JATAM: Konflik Pekerja di PT GNI Juga Dipicu Kebijakan Pro-Bisnis

Penulis : Tim Betahita

Tambang

Kamis, 19 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan, bentrokan antara tenaga kerja asing asal Tiongkok dan Indonesia di area pabrik smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) tidak melulu soal konflik antar individu. Tetapi juga didorong oleh rentetan kebijakan dan peraturan pemerintah yang hanya mementingkan pelaku industri. 

Seperti diketahui, PT GNI merupakan perusahaan asal China yang membangun pabrik smelter nikel di Bunta, Petasia Timur, Morowali Utara. Menurut JATAM, Meski berlokasi di Morowali Utara, peresmian perusahaan ini dilakukan di kawasan industri Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara oleh Presiden Jokowi bersama sejumlah Menteri dan Kepala Daerah pada 27 Desember 2021 lalu.  

Pada peresmian itu, salah satu hal yang ditekankan oleh Presiden Jokowi kepada Gubernur dan Bupati setempat, adalah agar menjaga iklim investasi tetap kondusif, sehingga terjadi serapan tenaga kerja, devisa, dan pajak. 

"Dengan demikian, bukan hal yang mengejutkan  ketika pasca bentrokan di area pabrik GNI itu terjadi, respons Jokowi justru sebatas menginstruksikan Kapolri untuk menindak tegas pelaku kerusuhan. Jokowi, termasuk sejumlah menteri dan kepala daerah, serta aparat kepolisian yang bergerak cepat menangkap puluhan buruh Indonesia yang dituduh pelaku,  namun menutup mata atas persoalan yang melatarbelakangi bentrokan itu terjadi," tulis JATAM dalam pernyataan tertulis, Rabu, 18 Januari 2023. 

Tampak dari ketinggian kawasan industri nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Sulawesi Tenggara./Foto: Auriga/Yudi Nofandi

"Hal itu seolah menunjukkan watak pemerintah dan model penegakan hukum aparat kepolisian yang lebih penting melindungi investasi, dari pada keselamatan rakyat dan lingkungan, serta kesejahteraan buruh itu sendiri." 

Sederet masalah PT GNI

JATAM mengungkap, pihaknya menemukan sejumlah kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh PT GNI, yang terjadi sebelum perusahaan diresmikan pada 2021. 

[1] Pertama kali beroperasi di Bunta, Petasia Timur pada 2018 lalu, pembangunan pembangkit listrik (PLTU batubara)  dan pabrik smelter, telah membendung sungai Lampi tanpa ada proses konsultasi dan pembebasan lahan. Lahan-lahan produktif warga diklaim sepihak perusahaan, dan melarang warga untuk mengelola lahan-lahan itu. 

Operasi bendungan tersebut menggenangi rumah warga dan ruas jalan serta menutup akses ekonomi warga transmigran. Warga pernah melakukan perlawanan dengan menghentikan alat berat. Namun perusahan bergeming dan kini sekitar 300 hektare lahan di lokasi transmigrasi dan dua dusun tergenang air, berdampak terhadap perekonomian ribuan warga.

[2] Operasi PLTU batubara dan pabrik smelter, serta penggunaan jalan umum dalam operasionalnya. Menurut organisasi tersebut, hal ini memicu terganggunya kesehatan warga. Sejumlah warga yang JATAM temui pada September 2022 lalu mengaku, pasca perusahaan beroperasi, banyak warga mengeluh sesak nafas, diduga terinfeksi ISPA. Selain itu, polusi debu dari aktivitas perusahaan itu, menyebabkan peralatan rumah tangga terutama yang berbahan logam cepat rusak.

[3] Operasi PT GNI yang memanfaatkan wilayah teluk Tokonaka sebagai tempat sandar dan bongkar muat kapal-kapal besar dan tongkang batubara, telah berdampak pada terjadinya pencemaran. Sisa bongkar muat batubara dibuang ke laut yang, selain mencemari perairan sekitar juga berdampak pada menyempitnya wilayah tangkap dan menurunnya produktivitas nelayan. Bahkan, ratusan keramba ikan milik nelayan ditabrak kapal dan tongkang perusahaan. 

Dalam sebulan, kapal dengan kapasitas rata-rata 55 ribu MT itu, bisa 7-8 kali lalu-lalang di perairan tersebut dan akan terus meningkat jumlahnya seiring dengan optimalisasi produksi GNI.

[4] Berdasarkan informasi dari sejumlah buruh, sejak pertama kali PT GNI beroperasi hingga kini, sudah terdapat 10 pekerja yang tewas. Korban pertama berinisial HR, meninggal karena tertimbun longsor pada 8 Juni 2020 malam. HR tertimbun bersama excavator dan baru diketahui dua hari setelah kejadian.

Pada Mei dan Juni 2022, juga terjadi peristiwa bunuh diri TKA asal Tiongkok. Masing-masing berinisial MG dan WR.

Lalu, kecelakaan kerja lainnya menimpa YSR, AF, NS, dan MD. YSR terseret longsor saat mengoperasikan bulldozer tanpa penerangan dan tenggelam ke laut di kedalaman 26 meter. Sementara AF hilang saat bekerja di tungku enam smelter 1 PT. GNI. Dia ditemukan tak bernyawa setelah jatuh di sebelah tuas kontrol mesin hidrolik. Sementara NS dan MD adalah dua korban yang meninggal dunia pada ledakan tungku smelter 2 GNI pada 22 Desember 2022. 

