Krisis Iklim: Nelayan dari Pulau Pari Resmi Gugat Holcim di Swiss
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Senin, 06 Februari 2023
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Empat warga nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, secara resmi melayangkan gugatan terhadap Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia, Rabu, 1 Februari 2022. Para penggugat merasa terancam dengan kenaikan permukaan air laut dan banjir rob, yang jika tidak ditangani secara serius, dapat menenggelamkan pulau kecil tersebut.
Dalam gugatan yang dilayangkan ke pengadilan di Swiss, masyarakat menyatakan mengalami dampak negatif dari krisis iklim. Empat penggugat, terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan, menuntut ganti rugi yang proporsional atas krisis iklim yang mereka alami. Mereka pun mendesak Holcim berkontribusi untuk mencegah banjir.
Selain itu, mereka menuntut agar Holcim mengurangi emisi CO2 sebesar 43% pada 2030 dan sebesar 69% pada 2040 jika dibandingkan dengan emisi perusahaan pada 2019. Ini akan sejalan dengan target yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat.
Gugatan ini dilakukan mengingat Holcim telah berkontribusi terhadap krisis iklim. Penggugat berpendapat bahwa Holcim memikul tanggung jawab yang proporsional atas krisis iklim yang diakibatkannya. Ini merupakan gugatan iklim yang pertama di Indonesia, kedua di negara-negara selatan (global south), dan ketiga di dunia setelah Belanda dan Peru.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitriah Tanjung, menyebut sebanyak enam pulau kecil berukuran kurang dari 3 hektare di Kabupaten Kepulauan Seribu telah tenggelam akibat krisis iklim. Sementara saat ini, 23 pulau sedang terancam tenggelam, salah satunya adalah Pulau Tikus yang masih berada dalam Gugusan Pulau Pari. Jika krisis iklim terus berlanjut, akan semakin banyak pulau kecil tenggelam, termasuk Pulau Pari yang dihuni oleh sekitar seribu jiwa.
Naiknya permukaan air laut telah mengintensifkan kejadian banjir rob, yang berujung pada kerusakan rumah, infrastruktur, maupun usaha warga. Asmania, perempuan nelayan yang menjadi penggugat, menyatakan keluarganya telah terdampak banjir rob besar yang terjadi pada tahun 2021. Dampaknya, banjir membawa polusi dan minyak dari laut serta membanjiri peternakan ikan.
"Kami telah kehilangan 300 ikan dari 500 ikan yang kami budidayakan. Satu ikan saat itu sekitar satu kilogram beratnya. Kami biasanya menjual ikan tersebut seharga Rp90.000 hingga Rp100.000 per kilogram,” ungkap Asmania dalam diskusi media di Jakarta, Jumat, 3 Februari 2023.
Selain itu, Asmania juga tidak bisa menangkap ikan selama beberapa hari saat banjir rob terjadi pada November dan Desember 2021. Pasalnya seluruh warga harus membersihkan desa pasca banjir. Dia pun harus kehilangan penghasilan sekitar Rp1.750.000.
Aas, panggilan akrab Asmania, merasa khawatir jika Pulau Pari akan tenggelam akibat kenaikan air laut. “Di mana saya, keluarga saya, dan seluruh masyarakat pulau Pari akan tinggal jika laut terus naik? Jika permukaan air makin naik. Maka kami tidak akan lagi memiliki air bersih. Saya takut Pulau Pari akan tenggelam,” tegasnya.
Arif Pujianto, penggugat lain yang juga seorang nelayan, menyatakan banjir rob telah merusak rumahnya secara permanen. Arif harus memperbaiki rumahnya sendiri dan mengeluarkan uang sekitar Rp3 juta untuk memulihkan tempat tinggalnya tersebut.
Keluarga Arif juga harus membeli lebih banyak air, karena air sumur yang ada di rumahnya telah terintrusi air laut. “Untuk mencuci diri, pakaian, untuk membersihkan kami tidak dapat menggunakan air sumur akibat banjir rob yang merendam selama beberapa hari. Sejak itu, kami harus membeli lebih banyak air dari penyulingan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Kenaikan air laut juga telah mematikan berbagai tanaman pangan yang telah tumbuh, seperti pisang, pepaya, dan kelor. “Semuanya mati saat banjir November dan Desember tahun 2021. Saya belum bisa menanam kembali di kebun itu,″ tambah Arif.
Mustaghfirin, penggugat dan nelayan, juga mengalami kerugian akibat banjir rob yang terjadi selama 2021. Ia tidak bisa pergi memancing selama dua hari setelah setiap banjir karena harus membersihkan pantai, rumah, dan memperbaiki perahu.
“Secara keseluruhan, saya kehilangan sekitar seperempat penghasilan bulanan saya karena banjir. Akibat rob perahu, saya terdampar ke pinggir pantai dan menabrak bronjong. Akibat kerusakan tersebut, saya harus kehilangan uang yang cukup banyak,” ungkapnya.
Edi Mulyono, penggugat lain, menyebut telah kehilangan pendapatan dari homestay dan pendapatan pariwisata. Para wisatawan telah membatalkan perjalanannya karena khawatir akan terjadi banjir rob.
“Saya mengalami kerugian Rp5.500.000 akibat banjir ron pada November dan Desember 2021,” ungkap Edi.
Kenapa menggugat Holcim?
Holcim merupakan industri semen terbesar di dunia. Perusahaan ini juga bergerak di industri bahan dasar beton, yang terbesar di dunia. Holcim salah satu dari 50 penghasil emisi karbon diokisda (CO2) terbesar dari semua perusahaan di seluruh dunia.
Dalam memproduksi semen, Holcim telah melepaskan CO2 dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan studi oleh Climate Accountability Institute, antara 1950 dan 2021, perusahaan ini telah melepaskan lebih dari 7 miliar ton CO2. Itu berjumlah 0,42% dari semua emisi CO2 industri global sejak tahun 1750 – atau lebih dari dua kali lipat sebanyak semua yang dikeluarkan Swiss selama periode waktu yang sama. Oleh karena itu, Holcim memikul tanggung jawab yang signifikan atas krisis iklim dan situasi di Pulau Pari.
Gugatan iklim terhadap Holcim, merupakan kelanjutan dari gugatan iklim global yang ketiga, setelah gugatan terhadap Shell di Belanda yang dilakukan oleh Friend of The Earth (FoE) Belanda, dan gugatan Petani Peru terhadap RWE, sebuah perusahaan batubara Jerman.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin, menyebut gugatan ini gebrakan penting di Indonesia. Gerakan ini bisa mendorong kesadaran masyarakat global mengenai dampak buruk krisis iklim di Selatan Global.
“Gugatan ini mewakili nasib puluhan juta orang di Indonesia yang terdampak krisis iklim. Walhi mengajak pemerintah Indonesia dan seluruh masyarakat yang terdampak krisis iklim, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil, untuk mendukung gugatan ini dan menjadi bagian penting untuk menuntut keadilan iklim,” tegasnya.
Suci mengatakan pemerintah harus mengambil langkah serius untuk mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia. Sebelumnya terdapat enam pulau yang telah tenggelam, yakni Pulau Ubi Besar, Ubi Kecil, Talak, Nyamuk Besar, Dakun, dan Ayer Kecil.
Dari enam pulau tersebut, Pulau Ubi Besar adalah satu-satunya yang berpenghuni dan pernah terdapat catatan eksodus masyarakat Pulau Ubi Besar ke Pulau Untung Jawa pada sekitar dekade 60-an.
″Pemerintah harus segera bertindak untuk mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil lain di Kepulauan Seribu,” pungkasnya.