dan 1,53 juta hektare belum teridentifikasi.

Data tersebut menggambarkan proses penyelesaian penguasaan perkebunan sawit di kawasan hutan melalui skema Pasal 110A dan Pasal 110B secara umum akan menguntungkan pekebun skala besar, khususnya perusahaan. Melegalkan kejahatan kehutanan sekaligus melanggengkan ketimpangan penguasaan ruang di Riau. Prosesnya juga cenderung dilakukan secara tertutup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Olah berbagai perizinan yang dilakukan Walhi Riau sedikitnya 63,57 persen daratan Riau telah dikuasai investasi. Hal ini sejalan dengan data Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang menyebut indeks gini ketimpangan tanah berdasarkan hak milik adalah 0,76.

Sedangkan ketimpangan tanah berdasarkan hak guna bangunan 0,95 dan ketimpangan tanah berdasarkan hak guna usaha 0,46. Artinya, sekitar 1 persen penduduk Riau menguasai 76 persen tanah berdasarkan hak milik, 95 persen tanah untuk hak guna bangunan dan 46 persen tanah untuk hak guna usaha.

“Menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 jelang memasuki tahun politik berpotensi menjadi alat transaksi. Kajian Walhi pada 2019 memperlihatkan fakta mayoritas perizinan industri ekstraktif terbit pada tahun politik (satu tahun jelang Pemilu, pada tahun Pemilu dan satu tahun pasca Pemilu)."

"Perppu ini akan membuka ruang lebar investasi, dari proses pemutihan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, hingga potensi penerbitan izin lainnya yang menguntungkan korporasi jahat,” tambah Even Sembiring.

Guna mencegah praktik inkonstitusional ini semakin langgeng dan dijadikan peluang pendanaan politik yang merugikan rakyat, Walhi Riau mengajak seluruh komponen masyarakat sipil di Riau secara bersama mendesak DPR untuk tidak menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dan mendesak Presiden dan DPR secara bersama membatalkan UU Cipta Kerja dan berbagai aturan turunannya.