Greenpeace: EUDR Jangan Dianggap sebagai Tindakan Diskriminatif
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Deforestasi
Senin, 16 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Greenpeace Indonesia meminta Undang-Undang (UU) Komoditas Bebas Deforestasi yang diberlakukan Uni Eropa tidak dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap sawit. Salah satu alasannya, karena UU Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa itu justru sejalan dengan komitmen pemerintah menghentikan deforestasi.
Hal ini terkait pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bilang akan bekerja sama dengan Malaysia untuk 'memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit', dalam pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Anwar Ibrahim, Senin (9/1/2023) kemarin.
Pernyataan Presiden Jokowi ini memicu beragam tafsir, sehingga Presiden Jokowi dianggap harus menjelaskan pernyataannya itu. Karena bisa jadi diskriminasi dimaksud adalah soal UU Uni Eropa tentang Komoditas Bebas Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR).
“Presiden memang tak terang-terangan menyebut aturan Uni Eropa dalam keterangannya, tapi patut kita duga itulah yang dimaksud. Mengingat sebelumnya tudingan serupa pernah dilontarkan pejabat Indonesia,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan tertulis, Rabu (11/1/2023).
Kiki menilai, Kebijakan Uni Eropa menetapkan Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi mestinya tak dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Pengurangan deforestasi sudah menjadi komitmen global dan seharusnya disikapi sebagai momentum meningkatkan transparansi serta pengelolaan komoditas berkelanjutan.
Regulasi itu melarang komoditas yang dihasilkan lewat deforestasi setelah 2020 atau yang tidak memenuhi syarat ketertelusuran untuk memasuki pasar Uni Eropa. Pelaku usaha di Indonesia cukup membuktikan bahwa sudah tidak ada deforestasi di konsesi mereka setelah tanggal 31 Desember 2020--sesuai aturan cut off EUDR.
“Mestinya aturan itu tidak menjadi ancaman jika pemerintah Indonesia dan Malaysia berkomitmen menghentikan deforestasi untuk kelapa sawit. Namun pernyataan ‘memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit’ itu bisa mengindikasikan bahwa kedua negara masih berniat melakukan pembiaran terhadap terjadinya deforestasi,” ujar Kiki.
Penyusunan UU Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa merupakan implementasi komitmen mereka untuk memitigasi terjadinya perubahan iklim. Pemerintah Indonesia pun memiliki komitmen serupa, di antaranya melalui kebijakan moratorium hutan dan target FOLU (Forest and Other Land Uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) Net Sink 2030.
“Praktik-praktik industri kelapa sawit di masa lalu yang terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan sudah seharusnya dihentikan. Jadi, langkah Uni Eropa itu positif untuk planet Bumi dan keadilan sosial,” imbuh Kiki.
Kiki menambahkan, regulasi anti deforestasi Uni Eropa tersebut juga bisa membantu petani sawit, khususnya petani swadaya yang telah menerapkan praktik sawit berkelanjutan. Sebab, keberadaan mereka bisa diakui, baik secara hukum maupun dalam rantai pasok, dengan adanya prasyarat ketertelusuran atau traceability.
Meskipun dalam implementasinya, Uni Eropa harus memberikan perhatian dan bekerja sama dengan para petani agar mereka dapat memenuhi prasyarat uji tuntas.
Sebelumnya dalam pertemuan bilateral dengan PM Malaysia, Anwar Ibrahim, di Istana Kepresidenan Bogor, Senin kemarin, Presiden Jokowi membicarakan 5 kesepakatan antardua negara. Salah satunya kesepakatan untuk memperkuat kerja sama untuk meningkatkan pasar dan memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit.
“Kita juga tadi bersepakat memperkuat kerja sama melalui Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk meningkatkan pasar minyak kelapa sawit dan memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit,” kata Presiden Jokowi, dikutip dari Sekretariat Kabinet, Senin (9/1/2023).