Pemerintah Belum Serius Tata Ulang Kawasan Hutan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Selasa, 17 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pencabutan 192 izin konsesi kawasan hutan telah berjalan lebih dari satu tahun, sejak Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Nomor: SK.01.MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 terbit pada 5 Januari 2022 lalu. Namun dalam rentang waktu tersebut, Pemerintah Indonesia belum juga menunjukkan tanda-tanda keseriusan dalam melakukan penataan ulang lahan kawasan hutan.
Padahal saat mengumumkan pencabutan izin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan lahan-lahan usaha yang telah dicabut izinnya akan dialihkan kepada warga, komunitas, organisasi lainnya untuk digunakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Dikatakan, pencabutan izin ini ditujukan untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang terus mengalami degradasi dan deforestasi yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang.
Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Edi Sutrisno mengatakan, pencabutan izin itu mestinya menjadi langkah awal dalam melakukan penataan terhadap industri kehutanan di Indonesia. Sayangnya pencabutan izin itu tidak dalam perencanaan dan pelaksanaan yang baik, sehingga berdampak pada tidak dapat dieksekusinya lahan kawasan hutan yang telah dilakukan pencabutan. Bahkan perusahaan berpeluang besar untuk melakukan gugatan hukum terhadap Negara.
Penelitian yang dilakukan TuK Indonesia menemukan bahwa kebijakan pencabutan izin konsesi kehutanan ini harusnya bisa menjadi langkah besar dalam perbaikan penataan lingkungan hidup. Dalam hasil penilaian fungsi kawasan hutan menunjukkan bahwa pencabutan izin layak dari aspek lingkungan.
Sebab, 72 persen areal konsesi yang dicabut izinnya pada 2022 lalu dan dievaluasi, merupakan areal dengan fungsi Hutan Lindung (HL) dan fungsi Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang tidak bisa dikelola secara intensif untuk hutan tanaman, hutan alam, dan perkebunan sawit. Areal tersebut juga dominan pada kelas tanah dengan tingkat kepekaan sangat tinggi dan dalam kelas kelerengan sangat curam. Hal ini mengindikasikan kerentanan bencana ekologis pada kawasan–kawasan konsesi tersebut.
Secara faktual, izin konsesi kawasan hutan yang telah dicabut telah beralih menjadi perkebunan sawit dan masih beroperasi hingga kini. Contohnya, PT Agriprima Cipta Persada Grup Gama/Ganda, PT Agrinusa Persada Mulia Grup KPN Corp Plantation Division/Gama, PT Papua Agro Lestari Grup Korindo, PT Berkat Cipta Abadi (II) Grup TSE yang berada di Merauke, Papua.
Akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan, di dalam keputusan yang berangkai, ketika induknya sudah dicabut namun masih beroperasi, itu termasuk aktivitas ilegal.
Fakta lain, 24 perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat telah dilakukan evaluasi perizinan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat pada 2021 lalu. Akan tetapi hanya 12 perusahaan yang dilakukan pencabutan izin konsesi kehutanan. Padahal hasil evaluasi, perusahaan tersebut terbukti telah melakukan pelanggaran.
Berangkat dari itu, TuK Indonesia menyampaikan usulan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan perencanaan yang lebih sistematis terhadap pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Sehingga dapat diakses oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan dan mengembalikan fungsi lindung terhadap kawasan hutan yang telah dilepaskan sebelumnya.
“Sebagai tindak lanjut perlu digarisbawahi bahwa jangan sampai redistribusi memberikan tanah miskin kepada warga miskin,” kata Edi, dalam pernyataan tertulis, 5 Januari 2023 lalu
Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian juga berpikir demikian. Menurutnya, upaya yang harus dilakukan setelah pencabutan izin ini adalah pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan. Pencabutan izin konsesi dinilai belum menuju kepada terciptanya keadilan.
“Keadilan tidak dapat tercipta dalam ruang tertutup. Persoalan ini menjadi rumit sebab publik dalam republik ini tidak diberikan akses untuk tahu sejauh mana perjalanan negara ini sudah ditempuh,” kata Bayu.
Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan menambahkan, pencabutan izin ini harusnya juga direspon oleh lembaga jasa keuangan, khususnya terkait dengan kebijakan keuangan berkelanjutan yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hal ini layak dikorelasikan dengan kebijakan Taksonomi Hijau Indonesia (THI). Sehingga investasi yang berkelanjutan memiliki jaminan pada masa depan, memiliki jaminan hukum, serta secara berimbang memiliki apresiasi dan penalti (carrot and stick).
Dalam konteks regulasi yang lebih detail, Riawan menekankan, instrumen Hukum Administrasi Negara diperlukan dalam mengembangkan green investment policy yang meliputi instrumen peraturan perundang-undangan (termasuk amandemen produk-produk hukum yang belum mencerminkan konsep green investment), instrumen rencana (het plan) untuk mempersiapkan kebijakan.
Kemudian, instrumen keuangan negara melalui green budget policy, instrumen peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) dan perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst) dan instrumen benda-benda publik (publiek domein) yang berkaitan dengan kebijakan investasi hijau.
Sosilog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito mengajak publik intelektual untuk merepolitisasi demokrasi dan merepresentasi rakyat. Sebab, demokrasi tidak bias hanya mengandalkan hukum.
Keruhnya demokrasi ditandai ruang publik yang di dalamnya tidak terdapat pertarungan ide. Maka dalam rangka mendorong pencabutan izin konsesi perlu kontrol publik untuk mendorong kualitas kebijakan yang baik.
“Kita perlu menciptakan ruang publik yang di dalamnya ramai pertarungan ide khususnya mengenai isu substantif yaitu penguasaan sumber daya alam yang tidak berbatas pada wacana-wacana prosedural,” terang Arie.