Kenaikan Permukaan Air Laut Ancaman bagi Indonesia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kelautan
Kamis, 26 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Baru-baru ini UN Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB merilis laporan yang isinya menyebut tinggi permukaan laut secara global meningkat dengan sangat cepat. Laporan tersebut menjadi alarm bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dengan garis pantai sepanjang sekitar 80 ribu kilometer.
Tahun lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional memproyeksikan, setidaknya 115 pulau di Indonesia akan tenggelam pada 2100 karena kombinasi kenaikan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah. Sebuah penelitian baru bahkan menemukan bahwa 92 pulau terluar Indonesia berpotensi tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut.
Tren yang mengkhawatirkan ini dapat menjadi ancaman bagi status Indonesia sebagai "negara kepulauan", yang merupakan konsep hukum baru yang diadopsi dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982 setelah beberapa dekade upaya diplomasi Indonesia dan negara-negara kepulauan lainnya.
Meskipun beberapa pulau terluar Indonesia kemungkinan besar tidak berpenghuni, pulau-pulau tersebut memiliki nilai strategis, karena menjadi dasar untuk membatasi perairan Indonesia.
Yang jadi pertanyaan, dapatkah Indonesia mempertahankan integritas teritorialnya sebagai negara kepulauan jika beberapa pulau terluarnya terendam air?
Pentingnya status negara kepulauan
Indonesia sangat diuntungkan oleh rezim negara kepulauan yang diatur dalam UNCLOS karena rezim ini memungkinkan Indonesia untuk mengklaim kedaulatan atas semua perairan di antara pulau-pulau yang sebelumnya dianggap sebagai laut lepas. Kedaulatan ini juga berarti Indonesia memiliki hak eksklusif atas semua sumber daya yang ada di dalam dan di bawah perairan tersebut.
Indonesia dapat melingkupi wilayah kepulauannya dengan menarik garis khusus yang dikenal sebagai "garis pangkal kepulauan". Garis ini digunakan sebagai acuan untuk menentukan wilayah negara kepulauan. Garis ini terdiri dari titik-titik yang disebut titik dasar yang berada di pulau-pulau terluar, terumbu karang yang mengering, atau bahkan elevasi air surut (area yang terbentuk secara alami yang berada di atas air pada saat air surut namun terendam pada saat air pasang).
Sederhananya, titik dasar ini tidak dapat berupa fitur yang terendam secara permanen atau titik yang berada di atas laut. Selain itu, jarak antara titik-titik dasar ini tidak boleh lebih dari 100 mil laut--dengan beberapa pengecualian terbatas.
Perairan di dalam garis pangkal kepulauan tersebut berada di bawah kedaulatan negara kepulauan. Batas-batas laut zona maritim negara (seperti perairan teritorial atau zona ekonomi eksklusif) juga diukur dari garis-garis tersebut.
Bila permukaan air laut naik, titik-titik dasar yang digunakan untuk menggambar garis pangkal kepulauan mungkin sebagian atau seluruhnya tertutup air. Akibatnya, jarak antara satu titik dasar yang ditetapkan dengan titik dasar yang lain dapat menjadi lebih panjang daripada jarak yang diizinkan oleh UNCLOS.
Jadi, jika beberapa titik dasar Indonesia mundur ke daratan karena naiknya permukaan air laut, hal ini dapat mempengaruhi pengukuran jarak yang diperbolehkan antara semua titik dasar. Dalam skenario terburuk, di mana titik dasar sepenuhnya berada di bawah air, Indonesia mungkin harus mencari titik dasar alternatif atau membangunnya kembali.
Dalam kasus yang ekstrim, kenaikan permukaan laut dapat menyebabkan hilangnya wilayah secara keseluruhan, termasuk hilangnya garis dasar dan zona maritim yang diukur dari titik-titik tersebut.
Sebagai contoh, Kiribati sudah menghadapi ancaman eksistensial karena negara ini seluruhnya terdiri dari atol-atol dataran rendah yang tingginya hampir dua meter di atas permukaan laut.
Garis pangkal kepulauan Indonesia tidak diukur dengan menggunakan ketinggian air surut, tetapi banyak dari titik dasarnya adalah terumbu karang (yang kecil kemungkinannya untuk mengikuti kenaikan permukaan air laut) dan pulau-pulau kecil. Ketinggian di atas permukaan laut dari banyak titik dasar ini masih belum diketahui, sehingga tidak jelas apa yang akan terjadi pada titik-titik tersebut dalam jangka panjang berdasarkan proyeksi IPCC.
Ada aturan lain yang menyatakan bahwa sebuah negara kepulauan harus memiliki jumlah air dan daratan tertentu berdasarkan rumus yang disebut "rasio air terhadap daratan". Jika wilayah perairan bertambah, Indonesia mungkin akan memiliki lebih banyak air daripada daratan, yang dapat mengubah rasio air terhadap daratan dan mengancam status kepulauan.
Komisi Hukum Internasional--sebuah badan PBB yang terdiri dari para ahli hukum yang bertugas untuk mengkodifikasi dan mengembangkan hukum internasional--sedang mempelajari beberapa masalah hukum yang sulit terkait dengan kenaikan permukaan air laut.
Sementara hal ini masih berlangsung, Asosiasi Hukum Internasional--sebuah LSM internasional dengan status konsultatif dengan beberapa badan khusus PBB--telah menyimpulkan bahwa garis pangkal akan bergeser karena pergerakan garis pantai.
Bila garis pangkal dianggap 'ambulatory' seperti yang diusulkan oleh ILA, naiknya permukaan air laut dapat mengancam status kepulauan Indonesia.
Lalu, apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk melindungi statusnya?
Indonesia perlu menilai dampak kenaikan permukaan laut terhadap titik-titik terluar pulau-pulau terluar dan terumbu karang yang mengering di kepulauannya. Kita membutuhkan lebih banyak penelitian untuk mencatat ketinggian di atas permukaan laut dari titik-titik tersebut, dan seberapa besar dampaknya terhadap kenaikan permukaan laut.
Pada 2020, Indonesia mendesak PBB untuk menegakkan stabilitas perjanjian batas wilayah, terlepas dari pergerakan garis pantai akibat kenaikan permukaan laut. Indonesia juga dapat mempertimbangkan untuk menyatakan garis pangkal kepulauan sebagai garis pangkal yang final setelah ditetapkan dan dinyatakan terlepas dari kenaikan permukaan air laut.
Untuk melindungi integritas teritorialnya, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang terancam oleh kenaikan permukaan air laut dapat mengadopsi deklarasi regional yang mengakui stabilitas garis pangkal mereka dan dengan demikian mengamankan hak-hak maritim mereka.
Hal ini serupa dengan apa yang telah dilakukan oleh negara-negara Pasifik. Pada 2015, tujuh pemimpin Polinesia mengeluarkan Deklarasi Taputapuatea tentang Perubahan Iklim yang menetapkan garis pangkal secara permanen tanpa memperhitungkan kenaikan permukaan air laut.
Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia dapat mengambil kesempatan ini untuk mengikuti jejak negara-negara Pasifik dalam melakukan aksi kolektif untuk merespon kenaikan permukaan air laut.