Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Terbesar Pantai Afrika Timur

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sampah

Sabtu, 28 Januari 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Berdasarkan analisis pengamatan, sampah-sampah plastik yang terdampar di pantai-pantai di Seychelles, Afrika, sebagian besar berasal dari negara lain. Dalam kasus ini, Indonesia menjadi salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di pantai-pantai negara Afrika Timur itu. Hasil studi ini dipublikasikan jurnal di Marine Pollution Bulletin.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh University of Oxford menyelidiki hal ini dengan mengembangkan model resolusi tinggi yang menyimulasikan pergerakan sampah plastik di lautan dunia. Studi ini menggunakan data masukan tentang arus laut, ombak, dan angin, serta sampah plastik yang memasuki lautan dari populasi pesisir, sungai, dan perikanan, untuk memprediksi akumulasi sampah plastik di 27 lokasi di Seychelles dan Samudra Hindia bagian barat yang lebih luas.

Hasil studi ini menunjukkan, Indonesia adalah sumber utama sampah plastik berbasis darat yang ditemukan di pantai-pantai di Seychelles. Hal ini terutama terjadi pada puing berukuran sedang-besar yang memiliki daya apung tinggi (seperti tutup botol, sandal, botol, dan barang-barang rumah tangga berukuran kecil). Sampah plastik yang datang dari Indonesia akan berada di laut setidaknya selama 6 bulan, bahkan ada yang melebihi 2 tahun.

Sementara puing-puing plastik yang lebih kecil, seperti pecahan dan pelet plastik berukuran milimeter, cenderung berasal dari Afrika Timur dan dari dalam Seychelles sendiri. Fragmen-fragmen yang lebih kecil ini kurang mengapung dibandingkan benda yang lebih besar, dan tidak bergerak jauh, dengan kata lain mudah tenggelam.

Tumpukan sampah, termasuk sampah plastik, yang terakumulasi di Aldabra Atoll, Seychelles. Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik terbesar di pantai negara Afrika Timur itu./Foto: Seychelles Islands Foundation (SIF).

Seychelles juga mengakumulasi sejumlah besar sampah plastik yang berasal dari laut dari perikanan dan jalur pelayaran, seperti alat tangkap yang dibuang atau hilang. Banyak botol yang terdampar di pulau-pulau negara ini dengan label yang menunjukkan bahwa mereka berasal dari Malaysia, Thailand dan Tiongkok.

Sampah-sampah plastik itu mungkin dibuang dari kapal daripada langsung mengapung dari negara-negara tersebut. Untuk beberapa pulau, proporsi sampah plastik yang jauh lebih tinggi berasal dari sumber laut, bukan dari darat.

Menurut para peneliti, tingkat akumulasi sampah plastik di pantai negara Afrika Timur ini menunjukkan pengaruh musiman yang kuat. Puing-puing plastik dari sumber darat dan laut kemungkinan besar mendarat di pantai di Seychelles pada akhir musim barat laut, dengan tingkat tertinggi pada bulan Maret dan April. Akumulasi sampah plastik juga dapat diperkuat oleh peristiwa El Niño–Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD, juga dikenal sebagai Indian Niño).

University of Oxford dalam keterangan tertulisnya meyatakan, ini adalah studi pertama yang menghasilkan estimasi kuantitatif sumber sampah plastik di Seychelles dan kepulauan terpencil lainnya di Samudra Hindia bagian barat.

Polusi plastik semacam itu merupakan ancaman lingkungan yang signifikan, baik bagi ekosistem laut maupun masyarakat yang bergantung pada laut untuk makanan, pariwisata, dan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, puing-puing plastik yang hanyut dari sumber yang jauh meningkatkan risiko penyebaran spesies dan penyakit invasif.

Menurut studi yang dilakukan sebelumnya, yang juga dipimpin oleh para peneliti University of Oxford, memperkirakan lebih dari 500 ton puing telah terkumpul di Aldabra Atoll di Seychelles, Situs Warisan Dunia UNESCO yang bernilai ekologis dengan nol populasi permanen.

Penulis utama penelitian ini, Noam Vogt-Vincent dari Departemen Ilmu Bumi, University of Oxford mengatakan, mereka telah menggabungkan data pengamatan dari seluruh Seychelles dengan simulasi komputer mutakhir untuk menghasilkan prediksi paling komprehensif yang saat ini tersedia untuk sampah laut yang tersebar di wilayah tersebut.

"Ini akan memberikan informasi penting bagi manajemen lokal di pulau-pulau ini--banyak di antaranya merupakan hotspot keanekaragaman hayati global--dan untuk menginformasikan respons nasional dan internasional," kata Vincent.

Hasil studi ini, menurut para peneliti, menggambarkan besarnya tantangan polusi plastik yang dihadapi negara berkembang pulau kecil, dan membuat kebutuhan akan perjanjian plastik global menjadi lebih mendesak dari sebelumnya. Ini dapat mencakup, misalnya, penegakan kebijakan yang lebih besar yang melarang pembuangan alat tangkap dan plastik lainnya di laut.

Temuan studi ini juga membangun bukti yang terus berkembang bahwa berinvestasi dalam sistem pengelolaan limbah dan menerapkan kebijakan pembuangan limbah di negara-negara sumber utama adalah tindakan nomor satu untuk mencegah sampah berbasis darat tiba di lokasi pulau-pulau terpencil.

National Geographic