Hingga 14 Januari 2023 kemarin, bentrokan di kawasan PT GNI itu menimbulkan korban 3 orang tewas, masing-masing 2 orang TKI dan 1 TKA. Selain korban tewas, juga terdapat korban luka-luka.

[5] Berdasarkan keterangan sejumlah buruh kepada JATAM, pihak perusahaan juga memotong berbagai tunjangan yang menjadi hak pekerja, serta menciptakan dan memelihara kesenjangan upah dan fasilitas pekerja antara TKI dan TKA dengan jenis pekerjaan yang sama. 

Contohnya, terkait dengan tenaga kerja dari Tiongkok dengan gaji dan fasilitas-fasilitas tambahan yang lebih besar dari mayoritas pekerja dalam negeri. JATAM mengatakan, kesenjangan tersebut terlihat dari helm putih dan helm merah yang kebanyakan dikenakan pekerja asal Tiongkok. Sementara itu pekerja Indonesia menggunakan helm berwarna kuning. Sebagai catatan, helm putih dikenakan manager, helm merah supervisor, dan helm kuning adalah kru tambang.

[6] PT GNI tercatat telah melakukan penyerobotan lahan warga di Desa Bungintimbe, Kecamatan Petasia, Morowali Utara. Kedua warga, yakni S dan AH, menggugat PT GNI dan anak perusahaannya, PT Stardust Estate Investmen, pada 2 Juli 2021 ke Pengadilan Negeri (PN) Poso atas penyerobotan lahan seluas 30.000 meter persegi dalam proses pembangunan kawasan pabrik PT GNI. 

Namun gugatan kedua warga ini ditolak oleh PN Poso (NO/Niet Ontvankelijke Verklaard) dan warga harus membayar denda biaya perkara sebesar Rp 9.968.000. Gugatan warga tersebut ditolak hanya karena salah penulisan nama perusahaan dalam gugatan mereka, yang seharusnya “Stardust Estate Investmen”, namun ditulis “Stardust Estate Investment”.

[7] Pada 23 Agustus 2021, PT GNI kembali digugat oleh SB, warga Desa Bunta, Kecamatan Petasia, Morowali Utara, karena secara tanpa izin menggunakan lahan warga untuk akses jalan angkutan tambang. Gugatan warga ini dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Poso yang dalam putusannya menyatakan PT GNI telah melakukan perbuatan melawan hukum dan harus membayar ganti rugi kepada warga pemilik lahan sebesar Rp 55.000.000.

Jejaring Aktor di Balik PT GNI

Tony Zhou Yuan, yang kini tercatat sebagai direktur PT GNI, juga menjabat sebagai presiden direktur di dua perusahaan smelter nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yakni PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS).  

Menurut JATAM, PT VDNI juga tidak lepas dari jejak kotor dalam operasinya di kawasan Morosi, Konawe Utara. Dalam catatan JATAM, PT VDNI pernah melakukan kriminalisasi terhadap 12 buruh yang melakukan aksi dan bentrok dengan petugas keamanan perusahaan. 

Sedangkan PT OSS yang beroperasi di kawasan Motui, Konawe Utara, telah mencemari udara di enam desa dengan debu batubara dari cerobong PLTU milik perusahaan. Akibat dari debu batu bara dari PLTU yang hanya berjarak seratusan meter dari pemukiman warga ini, aktivitas warga mulai terganggu, mata memerah perih saat terkena debu batubara, hingga sering batuk dan susah bernafas.

Tak hanya itu, Tony Zhou Yuan juga memiliki kedekatan dengan Ali Mazi, gubernur Sulawesi Tenggara. Ali Mazi diketahui menjadi dewan pengawas di Yayasan milik Tony Zhou Yuan yang bernama Andrew & Tony Foundation.  

"Bentrokan antara TKI dan TKA di PT GNI, Morowali Utara, berikut jejak kejahatan perusahaan asal Tiongkok itu, serta respons pemerintah dan pendekatan hukum yang dilakukan aparat keamanan adalah bentuk nyata dari menguatnya kepentingan pebisnis dan elit politik penguasa di Indonesia," kata organisasi tersebut.

JATAM menilai, baik TKI maupun TKA adalah sama-sama korban. Pemerintah dan aparat keamanan justru sibuk mengkambing-hitamkan TKI, lalu menghindari realitas konflik struktural sesungguhnya.  

"Situasi ini tak hanya terjadi di Morowali, tempat dimana PT GNI beroperasi, melainkan di hampir seluruh wilayah operasi perusahaan tambang. Hal ini tentu saja bak’ bom waktu yang pada akhirnya, selain merugikan para buruh, juga mengorbankan rakyat dan ruang hidupnya," kata JATAM.   

Untuk itu, JATAM menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri: 

[1] Menuntut Presiden Jokowi untuk hentikan operasi dan cabut izin PT GNI, dan segera lakukan audit/evaluasi atas seluruh tindakan kejahatannya, baik terhadap buruh, warga terdampak, maupun lingkungan hidup.  

[2] Menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri Listyo Sigit untuk segera bebaskan seluruh buruh yang telah ditangkap, serta hentikan proses hukum atas sejumlah buruh yang telah ditetapkan sebagai tersangka. 

[3] Menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri Listyo Sigit untuk segera lakukan proses hukum atas kejahatan PT GNI, terutama terkait sejumlah dugaan pelanggaran hukum atas lingkungan hidup, warga terdampak, dan tenaga kerja.  

[4] Menuntut Presiden Jokowi untuk segera perintahkan PT GNI agar lakukan pemulihan sosial-ekologis atas segala kerusakan yang telah terjadi.