Studi: Punahnya Gajah Berdampak Besar pada Level Karbon Atmosfer
Penulis : Kennial Laia
Satwa
Kamis, 26 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Gajah merupakan satwa darat terbesar di dunia, dan dikenal karena belalai dan gadingnya. Dulunya satwa ini umum di Afrika dan Asia. Namun perdagangan gading dan kehilangan habitat telah memicu pengurangan jumlahnya di alam liar secara drastis pada abad ke-19 dan ke-20.
Gajah Afrika jantan memiliki ukuran terbesar, dengan berat hingga 6 ton. Sementara itu gajah Asia lebih kecil, dan beratnya bisa mencapai 5 ton. Untuk bertahan hidup, gajah membutuhkan ruang hidup yang luas, dan biasanya di dalam hutan.
Kehilangan habitat menjadi salah satu faktor turunnya populasi gajah di habitat asli mereka. Sejak 1979, habitat gajah Afrika berkurang lebih dari 50%, dan gajah Asia terbatas geraknya pada sekitar 15% dari ruang gerak asalnya. Konflik dengan manusia dan perburuan liar untuk gading juga berkontribusi pada penurunan populasi satwa ini.
Saat ini populasi gajah Afrika diperkirakan 415,000 individu. Sementara itu gajah Asia berkurang setidaknya 50% selama tiga generasi terakhir, dan terus menurun akibat perburuan liar, konflik, dan kehilangan habitat. Diperkirakan jumlahnya hanya 40,000-50,000 di alam liar.
Menurut daftar merah spesies terancam IUCN, keberlangsungan gajah kian terancam. Gajah hutan Afrika (Loxodonta cyclotis) berstatus kritis atau sangat terancam punah dan gajah sabana Afrika (Loxodonta aficana) berstatus terancam. Sementara itu gajah Asia (Elephas maximus) berstatus terancam.
Apa yang terjadi jika gajah punah?
Dalam studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), peneliti mengungkap bahwa gajah memiliki peran kunci dalam menciptakan hutan yang menyimpan cadangan karbon dan mempertahankan keanekaragaman hayati di Afrika. Jika satwa ini benar-benar punah, hutan hujan tropis di Afrika bagian tengah dan barat, terbesar kedua di dunia, akan kehilangan antara 6% dan 9% kemampuannya dalam menyimpan karbon, dan dapat berkontribusi pada naiknya pemanasan global.
“Gajah telah diburu oleh manusia selama ribuan tahun,” kata penulis utama laporan Stephen Blake, dan merupakan asisten profesor biologi di Saint Louis University, dikutip Phys.
Blake mengatakan berbagai upaya konservasi saat ini belum berhasil mengamankan populasi gajah. “Jika kita kehilangan gajah hutan, kita akan melakukan tindakan merugikan global terhadap mitigasi perubahan iklim. Karena itu peran gajah dalam mitigasi iklim harus dianggap serius oleh pembuat kebijakan untuk menghasilkan dukungan yang dibutuhkan untuk konservasi gajah. Perannya terlalu penting untuk diabaikan.”
Di dalam hutan, beberapa pohon memiliki kayu ringan (pohon dengan kerapatan karbon rendah) sementara yang lain menghasilkan kayu berat (pohon dengan kerapatan karbon tinggi). Pohon dengan kepadatan karbon rendah tumbuh dengan cepat, menjulang di atas tanaman dan pohon lain untuk mendapatkan sinar matahari. Sementara itu, pohon dengan kerapatan karbon tinggi tumbuh lambat, membutuhkan lebih sedikit sinar matahari dan mampu tumbuh di tempat teduh.
Gajah dan megaherbivora lainnya memengaruhi kelimpahan pohon-pohon ini dengan lebih banyak memakan pada pohon-pohon dengan kepadatan rendah karbon, yang lebih enak dan bergizi ketimbang spesies dengan kepadatan karbon tinggi, jelas Blake.
Hal ini "menipiskan" hutan, seperti yang dilakukan rimbawan untuk mendorong pertumbuhan spesies pilihan mereka. Penipisan ini mengurangi persaingan antar pohon dan memberikan lebih banyak cahaya, ruang dan nutrisi tanah untuk membantu pohon berkarbon tinggi untuk tumbuh subur.
“Gajah memakan banyak daun dari banyak pohon, dan mereka melakukan banyak kerusakan saat memamahnya,” kata Blake.
“Mereka akan melucuti daun dari pohon, merobek seluruh cabang atau mencabut pohon muda saat makan. Data kami menunjukkan sebagian besar kerusakan ini terjadi pada pohon dengan kepadatan karbon rendah. Jika ada banyak pohon dengan kepadatan karbon tinggi di sekitarnya, maka secara otomatis gajah membantu menyingkirkan pesaingnya," jelasnya.
Gajah juga merupakan penyebar benih pohon dengan kepadatan karbon tinggi yang sangat baik. Pohon-pohon ini sering menghasilkan buah-buahan bergizi besar yang dimakan gajah. Benih-benih itu melewati usus gajah tanpa rusak dan ketika dilepaskan melalui kotoran, mereka siap untuk berkecambah dan tumbuh menjadi beberapa pohon terbesar di hutan.
"Gajah adalah tukang kebun di hutan," kata Blake. "Mereka menanam hutan dengan pohon dengan kepadatan karbon tinggi dan menyingkirkan 'gulma', yang merupakan pohon dengan kepadatan karbon rendah. Mereka melakukan pekerjaan luar biasa untuk mempertahankan keanekaragaman hutan."
Karena preferensi ini, gajah secara langsung terikat untuk mempengaruhi tingkat karbon di atmosfer. Pohon dengan kepadatan karbon tinggi menyimpan lebih banyak karbon dari atmosfer di dalam kayunya dibandingkan dengan pohon dengan kepadatan karbon rendah, sehingga membantu memerangi pemanasan global.
"Gajah memiliki banyak manfaat sosial," kata Blake. "Anak-anak di seluruh dunia bermain dengan boneka gajah di kamar tidur. Gajah hutan Afrika juga mempromosikan keanekaragaman hutan hujan dalam banyak cara."
Blake pun menyerukan perlindungan lebih untuk gajah hutan.
“Pembunuhan ilegal gajah dan perdagangan ilegal masih berlangsung,” kata Blake. “Sepuluh juta gajah pernah berkeliaran di seluruh Afrika, dan sekarang jumlahnya kurang dari 500.000 individu, yang sebagian besar populasi hidup di kantong-kantong terisolasi. Gajah-gajah ini berstatus terancam punah dan sangat terancam punah, dengan jumlah anjlok lebih dari 80 persen dalam 30 tahun terakhir."
Meskipun gajah dilindungi di bawah hukum nasional dan internasional, perburuan terus berlanjut. "Pembunuhan ilegal ini harus dihentikan untuk mencegah kepunahan gajah hutan," tegas Blake.