Walhi Aceh Ingatkan PT Medco E&P Melaka atas Polusi Udara

Penulis : Gilang Helindro

Polusi

Sabtu, 04 Februari 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh ingatkan PT Medco E&P Melaka atas pencemaran limbah dan polusi udara.

Dalam pantauan Walhi Aceh selama Januari 2023 hampir terjadi setiap hari pencemaran limbah dan udara di Desa Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur dan Jambo Lubok, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.

Sejak 2019 hingga akhir 2022 tercatat 13 orang lebih menjadi korban, korban terpapar dirawat di Puskesmas maupun dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zubir Mahmud Kabupaten Aceh Timur.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh, Ahmad Shalihinmengatakan, kasus pencemaran ini sudah berlangsung lama, pencemaran dirasakan warga yang tinggal di lingkar tambang tersebut. 

Tim PPU KLHK, WALHI Aceh melakukan pertemuan dan berkunjung ke lapangan dengan kelompok perempuan Gampong (red: desa) Blang Nisam membahas pencemaran udara dampak dari produksi migas milik PT Medco E&P Malaka, Rabu 18 Januari 2023. Foto: Walhi Aceh

Bahkan pada 9 April 2021, ada 250 warga Desa Panton Rayeuk, Kecamatan Banda Alam terpaksa mengungsi ke kantor kecamatan akibat menghirup polusi.

“Ini persoalan serius yang harus segera ditangani, terlebih kebanyakan korbannya adalah perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia, mereka cukup rentan bila terpapar udara tidak sehat,” jelasnya saat dihubungi Selasa (31/1/2023).

WALHI Aceh meminta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo untuk segera bersikap dan menyelesaikan kasus pencemaran yang semakin mengkhawatirkan dan korban mulai berjatuhan, terutama perempuan dan anak yang tinggal di lingkaran tambang PT Medco E&P Malaka yang sudah berlangsung lama.

“Presiden harus segera turun tangan, karena warga sudah pernah melaporkan ke  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Aceh. Tetapi hingga sekarang belum ada ditanggulangi,” katanya.

Dugaan Pencemaran Udara Pertambangan Migas PT Medco E&P Malaka di Kabupaten Aceh Timur. Sumber: Walhi Aceh

Berdasarkan data Komunitas Perempuan Peduli Lingkungan (KoPPeduli), 32 kali polusi udara dirasakan warga dalam kurun waktu 13 hari selama Januari 2023. Deputi Walhi Aceh, Muhammad Nasir mengatakan, warga juga pernah merasakan polusi pada pagi hari, kendati intensitasnya hanya 7 kali. Namun menurut keterangan warga cukup mengganggu karena semua sedang beraktivitas, terutama anak-anak yang hendak sekolah.

“Bahkan dalam satu hari warga ada yang merasakan bau busuk itu ada yang sampai tiga kali selama Januari 2023,” kata Muhammad Nasir, Rabu 1 Januari 2023.

Kata Nasir, total waktu warga menghirup bau busuk selama Januari 2023 sebanyak 33 jam 25 menit dalam kurun waktu 13 hari. Durasi polusi dirasakan bervariasi, paling rendah dirasakan selama 3 menit dan paling lama mencapai 5 jam lebih.

Polusi udara paling lama dirasakan warga kedua desa tersebut terjadi pada 29 Januari 2023 selama 4 jam dan 30 Januari 2023 selama 5 jam. Dampaknya warga ada yang merasakan hidung perih, mendadak sesak nafas hingga kepala pusing.

“Semua data itu dikumpulkan warga, kami sebut memakai laboratorium “Angtumitu” (Anggota Tubuh Manusia Milik Tuhan) yang dianugerahkan sama Allah, jadi mereka pergunakan berdasarkan fakta lapangan menggunakan panca indra,” katanya.

Nasir, meminta Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh jangan seperti Humas PT Medco E&P Malaka dalam menyikapi pencemaran udara yang dirasakan oleh warga yang tinggal di lingkar tambang Minyak dan Gas (Migas) di Kabupaten Aceh Timur.

Faktanya, polusi udara masih terus terjadi dan hingga sekarang belum ada penanganan. Padahal, tambah Nasir, BPMA sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 23 Tahun 2015, memiliki tugas dan fungsi melakukan pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan.

Baru-baru ini pada 2 Januari 2023, ada satu anak berusia 2 tahun dari Desa Alue Patong harus dilarikan ke Puskesmas Alue Ie Merah dan satu orang dewasa mengalami sesak, mual-mual, muntah, pusing. 

Untuk anak usia 2 tahun tersebut, pihak Puskesmas harus merujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zubir Mahmud di Idi, karena tidak mampu ditangani di pusat kesehatan dasar.

Namun BPMA dan DLHK Aceh masih saja berlindung di balik Permen LHK No 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebauan. Padahal faktanya, kebauan terus terjadi dan korban berjatuhan.

Kata Nasir Buloh, pemerintah Aceh, BPMA  dan  DLHK harusnya memiliki sensitivitas terhadap dampak terhadap kesehatan warga. Terlebih warga memiliki hak untuk hidup sehat berdasar pasal 65 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

“Bila hak hidup sehat warga terus diabaikan oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan warga dapat menggunakan hak gugat masyarakat sesuai pasal 91 UU PPLH,” tutup Nasir Buloh.