Masyarakat Adat Alami Penundukan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Senin, 23 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menganggap masyarakat adat di Indonesia hingga kini masih dihadapkan dengan berbagai upaya penundukan oleh pemerintah. Bahkan sekitar 2.400 hektare wilayah adat dirampas menggunakan program Perhutanan Sosial.
AMAN menyebut, alih-alih memberikan perlindungan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber alam, berbagai hukum dan kebijakan di sektor pertanahan yang diproduksi oleh pemerintah justru dijadikan alat untuk mereduksi hak-hak kolektif/komunal yang dimiliki oleh komunitas masyarakat adat.
Contohnya, dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), kantor-kantor BPN lebih mengarahkan warga untuk mendaftarkan tanahnya secara individu untuk mengejar target jumlah bidang tanah yang disertifikatkan. PTSL merupakan proyek kerjasama antara Kementerian ATR/BPN dan Bank Dunia sebesar USD200 juta atau Rp2,9 triliun bagi program reforma agraria untuk menata Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dalam bentuk pinjaman (utang).
Demikian juga halnya proyek infrastruktur khususnya pembangunan bendungan yang dibiayai Asian Development Bank (ADB). Fakta lapangan menunjukkan proyek-proyek bendungan di Indonesia yang berdampak bagi masyarakat adat, tidak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak sebagaimana yang diatur dalam kerangka pengaman sosial (social safeguard) terkait masyarakat adat.
“Situasi di atas menunjukkan bahwa negara kita saat ini lebih berorientasi pada kepentingan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi mengabaikan hak asasi masyarakat adat nusantara yang merupakan pilar historis dan faktual keberadaan serta keberlangsungan negara Indonesia”, ujar Rukka Sombolinggi Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, dalam pernyataan tertulisnya, 13 Januari 2023 lalu.
Hingga saat ini, lanjut Rukka, penetapan hutan adat di Indonesia baru mencapai 148.488 hektare. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan 12,4 juta hektare peta wilayah adat yang telah diserahkan ke pemerintah.
Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), hingga 2022 BRWA telah meregistrasi 1.119 peta wilayah adat dengan total luasan sekitar 20,7 juta hektare yang tersebar di 142 kabupaten/kota di 29 provinsi. Dari luasan tersebut, 16,9 juta hektare di antaranya berpotensi sebagai hutan adat.
Masih menurut data BRWA, dari 20,7 juta hektare wilayah adat yang sudah diregistrasi, sekitar 15 persen telah mendapat pengakuan melalui kebijakan daerah, mencakup 189 wilayah adat dengan total luas sekitar 3,1 juta hektare.
Namun dari luasan itu 2.400 hektare hak masyarakat adat atas hutan adat yang telah ditegaskan dalam Putusan MK.35 Tahun 2012, justru dirampas dengan mengunakan Program Perhutanan Sosial (HD, HKM, HTR, dan Kemitraan).
“AMAN akan terus membangun dan memperkuat konsolidasi gerakan masyarakat sipil untuk memastikan solidaritas gerakan masyarakat adat, petani, nelayan dan buruh bahu-bahu menghadapi rezim pemerintahan yang refresif hari ini. masyarakat adat akan terus memperkuat diri menghadapi perampasan hak-hak tradisionalnya yang telah diakui di dalam konstitusi,” kata Rukka.
Perampasan Wilayah Adat
Dalam Catatan Tahun 2022 AMAN diuraikan, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2017-2022) terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat di Indonesia, mencakup wilayah seluas 8,5 juta hektare, mengkriminalisasi 672 warga masyarakat adat. Khusus di 2022, jumlah kasus perampasan wilayah adat yang terekam sebanyak 19 kasus mencakup wilayah seluas 600 ribu hektare.
Kasus perampasan wilayah adat di 2022 ini beberapa di antaranya seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Rencana pembangunan Waduk Lambo di 3 desa di 3 kecamatan, Desa Labolewa di Kecamatan Aesesa, Desa Rendubutowe di Kecamatan Aesesa Selatan dan Desa Ulupulu di Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, NTT, semakin sulit untuk dibatalkan.
Lebih dari dua dasawarsa pertahanan serta perlawanan Masyarakat Adat Rendu mempertahankan wilayah mereka tidak pernah menjadi perhatian serius pemerintah. Selama kurun waktu tersebut, puluhan korban kriminalisasi, waktu, pikiran, tenaga, banyak pihak terkuras habis, konflik ‘horizontal’ yang direkayasa, ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat adat yang secara terang benderang dipertontonkan kepada publik, akibat kebijakan tak partisipatif serta kebijakan yang menghamba kepada investasi.
Meskipun pembangunan Waduk Lambo tak bisa dihentikan, bukan berarti hak-hak masyarakat adat yang bermukim, hidup dan beranak pinak disana dapat diabaikan. Lahan, kebun, pekarangan, pemakaman serta hak hak tradisional masyarakat adat harus mendapatkan perhatian perhatian serta ketepatan dalam pemenuhannya.
Masih di NTT, Masyarakat Adat Suku Kende yang bermukim puluhan tahun di Kampung Kalang Maghit, Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, dipaksa Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Pemaksaan semakin mendekat pada penghujung 2022, mana kala Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur memasang Plang yang menyebutkan Tanah Milik pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.
Berdasarkan penuturan Masyarakat Adat Kende, nenek moyang mereka dahulu tinggal tidak jauh dari Kampung Kalang Maghit yang mereka tempati sekarang.
Suatu waktu, kampung mereka terserang wabah, sehingga banyak warga yang meninggal dunia. Peristiwa datangnya penyakit tersebut memaksa nenek moyang mereka sementara waktu pindah ke tempat yang lebih aman.
Pada 1969, Masyarakat Adat Suku Kende kembali ke Mulu Lewa karena perkembangan penduduk di Kampung Lopi Jo sudah padat. Namun, saat itu mereka belum membuka kampung. Mereka masih tinggal terpencar di kebun-kebun.
Pada 1972, Masyarakat Adat Suku Kende membuka kampung baru yang tidak jauh dari Mulu Lewa. Kampung itu mereka namai Kalang Maghit. Kampung Kalang Maghit, klaim mereka, merupakan bagian dari wilayah adat Suku Kende yang diwariskan oleh leluhur.
Menurut Masyarakat Adat Suku Kende, pada 1976 mereka menyelenggarakan ritual adat peresmian Kampung Kalang Maghit. Ritual itu dihadiri oleh Kepala Desa Gaya Baru ( Desa Gunung) Paulus Roma.
Masyarakat Adat Suku Kende menyebut total luas tanah ulayat mereka yaitu 600,29 hektare. Yang mana, bagian barat berbatasan dengan ulayat Suku Nanga dan Suku Kenge, bagian timur berbatasan dengan sungai Wae Mokel, bagian utara berbatasan dengan ulayat Suku Ngulu Lu’e, dan bagian selatan berbatasan dengan tanah ulayat Suku Kenge.
Kemudian di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, sejak 2021, masyarakat Desa Pasar Seluma melakukan penolakan terhadap tambang pasir besi di wilayah adat mereka. Penolakan ini dimotori oleh kelompok perempuan pesisir Desa Pasar Seluma.
Masyarakat desa itu menduduki lokasi tambang selama 5 hari 4 malam. Pendudukan berakhir setelah dipaksa bubar oleh aparat kepolisian Polres Kabupaten Seluma, dengan alasan menghalang-halangi aktivitas pertambangan yang tertuang dalam Pasal 162 Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Akan tetapi ancaman yang disampaikan aparat kepolisian termasuk upaya kriminalisasi tidak membuat masyarakat takluk. Masyarakat menyadari, penambangan pasir besi di wilayah adat mereka mengancam hidup dan masa depan mereka serta masa depan lingkungan. Kesadaran ini memicu langkah dan pilihan advokasi agar izin yang terlanjur diberikan kepada perusahaan dapat dibatalkan.
Bergeser ke Halmahera, Maluku Utara, Masyarakat Adat Tobelo Dalam atau yang lebih populer disebut sebagai Orang Togutil yang tinggal di dalam hutan di Halmahera, makin hari kian terjepit, dihimpit dan tergerus oleh kebijakan investasi dan ketiadaan perlindungan dari Negara.
Stereotipe dan pelenelan menjadi hal lumrah dilakukan. Ketiadaan perlindungan yang diberikan pemerintah, acap kali menjadikan suku ini dijadikan sebagai tempat melempar kesalahan atas suatu peristiwa yang tidak sanggup diselesaikan oleh penegak hukum.
Kasus dihukumnya Bokum dan Nuhu, yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap 2 warga Desa Waci, Maba Selatan, Halmahera Timur pada 2014 lalu, hingga kini menyisakan sejumlah tanda tanya, terutama dari segi motif dan tindakan yang didakwakan kepada kedua saudara sepupu tersebut.
Bukti pendukung yang didapat penyidik hanyalah bersumber pada keterangan saksi yang menyebut ciri pelaku berambut panjang, berkumis tebal, memakai cawat, sebagaimana kebanyakan ciri anggota suku Togutil.
Pengadilan juta tidak mampu menghadirkan keadilan substantif, meskipun kedua terdakwa yang tak mengerti bahasa Indonesia, mengaku tidak melakukan pembunuhan, tetap saja divonis selama 15 tahun.
Pada kasus lain, atas peristiwa pembunuhan yang terjadi pada 2019, Pengadilan Tinggi Maluku Utara pada 2020 lalu menjatuhkan hukuman mati (1 orang) penjara seumur hidup (4 orang) dan penjara 20 tahun (1 orang) diberikan kepada anggota masyarakat Suku Togutil.
Perampasan wilayah adat juga terjadi di Kalimantan Timur. Penetapan Ibu Kota Negara (IKN) oleh Pemerintah sejak 2019 membawa kekhawatiran dan ketakutan bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan IKN.
Proyek ambisius ini menciptakan konflik dan penguasaan atas lahan secara masif. Beberapa komunitas masyarakat adat, kehilangan wilayah adat karena telah dialokasikan oleh negara untuk pembangunan IKN.
Akses masyarakat adat atas wilayah adat mereka menjadi tertutup. Bahkan masyarakat adat mengalami berbagai tindakan intimidatif ketika mereka mengakses wilayah adatnya.
Pada sisi lain, ditemukan indikasi bagi bagi lahan yang dilakukan aparatus negara berkolaborasi dengan aktor non Negara. Lahan negara dan wilayah adat diberikan secara mudah kepada investor sementara masyarakat adat dan hak atas wilayah adatnya sama sekali tidak dilindungi.